Pencitraan: Logika Komoditi dalam Ranah Non-Dagang

Logika Komoditi; Mempersoalkan Kapitalisme yang “Kebablasan”

Pasca perang dingin, barangkali, kapitalisme menjadi satu-satunya sistem ekonomi yang sukses membuktikan superioritasnya, seiring hembusan angin demokratisasi di seantero dunia.

Adalah Marxisme yang dianggap pertama kali menunjukkan transisi status barang-barang produksi dalam kehidupan sosial pra-kapitalisme dan kapitalisme. Masa kapitalisme menandai runtuhnya era feodalisme dan menciptakan struktur baru konsumsi berdasarkan pasar, uang, kapital, dan keuntungan. Dalam kapitalisme, hasil produksi dan reproduksi segala benda dijadikan komoditi (commodities) yang kemudian dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk bukan sebagai wahana penggalian nilai-guna (use value), melainkan untuk mencari profit atau nilai lebih dari nilai-tukar (exchange value). Dalam hal ini terjadi proses komodifikasi (commodification), yaitu proses menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai-tukar (Piliang 2003: 88). Komodifikasi menjadikan objek konsumsi menjadi semata-mata barang yang bernilai tukar. Komoditi mendapat status istimewa dalam kegiatan konsumsi oleh karena kemenangan nilai-tukar di atas nilai-guna yang terkandung di dalamnya.

Kekuatan kapital menggiring masyarakat masuk dalam satu pola sosial baru yang didefinisikan oleh pesona fetish komoditi. Definisi fetish di sini dekat dengan kata “penjimatan”, namun untuk memudahkan sekaligus pembatasan definisi, fetish dalam konteks ini berarti pemujaan yang mutlak dan mendalam terhadap setiap objek yang di dalamnya dianggp disemayami oleh ruh atau kekuatan tertentu (dalam konteks psikologis) sehingga menimbulkan pengaruh “magis” dan daya pesona (dalam konteks antropologis) atau rangsangan seksual tertentu – dalam konteks seksualitas (Piliang 2003: 17). Fetisisme komoditi artinya dalam proses produksi barang-barang tidak lagi diproduksi sebagai sarana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Barang-barang produksi diberi nilai-nilai baru yang jauh dari nilai aslinya sebagai benda pakai dan kemudian bertransformasi menjadi komoditi. Maka, komoditi tidak lain adalah barang produksi yang memiliki nilai-tukar. Komoditi menempati status istimewa dalam mode produksi (mode of production). Pendeknya, komoditi adalah objek yang merangsang gairah kapitalisme.

Baiklah, sebelum ocehan ini membawa kita pada kebingungan-kebingungan lain, mari kita dudukkan perkaranya dengan lebih konkret. Apa hubungan kapitalisme, atau secara lentur di sini penulis sebut sebagai “logika komoditi” dengan pencitraan yang menjadi topik utama tulisan ini? Pencitraan dalam konteks peradaban kontemporer akan berhubungan erat dengan kemenangan kapitalisme. Kapitalisme kontemporer acap diberi alias sebagai kapitalisme lanjut (late capitalism). Kapitalisme jenis ini ditandai dengan bergesernya mode produksi yang menjadi ciri kapitalisme tua ke mode konsumsi. Dalam masyarakat kapitalisme lanjut, konsumsi menjadi pusat kegiatan sosial dan penentuan makna-diri individu dalam masyarakat. Identitas individu ditentukan dari objek yang dikonsumsinya. Namun istilah “konsumsi” di sini tidak hanya menyangkut perihal konsumsi atas objek-objek “konkret”, melainkan justru lebih kepada konsumsi atas nilai simbolik suatu komoditi. Kita akan bahas itu nanti. Untuk bagian pertama tulisan kali ini akan membahas sekilas mengenai kapitalisme tua atau kapitalisme awal.