Trump dan Timur Tengah: Mengakhiri Konflik Suriah

Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara merangkap Ketua Bidang Politik Timur Tengah The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Tia Mariatul Kibtiah, memublikasikan artikelnya berjudul “Trump dan Timur Tengah: Mengakhiri Konflik Suriah”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Mengakhiri Konflik Suriah

Penulis: Ketua Bidang Politik Timur Tengah ISMES, Tia Mariatul Kibtiah

Pasca terpilihnya Donald J. Trump menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45, dunia Islam ketakutan. Berdasarkan kampanye Trump, salah satu program kerjanya meminta imigran muslim keluar dari Amerika Serikat. Sejumlah pengamat politik dan Hubungan Internasional (HI) melihat, terpilihnya Trump merupakan kiamat bagi perdamaian dunia. Amerika Serikat akan bersikap keras dalam kebijakan luar negerinya terutama pada kawasan negara-negara muslim seperti Timur Tengah. Namun dalam politik tak bisa dilihat ‘hitam putih’ karena seyogyanya politik adalah strategi bersama untuk mencapai tujuan. Dalam sistem demokrasi, jika tujuan telah tercapai, maka akan tercipta deal-deal baru untuk memperkuat posisi pemerintahan. Dalam ilmu politik, politik dibagi dalam tiga bagian; Pertama, political behavior yakni yang berkaitan dengan partai, koalisi, voters, bagi-bagi kekuasaan, birokrasi. Kedua, political institutions, yakni di beberapa negara, mereka menganut presidential system atau federal system dimana eksekutif dan legislatif terpisah seperti Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, political outcomes yakni lebih fokus pada kebijakan seperti pertumbuhan ekonomi, lingkungan, harmoninasi masyarakat dan lain-lain.

Dari ketiga bagian politik tersebut, Trump akan mengabaikan apa yang menjadi campaign icons yakni mengusir imigran muslim keluar dari Amerika Serikat dan menolak imigran baru datang ke Amerika, menekan dunia Islam dan anti Islam. Tidak sesederhana itu. Trump dan tim hanya cerdas berstrategi untuk memeroleh suara sebanyak-banyaknya. Awal start kampanye, Trump hanya mendapatkan delapan persen suara. Dengan mengangkat isu “anti Islam”, suara atau popularitas Trump  terus naik tajam hingga mencapai 60 persen. Bahkan isu ini “meninabobokan” kubu Hillary Clinton yang terlalu percaya diri dengan kampanye damai untuk semua etnis dan agama. Alhasil, kemenangan Trump mengagetkan dunia dan banyak kalangan pengamat politik mengatakan, ini akan menjadi bencana untuk kawasan Timur Tengah yang dikenal sebagai kawasan mayoritas muslim yang juga kerap dijadikan ajang pertaruhan ekonomi Amerika Serikat dalam penjualan senjata dan pengerukan sumber daya alam minyak. Hal tersebut juga disampaikan Smith Haddar, Dewan Penasihat ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies) yang sempat berbincang bersama pengurus ISMES di Gedung LIPI mengenai semakin kerasnya sikap Trump terhadap Timur Tengah dan akan mendukung terhadap kebijakan Israel.

Namun setelah dinyatakan menang, komentar Trump berbeda dengan saat kampanye. Trump mengatakan bahwa ras apapun, agama apapun mereka adalah rakyat Amerika yang akan mengembangkan perekonomian Amerika. Ini adalah sebuah ‘clue’ tajam yang menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Trump ke depan. Trump Nampak bergeser dari janji-janji kampanyenya. Trump dalam sebuah laporan media juga menyesalkan  soal kematian Saddam Hussein (Presiden Irak) dan Muammar Khadafi (Pemimpin Libya). Saddam dan Khadafi dianggap sebagai tokoh penyeimbang dunia (balance of power) yang dihabisi pemerintahan George W Bush atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak dan keduanya dianggap diktator serta melanggar HAM (Hak Azasi Manusia). Diketahui, Amerika Serikat pada masa Bush melakukan invasi ke Irak Tahun 2003 yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Saddam serta menggiringnya ke kematian Tahun 2006. Dilanjutkan pemerintahan Obama yang membiarkan tentara Amerika Serikat di Irak melakukan tindakan kriminal terhadap masyarakat Sunni. Dari sinilah awal munculnya ISIS (Islamic State Iraq and Syria). Kelompok fanatik Saddam yang sakit hati karena termarjinal dengan bergantinya rezim Syiah di Irak dibawah Nouri al-Maliki, membentuk barisan dan menciptakan mimpi untuk mendirikan negara sendiri yang terbentang antara Irak hingga Suriah. Kelompok inilah yang kini melakukan teror di beberapa belahan dunia termasuk di Suriah dan Indonesia yang dikenal dengan IS (Islamic State). Hal ini juga diakui oleh David William Donald Cameron, Mantan Perdana Menteri Inggris. Menurutnya, Amerika dimasa pemerintahan Obama ikut andil dalam terbentuknya ISIS.

Trump serius ingin menghentikan apa yang menjadi langkah Obama terhadap Timur Tengah. Rencana awal 100 hari program kerja pemerintahannya, Trump akan fokus pada masalah teroris dan imigran. Ada sekitar 2 juta imigran akan dikeluarkan dari Amerika Serikat. Namun imigran yang memiliki riwayat tindakan kriminal. Tidak semua imigran muslim ‘asal’ dikeluarkan dari Amerika Serikat. Mengutip dari situs Telegraph, Trump akan memisahkan pribumi dengan pendatang dan menghalau pendatang baru yang masuk ke Amerika Serikat terutama yang berasal dai Suriah. Ini dimaksudkan untuk menghapus rekam jejak kebijakan Obama di Gedung Putih dan untuk menjaga stabilitas dalam negeri Suriah. Meski sudah diperingatkan oleh pihak pengamat politik di Amerika bahwa kebijakannya akan memicu merosotnya perekonomian Amerika, Trump akan tetap melendingkan program pembersihan imigran dari Timur Tengah ini dengan serius. Berkaitan dengan terorisme, Trump juga  akan lebih bersikap tegas menyelesaikannya terutama ISIS.

Bekerja Sama Dengan Iran dan Rusia

Untuk memuluskan rencananya yang cukup complicated ini, Trump akan mendekat pada Iran dan Rusia. Kedua negara tersebut (Iran-Rusia-red) konsentrasi atas konflik di Suriah. Iran menginginkan rezim Bashar al-Assad tetap menjadi penguasa Suriah. Sementara kaum Sunni dibawah komando Saudi Arabia, menginginkan Assad turun dan digantikan pihak mereka (para oposisi Sunni). Hasrat politik Iran dan Assad ini didukung Rusia. Iran dan Rusia secara tidak langsung berhadapan atas konflik Suriah dengan Amerika Serikat dan Saudi Arabia. Pasokan senjata dari Amerika Serikat dengan dana yang ditopang Saudi, menyebabkan konflik ini panjang tak berkesudahan. Atas konsekuensi ini, Amerikapun dibawah pemerintahan Obama, menerima imigran dari Suriah. Pada masa Trump, mereka akan dibersihkan dan akan dibuat benteng di Meksiko untuk menghalau kedatangan para imigran.

Bukti mendekatnya Trump atas Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin langsung mengucapkan ”selamat” atas kemenangan Trump. Putin berharap, Rusia dan Amerika bisa menyelesaikan masalah-masalah internasional yang tidak ada titik temunya pada masa Obama. Iran yang notabene merupakan koalisi permanen Rusia, pada masa Trump ini akan sedikit dekat dengan Amerika meski tidak akan sedekat saat masa rezim Amerika-Shah Reza Pahlevi (sebelum Revolusi Iran 1979). Namun banyak kesepakatan-kesepakatan Timur Tengah yang akan sejalan dengan Trump termasuk konflik Yaman yang melibatkan Iran dan Saudi Arabia dan akan dihentikannya perang di Suriah. Saudi Arabia selama ini dikenal sebagai negara yang menopang kampanye Partai Demokrat Amerika Serikat termasuk kampanye Obama dan Hillary Clinton. Namun, Trump tidak serta merta menjauh secara signifikan dengan Saudi Arabia. Kedua negara ini sudah memiliki rasa saling ketergantungan yang kuat dalam menjalankan kebijakan luar negeri masing-masing terutama untuk stabilitas ekonomi Amerika dan politik Timur Tengah.

Raja Saudi Salman bin Abdul Aziz mengucapkan “selamat” atas terpilihnya Trump dan meminta presiden ke-45 ini bersama-sama menjaga stabilitas politik Timur Tengah. Ucapan selamat ini merupakan bentuk harapan pemerintah Saudi agar Amerika tetap menjadi sahabat terbaiknya untuk menangkis pengaruh Iran di Timur Tengah. Smith Haddar memberikan pandangan berbeda mengenai sikap Trump atas Iran. Trump akan lebih bersikap keras terhadap Iran daripada Obama. Kesepakatan nuklir yang sudah ditandatangani di Vienna Austria pada 2015 antara Iran, Amerika Serikat dan negara-negara P5+1 (Inggris, Perancis, Rusia, Jerman), akan dimentahkan kembali oleh Trump. Trump akan me-review kesepakatan tersebut hingga embargo berlaku lagi untuk Iran. Namun ini masih fifty-fifty karena dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, banyak “deal-deal” yang akan memengaruhi Trump termasuk dari koalisi Iran yakni Rusia dan Cina serta pengaruh Saudi Arabia yang tidak bisa lepas begitu saja dari Amerika Serikat berkaitan dengan besarnya jumlah investasi Saudi di Amerika. ***

***

sumber: http://ismes.net/2016/12/trump-dan-timur-tengah/