Wajah Baru Amerika Serikat

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Wajah Baru Amerika Serikat”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Wajah Baru Amerika Serikat

Tak seperti yang diprediksikan banyak pengamat, Donald Trump memenangi kursi kepresidenan Amerika Serikat 2017-2021. Trump meraih 276 electoral votes dari 270 yang dibutuhkan.

Ia mengalahkan Hillary Clinton yang hanya memperoleh 218 electoral votes. Tidak hanya menjungkir balikkan ramalan para pengamat, tetapi hasil ini menggambarkan perbedaan ekspektasi masyarakat Amerika Serikat. Apa makna kemenangan Trump bagi masyarakat Amerika Serikat (AS), dunia, dan Indonesia?

Akar Kontroversi

Sejak awal proses pemilihan presiden AS ini berlangsung, kontroversi menyelimuti terpilihnya Trump menjadi kandidat presiden mewakili Partai Republik. Secara individu sosok Trump inheren bukan merupakan sosok yang ideal merepresentasikan Partai Republik. Sebagai sosok businessman yang sukses dengan karakter yang keras namun cenderung arogan, bertolak belakang dengan gambaran kaum republik yang cenderung konservatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.

Selama kampanye pun Trump memersonifikasi dirinya sebagai sosok kanan yang keras. Pandangannya lebih inward looking, bahkan memperlihatkan Amerika Serikat yang isolasionis. Trump menolak migrasi, keras terhadap pelintas batas, khususnya dari Mexico yang memasuki Amerika Serikat. Bahkan ia bermaksud membangun tembok pembatas antara kedua negara. Selain itu, ketidaksukaan terhadap penduduk kulit hitam, kaum muslim, hingga penolakan terhadap pengungsi dari Timur Tengah antara lain dari Suriah menunjukkan sisi Trump yang bertolak belakang dengan karakteristik masyarakat AS yang plural dan menghargai perbedaan.

Makna Kemenangan

Hasil ini tentu mengejutkan bagi partai yang berkompetisi dan bagi masyarakat AS sendiri. Sejak awal Partai Demokrat optimis akan memenangkan kursi kepresidenan walau mereka sadar tidak akan diraih dengan sangat mudah. Hasil beberapa polling yang selalu menunjukkan keunggulan Hillary semakin memupuk aroma kemenangan. Namun, mereka lupa bahwa swing voters (massa mengambang) yang berkisar 20% di setiap polling ternyata susah ditebak pilihannya.

Masyarakat yang belum menentukan pilihan sejak awal dan menunggu hingga akhir masa pencoblosan memperlihatkan punya pilihan sendiri dengan alasan beragam. Banyak yang menentukan pilihan karena ketidaksukaan terhadap pemerintah sekarang yang dianggap terlalu lunak. Sebagian lain menentukan pilihan mungkin karena ingin melihat AS dipimpin oleh sosok lain di luar partai yang berkuasa sekarang dengan mengharapkan perubahan.

Bisa jadi, massa mengambang jenis ini sebenarnya tidak bermaksud secara serius memilih Trump untuk sebuah perubahan atas AS yang mereka idam-idamkan. Pilihan terakhir ini mungkin lebih banyak didasarkan pada keisengan belaka atau lebih bersifat emosional sesaat. Mereka tidak berpikir lebih panjang bila pilihan mereka akan membawa kemenangan bagi Trump dan akan membawa AS empat tahun ke depan ke arah yang tidak bisa diprediksikan.

Suka atau tidak, kemenangan Trump menggambarkan wajah baru AS yang berbeda dengan delapan tahun kepemimpinan Obama. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas kepemimpinan Trump empat tahun ke depan tidak hanya secara domestik, tetapi juga terhadap dunia internasional.

Implikasi

Kemenangan Trump ini membawa implikasi yang beragam bagi negara mitra AS maupun negara lain secara global. Mexico tentu sekarang harus lebih berhati-hati bila kebijakan pengetatan atau bahkan penutupan perbatasannya dengan AS dilaksanakan. Walau ide ini sebenarnya terlihat muskil diterapkan karena selama ini AS, Mexico, dan Kanada telah mengenyam banyak manfaat dari kerja sama perdagangan lintas batas.

Implikasi lain adalah ketidak jelasan arah dan pilihan kebijakan luar negeri yang akan diterapkan AS di bawah kepemimpinan Trump. Misalnya, dari sisi kerja sama ekonomi, penolakan terhadap Trans-Pacific Partnership (TPP) akan semakin mempersulit posisi AS dalam memimpin tata kelola ekonomi global. Di sisi lain, bila ini benarbenar terjadi maka China akan mengambil alih kendali dan semakin melaju kencang dengan Regional Comprehensive Economic Partnerships (RCEP).

Bila ini terjadi, relakah AS menyaksikannya? Dengan pandangan AS yang isolasionis maka harus dihitung ulang kemitraan strategis di bidang keamanan yang selama ini dijalin, misalnya di Asia dengan Jepang dan Korea Selatan. Bila AS memilih lebih fokus pada isu domestik menampilkan sosok yang kurang bersahabat terhadap negara-negara lain, maka pertanyaannya kemudian apakah Jepang akan berani mengambil pilihan lebih asertif menggantikan kepemimpinan AS di Asia.

Dengan kata lain, AS membiarkan Jepang berhadapan dengan China sendirian. Bagi Indonesia, pergantian rezim ini kemungkinan tidak akan memberikan perubahan hubungan yang mendasar dari era Obama yang memiliki keterikatan batin dengan Indonesia sehingga kebijakannya lebih preferable.

Secara alamiah, para presiden dari Partai Republik biasanya berhubungan lebih baik dengan Indonesia dengan dukungan kalangan bisnisnya. Hal ini berbeda dengan pola hubungan yang biasanya terjadi bila presiden dari kalangan Demokrat yang cenderung memojokkan Indonesia untuk lebih menghormati nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, perlu diingat bahwa terpilihnya seorang presiden dalam pemilu adalah satu hal dan menjalani kepresidenan adalah hal yang berbeda.

Trump saat ini telah memenangi pemilu, tetapi sepanjang sejarah politik domestik AS memperlihatkan bahwa seorang presiden terpilih tidak akan serta-merta dengan mudah menjalankan kebijakan yang radikal. Ia berada dalam sistem politik AS yang menerapkan checks and balances dan mempertimbangkan opini publik. Dapatkah Trump melewati semua itu semudah mengungkapkan kata-kata kerasnya seperti dalam kampanyenya selama ini?

PROF TIRTA N MURSITAMA, PHD

Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University

***

sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-11-10