“Kopitiam”, Warisan Budaya Perbatasan Asia Tenggara

Johanes Herlijanto

*Penulis adalah anggota tim penelitian Lembaga Indonesia China (LIC) dan dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.

37280114-kopitiamAda sebuah aspek budaya Tionghoa yang menyerbu berbagai kota di Indonesia. Apakah itu? Jawabannya adalah kopitiam, sejenis kedai yang utamanya menyajikan kopi dan berbagai minuman lainnya. Sebelum abad ke-21, kedai jenis ini kebanyakan hanya dijumpai di Malaysia, Singapura, dan wilayah kepulauan sebelah timur Sumatera. Namun, dalam satu dasawarsa terakhir, warung kopi ala Tionghoa ini mulai menjamur di berbagai wilayah lainnya di negeri ini. Jika dilihat dari namanya, kopitiam merupakan penggabungan istilah kopi yang berasalah dari bahasa Melayu atau Indonesia dengan tiam yang berasal dari dua dialek di China, Hokien ataupun Hakka. Tiam dalam bahasa China itu berarti kedai. Dengan demikian, dapat diduga kopitiam berkembang di wilayah di mana bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan. Ini disebabkan istilah yang populer dalam bahasa Mandarin untuk kedai kopi adalah kafei ting atau kafei guan, bukan kaifei dian, yang merupakan pembacaan bahasa Mandarin dari huruf-huruf Han dalam dialek Hokien dibaca kopitiam. Sepanjang penelusuran penulis di dunia maya, istilah ini belakangan mulai banyak digunakan di Hong Kong dan Taiwan, tetapi belum dicatat dalam kamus-kamus bahasa Mandarin, setidaknya sampai dasawarsa terakhir abad yang lalu. Ini memperkuat dugaan, kopitiam merupakan sebuah istilah khas Malaysia, Singapura, dan beberapa daerah di Indonesia. Penggunaannya di wilayah-wilayah lain bisa jadi merupakan pengaruh dari tiga negara itu. Sayangnya, studi mengenai fenomena kopitiam oleh peneliti Indonesia masih sangat jarang. Sejauh ini, kebanyakan riset justru dilakukan para sarjana asing, termasuk mereka yang berasal dari Singapura dan Malaysia. Kopitiam yang dikaji pun kebanyakan bertempat di kedua negeri itu sehingga hasil karya mereka dapat dijadikan titik tolak penelusuran asal usul berkembangnya kedai kopi jenis ini. Dalam sebuah tulisan berjudul “Kopitiam: Discursive Cosmopolitan Spaces and National Identity in Malaysian Culture and Media”, Gaik Cheng Khoo, seorang associate professor dari Universitas Nottingham, Inggris, menapak tilas sejarah kopitiam di Malaysia hingga masa penjajahan Inggris. Menurutnya, bisnis kopitiam pada masa itu kebanyakan dijalankan orang-orang Tionghoa yang berasal dari Fuzhou dan Hainam. Pemilik kopitiam biasanya menyewakan sebagian tempat dari kedai yang ia kelola kepada penjual makanan (seperti mi dan makanan-makanan lainnya). Namun, sang pemiliklah yang memiliki hak monopoli untuk menjual kopi dan aneka minuman lainnya. Kopitiam jenis ini hingga kini masih dapat kita temui di kota-kota di Malaysia. Sebagian merupakan warisan dari masa lalu. Sebagai contoh, Gaik Cheng Khoo merujuk pada Kopitiam Yut Kee, yang telah berdiri sejak 1928 di Kuala Lumpur dan Kopitiam Hai Peng yang telah mulai beroperasi sejak 1940 di sebuah kota kecil bernama Kemamam. Penulis sendiri, ketika melakukan penelitian di Malaysia sekitar satu dasawarsa yang lalu, sering berkunjung pada kedai kopi semacam ini. Fenomena kopitiam ini tampaknya dianggap menarik oleh masyarakat Tionghoa di Malaysia. Bahkan, istilah dan fenomena kopitiam diangkat menjadi judul sebuah serial yang ditayangkan stasiun televisi di Malaysia dari 1998-2004. Fenomena yang tak jauh berbeda kini juga berkembang di Singapura. Lai Ah Eng, seorang peneliti senior dari Universitas Nasional Singapura (NUS), mengisahkan penelusuran sejarah atas kopitiam dalam sebuah laporan penelitian berjudul “The Kopitiam in Singapore: An Evolving Story about Migration and Cultural Diversity”. Lai juga menceritakan, fenomena kopitiam berkembang pada masa penjajahan, khususnya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Mulanya, fenomena ini merupakan jawaban atas kebutuhan para pekerja migran di zaman itu akan makanan dan minuman yang sesuai dengan daya beli mereka. Belakangan, para imigran asal Hainan, yang sebelumnya kebanyakan bekerja sebagai pekerja ataupun tukang masak pada rumah-rumah orang Eropa, menerjunkan diri pada bisnis ini. Berdasarkan penuturan Lai Ah Eng, kedai kopi ala Hainam ini berkembang sejak 1920-an dan mencapai puncaknya pada 1950-an. Boleh dikatakan, merekalah yang memiliki peran besar dalam memopulerkan kopitiam. “Kopitiam” di Indonesia Lantas bagaimana di Indonesia? Di beberapa wilayah, kopitiam telah dikenal sejak lama. Pangkal Pinang, ibu kota Provinsi Bangka Belitung adalah salah satu kota di mana kopitiam tradisional dapat ditemui. Uniknya, sebagaimana dituturkan beberapa narasumber, kedai kopi yang tersebar di kota ini biasanya tidak memasang papan nama. Meski demikian, jika kedai itu dimiliki orang Tionghoa, warga Tionghoa sekitar langsung menyebutnya sebagai kopitiam. Sebaliknya, jika dikelola orang non-Tionghoa, penyebutannya berganti menjadi ‘kedai kopi’ saja. Namun, kopitiam yang ada di Indonesia, jenisnya sedikit berbeda dengan yang ada di Malaysia atau Singapura. Berdasarkan penuturan beberapa narasumber, kopitiam di Pangkal Pinang serta kota-kota di Bangka Belitung lainnya biasanya hanya dikelola sang pemilik dan tidak disewakan kepada para penjual makanan lainnya. Sebaliknya, fenomena seperti di Malaysia atau Singapura dapat ditemui di Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau. Salah seorang narasumber yang berasal dari kota itu mengatakan, kopitiam di kota itu biasanya menyewakan tempat bagi para penjual makanan untuk berdagang di kedai miliknya, sedangkan ia hanya berkonsentrasi menjual minuman. Keberadaannya pun dapat ditelusuri hingga beberapa dekade yang lalu. Menurut narasumber itu, kakaknya, yang saat ini berusia sekitar 45 tahun, kerap bercerita sejak kecil ia sudah sering diajak ayahnya mengunjungi kopitiam di kota tersebut. Fenomena kopitiam sebenarnya dapat dijumpai pula di Singkawang, sebuah kota yang terletak di Kalimantan Barat. Namun, di sana orang Tionghoa pun hanya menyebutnya ‘kedai kopi’. Ini tentu mengherankan mengingat Kota Singkawang dihuni sejumlah besar orang Tionghoa. Namun, menurut seorang mahasiswa doktoral dari Universitas Freiburg, pemilihan kata ‘kedai kopi’ bukan kopitiam didasari pada keinginan pemiliknya agar bukan hanya orang Tionghoa yang berkunjung, tetapi juga orang-orang dari berbagai etnis lainnya. Dengan penelusuran sejarah dan penuturan narasumber itu memperlihatkan kopitiam merupakan sebuah tradisi, sekalipun awalnya muncul di Singapura dan Malaysia. Fenomena itu telah menyebar pula di beberapa wilayah di negeri kita. Oleh karena itu, kopitiam patut disebut sebagai sebuah tradisi yang berkembang di lintas batas Asia Tenggara. Kopitiam memang dibangun orang Tionghoa. Namun, perkembangannya tak dapat dipisahkan dari sejarah setempat. Ini sekali lagi memperlihatkan kemampuan orang Tionghoa untuk beradaptasi dengan lingkungan ke mana ia bermigrasi. Di tengah-tengah menjamurnya kopitiam modern di berbagai kota besar di Indonesia, ada baiknya bagi kita untuk tidak melupakan kopitiam-kopitiam tradisional, yang merupakan salah satu contoh sumbangsih orang-orang Tionghoa bagi budaya kuliner Asia Tenggara, khususnya Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Kopitiam dapat kita anggap sebagai warisan budaya Tionghoa pada lintas batas Asia Tenggara, khususnya Malaysia, Singapura, dan tentunya, Indonesia. *Penulis adalah anggota tim penelitian Lembaga Indonesia China (LIC) dan dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.

 

Sumber: http://www.shnews.co/detile-31602-%E2%80%9Ckopitiam%E2%80%9D-warisan-budaya-perbatasan-asia-tenggara.html