”Simpatisan Kaget” dan Pilpres 2014

Oleh: Associate Researcher, Center for Business and Diplomatic Studies (CBDS)
Universitas Bina Nusantara

 

DALAM ingar-bingar Pilpres 2014, satu hal yang luput disinggung dalam berbagai kajian adalah faktor militansi dukungan.

Dalam berbagai forum dan media sosial, fenomena ini merebak bak demam budaya pop; kawan dekat yang selama ini bertegur sapa seperti biasa, kini menjelma jadi ”pasukan berani mati” membela calon presiden dukungannya. Bisa jadi dalam sejarah pemilu setelah reformasi, ini adalah kali pertama fanatisme dicurahkan dengan skala yang fantastis oleh para pendukung.

Terminologi ”pasar kaget” secara sederhana menganalogikan fenomena ini. Pasar kaget bukan terjadi secara sengaja, melainkan didorong faktor luar, misalnya ada acara ritual keagamaan atau libur nasional. Sama halnya dengan para pendukung capres-cawapres kali ini, yang sejatinya tak berbicara politik. Faktor pilpres mendorong mereka membuka ”lapak-lapak”-nya di berbagai jejaring sosial dan komunitas. Karena itu, terminologi ”simpatisan kaget” digunakan ke depan.

Dampak

Munculnya fenomena ini layak diapresiasi untuk dua konteks. Pertama, berbeda dengan tim sukses dan koalisi, jelas ”simpatisan kaget” memiliki kapasitas struktural yang berbeda. Ketika tim sukses dan tokoh koalisi memiliki kans untuk masuk gerbong pemerintahan, para simpatisan ini tetap akan jadi rakyat ketika capres-cawapres idolanya terpilih. Ini menunjukkan secara materiil ”simpatisan kaget” punya ketulusan dukungan lebih tinggi karena bebas kepentingan.

Kedua, eksternalitas dari militansi ”simpatisan kaget” tak perlu diragukan. Di samping para capres-cawapres harus berterima kasih atas ”kampanye gratis” yang mereka ekspresikan, publik juga harus berterima kasih karena militansi mereka mempertajam diskursus tentang mana yang lebih layak dipilih di antara keduanya. Masyarakat punya wawasan yang kaya untuk menilai kebijakan apa saja yang layak dan kurang layak untuk diterapkan selama lima tahun ke depan.

Namun, fenomena ini tak selalu berdampak sedap terhadap demokrasi elektoral, mengingat akumulasi diskursus negatif atas kedua pasangan capres-cawapres berkontribusi membangun skeptisisme masyarakat atas calon- calon yang ada. Dari sini akan lahir gelombang generasi skeptis baru yang menurunkan minat mereka untuk berpartisipasi dalam memberikan suaranya.

Selain itu, untuk melancarkan aksinya, media juga mendapatkan angin segar sebagai amunisi bagi para ”simpatisan kaget”. Berbeda dengan simpatisan di pilpres sebelumnya yang mengandalkan isu semata, kini para pendukung menggunakan berbagai sumber kutipan media untuk menjajakan idolanya. Karena itu, polarisasi media-media kredibel dalam pilpres kali ini menjadi faktor utama pendorong meruncingnya ”perlawanan” di antara dua pendukung.

Oleh karena itu, wajar jika belakangan fenomena ini juga memicu menjamurnya ”media kaget” yang dibentuk untuk menunjang infrastruktur sosial yang ada. Kemunculan Obor Rakyat adalah efek bola salju semata yang hingga kini kian deras menginstrumentasi para ”simpatisan kaget”. Melalui bacaan yang diragukan otentisitas dan obyektivitasnya itu, militansi dukungan melenggang melampaui batas- batas nilai kepatutan dan kaidah berdemokrasi yang konstruktif.

Tertularnya sejumlah tokoh untuk ”bermigrasi” dari koridor kepakarannya ke dalam jebakan militansi juga mengukuhkan keunikan pilpres kali ini. Sayangnya, militansi yang ada tak mendorong sikap kenegarawanan, tetapi militansi yang dipicu persaingan untuk memusuhi calon dan para pendukung lawan.

Proyeksi simpatisan

Persaingan kebijakan tak perlu ditanggapi secara antagonistik. Justru kompetisi kebijakan yang ada akan mendorong penajaman kualitas presiden terpilih. Oleh karena itu, publik harus semakin jeli melihat mana ”simpatisan kaget” yang mendorong ke arah wacana positif. Meski demikian, kita tak pernah tahu sampai kapan fenomena ini akan terus berlangsung.

Ada dua skenario yang ditawarkan.  Pertama, jika fenomena ini berhenti setelah pemenang pilpres ditentukan, para simpatisan ini tak ubahnya penonton festival yang membubarkan diri setelah tayangan panggung usai. Ini berarti demokrasi kita masih ada di permukaan karena partisipasi hanya sebatas euforia selebrasi. Dalam situasi ini, sulit mengharapkan para simpatisan turut bertanggung jawab ketika pemimpin idolanya yang terpilih tidak mampu menepati janji-janji atau justru membawa kemunduran demokrasi.

Kedua, jika fenomena ini akan terus berlangsung hingga akhir masa jabatan presiden-wakil presiden terpilih, ini artinya demokrasi partisipatif telah menjadi nadi dalam pendewasaan politik di Indonesia. ”Simpatisan kaget” akan bertransformasi menjadi ”simpatisan organik” yang siap mengawal capres yang didukung ataupun yang tidak didukung, memastikan kebijakan yang diambil adalah intisari diskursus visi-misi, rekam jejak, serta ide yang pada saat kontes berlangsung telah dipertajam.