ASEAN Solusi Krisis Eropa?

Pada 1 April 2012 telah dilaksanakan ASEANEU Business Summit (AEBS) yang kedua di Phnom Penh, Kamboja. Pertemuan ini merupakan ajang tukar pandangan antara para pengusaha ASEAN dan EU dan diikuti 500 pengusaha dari kedua kawasan yang difasilitasi pemerintah kedua kawasan.

State-Market

Salah satu karakteristik dunia pasca krisis global adalah semakin menguatnya kelindan antara state (negara) dan market (pasar) yang biasanya dipresentasikan oleh perusahaan multinasional. Sangat sulit dibedakan, siapa yang lebih dominan pengaruhnya dalam sebuah kebijakan publik yang diambil pemerintah suatu negara.

Bahkan, kepentingan siapa yang lebih mengemuka pun menjadi kurang relevan dibandingkan semua manfaat bersama yang dipercayai bisa didapatkan sebagai solusi yang saling menguntungkan (win-win solutions). Hal yang menarik dari karakteristik ini adalah bagaimana proses distribusi sumber daya (resources) yang terbatas itu dilakukan secara lebih adil oleh kekuatan-kekuatan (politics) yang saling terkait di ranah domestik, regional dan internasional. Dalam konteks tatanan dunia seperti sekarang ini,negara mengalami persoalan yang semakin rumit dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Negara tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu dukungan pasar untuk mewujudkannya. Tarik-menarik antara kekuatan ekonomi dan politik (internasional) yang melintasi batas kedaulatan negara ini dikenal sebagai ekonomi politik internasional (ekopolin). Subkajian ini menjadi semakin penting dan berkembang tiga dekade belakangan sebagai bagian dari kajian hubungan internasional yang mengaitkan disiplin politik, politik internasional, ekonomi internasional hingga bisnis internasional.

Membuka Akses

Negosiasi antara EU dan ASEAN menyangkut FTA ini pernah dilakukan sejak 2002. Namun upaya itu menemui jalan buntu pada tahun 2009. Pendekatan yang selama ini dilakukan dengan pendekatan kawasan ke kawasan yaitu EU dan ASEAN secara langsung. Saat ini diubah menjadi pendekatan bilateral antara EU dengan masing-masing negara anggota ASEAN. Cara ini cenderung lebih efektif. Buktinya, EU telah menyelesaikan perundingannya dengan Singapura.

Sedangkan Malaysia dan Vietnam memberi sinyal positif terhadap perundingan yang sedang berjalan. Perubahan strategi ini EU lakukan demi membuka pasar dengan merangsek secara bilateral. Hal ini patut dicermati bahwa negosiasi bilateral satu lawan satu akan lebih mudah mencapai kesepakatan. Selain itu, kesepakatan yang tercapai dapat dimaknai sebagai perwujudan best interest dari kedua pihak.

Secara sederhana, bila EU berhasil menaklukkan tiap negara ASEAN maka perwujudan ASEAN EU FTA antar dua entitas, ASEAN dan EU,hanya tinggal menunggu waktu saja. Faktanya,EU menyumbang 24% investasi asing langsung (foreign direct investment) ke kawasan ASEAN. Besarnya proporsi investasi ini bisa dimaknai sebagai upaya kapitalisasi pasar dengan kondisi institusional yang sedang berubah ke arah yang lebih terbuka dan mulai menganut nilai-nilai yang diagungkan demokrasi, biasanya menyediakan peluang untuk mendapatkan gainyang lebih besar.

Misalnya, melalui kerja sama antara pemerintah dan swasta yang mau memberikan konsesi menguntungkan kepada pihak swasta. Ditambah lagi,negara-negara Indo China sangat familier dengan negaranegara yang kini tergabung dalam EU, khususnya negara Prancis. Salah satu pola public private partnership (PPP) yang mengedepankan kerja sama saling menguntungkan antara pemerintah dan swasta bisa menjadi pilihan.

Sebagai contoh, sebuah perusahaan Prancis bekerja sama dengan Pemerintah Kamboja mengembangkan tiga bandara internasional dengan sistem build, operate and transfer (BOT) selama 40 tahun. Pembukaan akses pasar berarti juga menurunkan atau bahkan menghilangkan hambatan perdagangan dan investasi baik tarif maupun nontarif sampai minimum, bahkan nol sama sekali. Persoalan yang masih menjadi tuntutan pebisnis EU antara lain adalah masih rendahnya kapasitas mitra dagang dan para pemimpin lokal (elites) di negaranegara ASEAN,

peraturan yang tidak sinkron atau tidak harmonis antara satu negara dan negara lain, serta masih adanya perbedaan tingkat pembangunan di antara negara ASEAN. Dengan demikian,isu praktikal yang harus dijawab segera adalah bagaimana meningkatkan kapasitas pengusaha dan pemimpin lokal, melakukan harmonisasi peraturan, melakukan terobosan untuk mengurangi perbedaan tingkat pembangunan di antara negara ASEAN.Secara khusus, peningkatan kapasitas usaha kecil dan menengah (UMKM) dan pengintegrasian mereka ke dalam mekanisme pasar bebas di ASEAN menjadi sorotan kedua delegasi.

Solusi Eropa?

Memburuknya situasi ekonomi, sosial hingga politik di Eropa menjadikan AEBS ini semakin strategis.Komisioner Perdagangan EU Karel de Gucht dalam sambutannya secara gamblang mengemukakan bahwa ASEAN menjadi bagian solusi dari penyelesaian krisis yang melanda Eropa, bukan sebaliknya sebagai ancaman. Ungkapan ini pun diamini Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan yang menggarisbawahi bahwa mengedepankan manfaat yang saling menguntungkan di antara dua kawasan akan menjamin terjadinya kesinambungan hubungan baik yang telah terjalin selama ini.

Tak dapat dimungkiri lagi, EU sangat berkepentingan atas tercapainya ASEAN EU FTA secepat mungkin.Apalagi bila kita tengok data statistik perdagangan dan jasa antarkedua kawasan yang mencapai lebih dari 175 miliar euro di tahun 2011. Bagi ASEAN, EU pun menjadi mitra ekspor terbesar senilai lebih dari 90 miliar Euro pada tahun yang sama. Kalau sudah demikian, pemegang kartu truf bukan di mereka, tetapi di ASEAN. Pertanyaannya kemudian adalah mampukah ASEAN memanfaatkan momentum penting ini untuk mewujudkan kesuksesan komunitas ekonomi ASEAN 2015?