Pencitraan sebagai Barang Dagangan

oleh Aditya Permana
Dosen Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara

Pernyataan menarik diutarakan oleh Grendi Hendrastomo (2009). Dalam konteks demokrasi di Indonesia, pemilihan umum para calon anggota dewan, partai, ataupun pengisi segala lapisan sandwich pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari keniscayaan pencitraan. Saya kutip agak panjang pernyataan dari beliau,

“…menjelang pemilu selalu ramai dengan hiruk pikuk calon wakil rakyat yang menggalang dukungan dengan mengunakan berbagai cara, melalui media, baik iklan, baliho, poster hingga mengadakan pertemuan setiap hari dengan harapan mendapatkan dukungan rakyat yang sebanyak-banyaknya. Pemilu menjadi ladang untuk membeli suara rakyat, politisi calon wakil rakyat kemudian berlomba-lomba untuk mempopulerkan partai, nama dan nomor urut. Kampanye menjadi langkah awal politisi untuk berlari dan menjala suara yang mungkin bisa didapatkan dengan cara menyakinkan, memberi pengaruh hingga perang iklan politik. Bagi mereka, kampanye politik wajib dilakukan, karena inilah awal perjuangan mereka meraih dukungan suara demi melanggengkan dan mendudukan mereka di tangga kekuasaan. Kemudian dalam perspektif ini, politik pencitraan menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari proses demokratisasi di Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan kampanye politik menjelang pemilihan, baik pemilihan calon legislatif, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden.” ( Hendrastomo 2009, 3)

Namun yang menggelitik adalah pernyataan beliau berikut,

Pencitraan identik dengan menonjolkan diri, membentuk persepsi masyarakat baik itu tentang partai maupun orang-orang berkepentingan di belakang partai. Pencitraan diperlukan sebagai sarana menjual ‘komoditas’ partai dan cara efektif mengubah stigma negatif yang ada dalam masyarakat.

“Komoditas”, kata yang saya cetak tebal di atas. Kata itu yang langsung menohok. Kata serupa juga muncul dalam tulisan Nana Sutikna. Saya kutip agak panjang juga,

“…citra bukanlah sebuah benda berwujud melainkan sesuatu yang ada dalam ranah kognitif seseorang. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa citra adalah fragile commodity, komoditas yang rapuh, yang mudah rusak, karena citra sangat tergantung pada pemahaman orang dan pengalaman orang tentang sesuatu.” (Sutikna 2012, 609).

Pemakaian secara telanjang istilah “komoditas” mengisyaratkan satu hal yang sudah dibahas Karl Marx hampir dua abad yang lalu, yakni bahwa pada dasarnya seluruh aktivitas kehidupan manusia dikuasai oleh motif-motif ekonomi. Segala hal: ilmu pengetahuan, agama, kesenian, kesusilaan, dan lain-lain merupakan pengendapan dari hubungan ekonomi yang ditentukan oleh dialektika sejarah. “Komoditas” (commodity) sendiri memiliki arti sebagai “suatu objek yang diproduksi untuk tujuan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain,  biasanya dengan uang, dengan tujuan memperoleh nilai lebih atau keuntungan; atau lebih dasar lagi, sesuatu yang memiliki nilai tukar.” Sandal jepit putus kalau masih bisa dijual berarti komoditas, gergaji ompong kalau masih laku dijual juga berarti komoditas, meski kenyataannya tidak semanis itu.

Kemudian pertanyaannya adalah, apa hubungan antara pencitraan dan komoditas? Karena keterbatasan tempat, topik ini akan penulis bahas dalam tulisan berikutnya dalam satu rangkaian berisi beberapa tulisan mengenai “pencitraan”. Stay tune.