Melacak Akar Kesejahteraan: Review Buku Why Nations Fail

Mochammad Faisal Karim
Managing Editor, Journal of ASEAN Studies

 

Siapapun Presiden yang terpilih nanti, ia harus memiliki jawaban, setidaknya dugaan, terhadap pertanyaan ini: “Mengapa terdapat negara yang makmur dan negara yang miskin? Apa yang menyebabkan sebuah negara dapat keluar dari kubangan kemiskinan dan yang lain masih terperangkap dalam lumpur kemiskinan?” Dalam konteks ini, penting untuk membaca ulang buku Acemoglu dan Robinson yang berjudul “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty.”

Jawaban bagi pertanyaan di atas merupakan holy grail yang selalu dicari oleh ilmuwan sosial baik ekonom, sosiolog, maupun ilmuwan politik. Setidaknya terdapat empat argumen dominan yang dapat menjelaskan pertanyaan di atas. Yang pertama adalah argumen geografi. Menurut argumen ini, bahwa perbedaan besar antara negara kaya dan miskin diciptakan oleh perbedaan geografis. Argumen ini pertama kali dicetuskan oleh filsuf Perancis Montesquieu yang menyatakan bahwa orang-orang di iklim tropis cenderung malas dan kurang memiliki rasa ingin tahu. mereka tidak bekerja keras dan tidak inovatif, dan ini adalah alasan mengapa mereka miskin. Tak hanya sampai disitu, Montesquieu mencoba menjelaskan fenomena institusi politik dengan melihat faktor geografis dengan menyatakan orang yang malas cenderung dikuasai oleh para penguasa otoriter. Tidak heran demokrasi susah bertumbuh kembang di daerah tropis.

Varian termutakhir dari teori ini dicetuskan oleh Jared Diamond. Argument modern dari hipotesa geografi mengatakan bahwa penyakit tropis, khususnya malaria, memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi kesehatan dan karena itu menurunkan produktivitas tenaga kerja. Tak heran bila tempat-tempat yang beriklim sejuk memiliki keuntungan relatif atas daerah-daerah tropis.

Selain argumen geografi, argumen budaya juga menjadi salah satu jawaban dominan bagi pertanyaan besar di atas. Secara umum argumen budaya menyatakan bahwa atribut budaya tertentu seperti etika, halangan budaya, dan agama menjadi faktor penyebab bagi kurang produktifnya sebuah masyarakat. Salah satu pencetus argumen ini adalah Max Weber. Max Weber dalam bukunya Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa etika protestan adalah salah satu faktor terpenting bagi munculnya kapitalisme.

Selain faktor budaya, salah satu argumen dominan dalam menjelaskan ketimpangan kemakmuran adalah argumen “ignorance” dimana ketidaksetaraan dunia di sebabkan oleh ketidakmampuan para pemimpin untuk membuat negara-negara miskin menjadi kaya. Argumen ini menyatakan bahwa negara-negara miskin menjadi miskin karena mereka memiliki banyak kegagalan dalam mengatur negara mereka. Dengan kata lain, negara-negara kaya menjadi kaya karena mereka dianugerahi pemimpin yang tahu menyelesaikan masalah sedangkan negara-negara miskin tetap miskin karena mereka dipimpin oleh orang-orang yang tidak tahu cara menyelesaikan masalah.

Meskipun argumen-argumen di atas dapat memberikan eksplanasi terhadap ketimpangan kesejahteraan, namun keseluruhan argumen di atas memiliki cela dalam argumennya. Argumen geografi tidak mampu menjelaskan mengapa Singapura yang berada di ilklim tropis lebih makmur ketimbang Kazakhstan yang berada di iklim  sejuk. Argumen budaya juga tidak mampu menjelaskan mengapa dua Korea (Korea Selatan dan Korea Utara) yang memiliki budaya yang sama memiliki kondisi kemakmuran yang jauh berbeda. Begitu juga argument ignoranceyang sangat terpaku terhadap analisa individual pemimpin masing-masing negara.

Acemoglu dan Robinson menyatakan alasan sebenarnya di balik perangkap kemiskinan terletak pada peran lembaga-lembaga politik dan ekonomi. Secara sederhana, Acemoglu dan Robinson membagi institusi politik dan institusi ekonomi ke dalam dua bentuk: (1) institusi politik dan ekonomi yang inklusif dan (2) institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Mereka berpendapat bahwa hanya dalam suatu sistem politik yang inklusif adalah mungkin bagi negara-negara untuk mencapai kemakmuran. Negara dengan institusi-institusi politik dan ekonomi ekstraktif cenderung miskin, sedangkan negara-negara dengan institusi politik dan ekonomi yang inklusif cenderung kaya.

Institusi politik yang inklusif didefinisikan sebagai sebuah institusi yang tidak hanya menguntungkan segelintir elit yang berkuasa namun sebuah institusi yang dimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik. Dengan kata lain, institusi politik yang dapat menciptakan kemakmuran adalah institusi politik yang bersifat plural. Tidak hanya akses politik yang mudah, institusi politik yang inklusif ditandai dengan adanya batasan terhadap elite penguasa melalui mekanisme checks and balances, serta adanya rule of law yang melindungi segenap warga negara.

Institusi politik yang inklusif, menurut Acemoglu dan Robinson akan menciptakan institusi ekonomi yang inklusif pula. Institusi ekonomi yang inklusif ini ditandai dengan adanya jaminan akan hak milik dan patent, kemudahan berusaha dan akses terhadap pasar yang terbuka serta adanya dukungan negara untuk memberikan akses yang mudah terhadap pendidikan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi.

Dengan kata lain, politik dan bagaimana elit penguasa mengorganisir institusi politik dan ekonomi adalah hal yang utama dalam menentukan apakah sebuah bangsa menjadi lebih makmur atau tidak.

Skenario sebaliknya akan terjadi dalam institusi politik ekstraktif di mana kekayaan akan diakumulasikan hanya untuk elit penguasa yang kecil.  Institusi politik yang ekstraktif ditandai dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik di tangan segelintir orang tanpa adanya checks and balances, serta lemahnya rule of law. Institusi politik ekstraktif akan menghadirkan institusi ekonomi yang ekstraktif pula dimana segala sumber daya yang ada digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Institusi ekonomi yang ekstraktif ditandai dengan lemahnya proteksi terhadap hak milik, adanya entry barrier terhadap aktor pasar yang menciptakan level of playing field berbeda bagi setiap aktor, serta adanya hambatan yang mencegah fungsi pasar berjalan dengan sempurna.

Untuk mendukung argumen mereka, Acemoglu dan Robinson menyuguhkan berbagai macam ilustrasi dari sejarah berbagai macam bangsa-bangsa di dunia. Mereka mencontohkan kolonialisasi Eropa atas Amerika Utara dan Amerika Latin yang menghasilkan dua trajektori kemakmuran yang berbeda. Amerika Utara lebih makmur ketimbang Amerika Selatan. Jawaban dari ketimpangan ini adalah institusi yang dibangun oleh para pendatang Eropa di benua Amerika.

Tatkala para penakluk Spanyol membangun koloni di Amerika Latin, mereka membangun institusi politik yang ekstraktif dimana para elit penakluk Spanyol berada pada posisi penguasa dan para penduduk pribumi sebagai budak yang melayani kelas penguasa. Institusi ekonomi yang dibangun pun adalah institusi yang ekstraktif dimana sumber daya alam digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Hal ini berbeda dengan institusi yang dibangun di Amerika Utara yang lebih inklusif akibat ketidakmampuan orang Eropa untuk menundukkan kaum Indian di Amerika Utara dan sedikitnya sumber daya alam yang ditemukan di wilayah tersebut.

Bila institusi politik dan ekonomi yang inklusif dapat menciptakan kemakmuran, mengapa hanya sedikit bangsa yang memilih membangun institusi ini? Menurut Acemoglu dan Robinson, perubahan institusi dari yang bersifat ekstraktif menuju inklusif merupakan sebuah proses perubahan kecil yang terus menerus dan bersifat endegenous.

Inggris merupakan contoh nyata bagaimana sebuah bangsa mampu melakukan pergeseran institusi dari ekstraktif menuju inklusif yang diawali dengan keinginan masyarakat akan proteksi hak milik yang lebih dan partisipasi politik. Munculnya Magna Charta yang mengikat Raja untuk tidak sewenang-wenang terhadap para tuan tanah di bawahnya serta Glorious Revolution dimana peran raja tidak lagi absolut yang ditandai dengan kuatnya peran parlemen adalah institutional drift atau pergeseran institusi yang membuat Inggris memiliki institusi yang inklusif.Institutional drift tentu tidak disukai oleh elite penguasa karena institusi yang inklusif selalu menghasilkan apa yang disebut Acemoglu dan Robinson sebagai “creative destruction”.

Creative destruction merupakan kata lain dari competition yang memungkinkan adanya mekanisme distribusi kekayaan serta yang paling penting distribusi kekuasaan di masyarakat. Inilah alasan mengapa Inggris dan bukan bangsa lain yang memulai revolusi industri yang membawa dunia menuju peradaban modern.

Lantas bagaimana sebuah bangsa mampu keluar dari institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif menuju institusi politik dan ekonomi yang inklusif? Untuk menjawab pertanyaan ini, Acemoglu dan Robinson percaya bahwa peristiwa-peristiwa sejarah acak dapat berguna dalam memahami hasil saat ini. Mereka menyebut peristiwa acak ini sebagai critical juncture atau titik-titik kritis sejarah yang mampu mengeksploitasi perbedaan institusi yang kecil menjadi sebuah perbedaan besar. Critical juncture inilah yang menentukan apakah sebuah bangsa mengambil jalur menuju institusi yang inklusif atau menuju pada institusi yang ekstraktif. Critical juncture ini merupakan variable di dalam sejarah yang tidak dapat diprediksi.

Salah satu contoh critical juncture dalam sejarah peradaban China adalah tatkala Kaisar China melarang seluruh rakyatnya untuk berlayar untuk melakukan perdagangan. Pelayaran oleh Laksamana Zeng He merupakan pelayaran terakhir yang diperbolehkan oleh Kaisar Cina. Setelah itu, Hongwu, Kaisar era Ming mengeksekusi siapa saja yang mencoba melakukan pelayaran perdagangan. Hal ini disebabkan karena Kaisar China takut akan karaktercreative destruction dari perdagangan internasional yang akan berpotensi mendestabilisasi sistem kekaisaran dengan munculnya kelas baru bernama pedagang yang semakin kaya.

Hal yang sama terjadi di kekaisaran Utsmani dimana sultan Utsmani melarang masuknya mesin cetak yang ditemukan oleh Gutenberg ke wilayah kekaisaran Utsmani pada abad ke-15. Melalui mesin cetak, Eropa telah menikmati masifnya peredaran teknologi dengan adanya mesin cetak. Namun, Kekaisaran Utsmani baru membolehkan mesin cetak untuk masuk ke wilayahnya 300 tahun setelah Eropa mengambil manfaat dari teknologi baru tersebut. Alasan Sultan untuk tidak menerima mesin cetak karena ketakutan akan creative destruction yang dihasilkan oleh teknologi baru ini yang juga dapat mendestabilisasi otoritas sultan.

Layaknya para ilmuwan sosial lainnya, Acemoglu dan Robinson ingin menghadirkan sebuah teori sederhana namun dapat menjelaskan realitas sejarah bangsa-bangsa yang kompleks. Bagi Acemoglu dan Robinson institusi politik dan ekonomi yang buruk akan menghambat inovasi dalam masyarakat yang pada akhirnya memiliki konsekuensi negatif terhadap kemajuan masyarakat.

Teori yang dibangun oleh Acemoglu dan Robinson sebenarnya merupakan pembaruan atas teori yang telah dicetuskan oleh Adam Smith pada abad ke-18. Dalam bukunya, Wealth of Nations, Smith dengan sederhana memberikan resep bagi munculnya kemakmuran yakni institusi ekonomi inklusif yang juga disebutkan oleh Acemoglu dan Robinson. Namun Acemoglu dan Robinson memposisikan institusi ekonomi yang inklusif sebagai konsekuensi dari institusi politik yang inklusif pula.

Sebagaimana teori-teori sosial lainnya, teori Acemoglu dan Robinson bukannya tanpa kritik. Terdapat berbagai macam kelemahan di dalam teori yang mereka bangun. Pertama, teori Acemoglu dan Robinson meskipun memiliki kekuatan eksplanasi (explanative power), tidak memiliki kekuatan memprediksi (predictive power). Hal ini disebabkan karena teori mereka berdasarkan kepada konsepsi critical juncture  yang tidak mudah atau bahkan mustahil untuk diprediksi karena critical juncture merupakan kejadian sejarah yang acak yang dapat berakibat besar bagi evolusi institusional sebuah bangsa.

Kedua, teori Acemoglu dan Robinson tidak mampu menjelaskan kemunculan institusi ekonomi yang inklusif dari rahim institusi politik yang ekstraktif. Munculnya institusi ekonomi yang inklusif di Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura terjadi pada saat negara-negara ini berada dibawah rezim yang otoriter. Pertanyaan pun muncul, mungkinkah institusi ekonomi yang inklusif muncul dari institusi politik yang ekstraktif?

Ketiga, teori Acemoglu dan Robinson tidak mampu memberikan pengukuran yang rigid mengenai apa itu institusi politik yang inklusif atau ekstraktif. Di negara-negara yang yang dianggap oleh Acemoglu dan Robinson memiliki institusi politik yang inklusif pada dasarnya tidak pula terlalu inklusif. Penelitian terakhir mengenai kondisi politik di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa Pemerintah AS tidak mewakili kepentingan mayoritas warga negara, melainkan hanya segelintir orang kaya yang berkuasa. Tidak hanya itu, politik Amerika Serikat juga lebih banyak didominasi oleh orang-orang kaya.

Keempat, Acemoglu dan Robinson tidak mampu memberikan eksplanasi mengapa Indonesia yang relative memiliki institusi yang inklusif tidak memiliki pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi sebagaimana negara-negara yang memiliki institusi politik yang ekstraktif seperti Malaysia, Kolombia, maupun Meksiko.

Terlepas dari berbagai kelemahan dalam teori Acemoglu dan Robinson, Why Nations Fail memberikan sebuah pelajaran penting bagi para pengambil kebijakan yakni pentingnya sebuah institusi politik serta ekonomi yang inklusif untuk menciptakan akumulasi kekayaan yang terdistribusi dengan baik ke seluruh masyarakat.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh selasar.com