Palestina dan Keputusan PBB

Fadhel Franda

Mahasiswa HI Binus 2012

 

“Tanah dimana tangisan serta kepedihan telah menjadi suatu hal biasa, kini penuh dengan bendera-bendera, kembang api serta sorakan kegembiraan…”

Begitulah suasana di Palestina dalam menanggapi hasil keputusan yang dilakukan oleh PBB pada tanggal 29 November 2012 mengenai status kedudukan Palestina sebagai suatu negara telah di akui. Hasil ini menjadikan Palestina sebagai negara pengamat non anggota PBB yang sah. Dalam mencapai hasilnya, diadakan pemungutan suara mengenai setuju atau tidaknya Palestina disahkan sebagai negara pengamat non anggota. Hasilnya mendapat dukungan dari 138 negara, 41 negara tidak memberikan suara dan 9 negara yang tidak setuju yaitu AS, Israel, Kanada, Republik Ceko, Panama, Kepulauan Marshal, Federasi Mikronesia, Nauru dan Palau.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas mengatakan bahwa pemungutan suara ini merupakan ‘peluang terakhir’ untuk menyelesaikan permasalahan dengan Israel. Akan tetapi, Perdana Mentri Israel, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa keputusan ini merupakan suatu kemunduran dari perdamaian antar kedua negara ini. Melalui akun twitter, kantor Perdana Menteri Israel mengatakan langkah Palestina datang ke PBB telah melanggar kesepakatan dengan Israel. Begitu juga dengan Amerika Serikat yang tidak setuju dengan keputusan PBB tersebut. Secretary of State (menteri luar negri Amerika Serikat), Hillary Clinton mengatakan bahwa hasil keputusan PBB akan menyulitkan tercapainya perdamaian pada kedua negara. Ada benarnya dari pendapat tersebut, konflik kedua negara bergantung kepada negara-negara lain. Negara lain tidak mengetahui kondisi apa yang sebenarnya terjadi dan mungkin akan memberikan keputusan yang salah. Dengan demikian hal ini bisa memberikan kesulitan dalam tercapainya perdamaian, karena salah satu negara yang berselisih akan beranggapan bahwa keputusan ini tidak adil.

Di satu sisi, apakah karena Pemimpin Israel takut akan diseret sebagai penjahat perang? Mungkin saja, karena melihat Palestina telah merupakan bagian dari PBB, Palestina memiliki jalur menuju International Criminal Court (ICC), dan media-media memang memperlihatkan bagaimana tindakan-tindakan Israel terhadap Palestina. Namun sebagai masyarakat diluar negara tersebut, adakah yang bisa menjamin itu sebuah realita? Atau itu hanya sebuah propaganda yang dilakukan oleh suatu pihak untuk mendapatkan suatu keuntungan? Bisa saja, keuntungan berupa bantuan persenjataan dan boikot terhadap negara merupakan sebagian dari keuntungan yang bisa didapatkan. Berdasarkan sejarah, tanah Palestina merupakan tanah yang didiami oleh warga asli lalu didatangi oleh imigran yang semakin lama jumlahnya bertambah sehingga menghasilkan situasi yang sama dengan suku asli Amerika (indian). Tidak heran mengapa Palestina sampai membawa masalah ini ke PBB, mereka hanya ingin mempertahankan wilayah asli mereka. Meski ditentang oleh pemerintah Israel, mantan Perdana mentri Israel, Ehud Olmert mendukung upaya Palestina, karena Olmert tidak melihat adanya alasan untuk menentang tindakan tersebut. Setelah PBB membuat keputusan ini, Olmert berpendapat bahwa Israel harus terlibat dalam mengadakan negosiasi yang serius mengenai perbatasan tertentu dan menyelesaikan isu-isu lainnya.

 

Dampak terhadap hubungan antar negara

Dengan keluarnya keputusan Palestina sebagai negara pengamat non anggota, AS memperingatkan bahwa langkah ini akan berdampak kepada penurunan dukungan ekonomi bagi Palestina. Hal tersebut disampaikan oleh juru bicara Departemen Luar Negri AS, Victoria Nuland ketika sidang keputusan berlangsung. Presiden Abbas telah mencoba untuk melobi negara-negara Eropa untuk mendukung resolusi ini yang akhirnya negara Austria, Denmark, Norwegia, Finlandia, Perancis, Yunani, Islandia, Irlandia, Luxembourg, Malta, Portugal, Spanyol dan Swiss mendukung. Hal tersebut dapat membuat Israel untuk  tidak membalas dengan langkah-langkah yang keras, namun sepertinya tidak. Pernyataan Perdana Menteri Netanyahu menegaskan bahwa seberapa banyak negara yang setuju dengan resolusi, ia tidak akan membiarkan keamanan Israel terganggu. Hal ini dengan jelas menandakan bahwa Israel akan tetap melakukan perlawanan atas nama ‘melindungi keamanan negara’. Setelah menang dalam keputusan PBB, Israel membekukan jutaan dolar dalam transfer pajak kepada Palestina serta AS berhenti membiayai UNESCO yang menahan jutaan dolar untuk bantuan Palestina. Menteri Luar Negri Inggris, William Hague menganjurkan bahwa sebaiknya biarkan AS memberikan inisiatif baru, karena resolusi PBB dianggap sebagai langkah yang melenceng dari negosiasi bilateral dengan Israel. Selain itu Inggris mengkhawatirkan kondisi ekonomi Palestina yang bermasalah dikarenakan oleh pemotongan dana bantuan ekonomi di saat Palestina berada pada suasana yang genting. Hal tersebut juga dikarenakan oleh Palestina melawan sistem yang dilakukan AS dan Israel, dan kedua negara ini merupakan pendongkrak perekonomian di Palestina itu sendiri.