Indonesia di Poros Assad?

Presiden Joko Widodo. Sumber: republika.co.id

Salah seorang Faculty Member Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, memublikasikan artikelnya berjudul “Indonesia di Poros Assad?”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Indonesia di Poros Assad?

Serangan Amerika Serikat ke Suriah pada 7 April 2017, merupakan bentuk intervensi negara adi daya itu di kawasan Timur Tengah untuk yang kesekian kalinya. Alasan Amerika melakukan serangan karena Presiden Suriah Assad dituduh menggunakan gas syaraf yang menewaskan banyak warga sipil Suriah, terdiri dari anak-anak dan para wanita. Meski hal ini sudah dibantah pihak Assad dan koalisi, namun tidak menyurutkan langkah Amerika Serikat mengirim 59 misil jenis Tomahawk ke Suriah.

Pihak Assad justeru menuduh, al-Nushra, salah satu kelompok oposisi Assad menyimpan senjata kimia. Sejumlah negara mendukung serangan Amerika Serikat seperti Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Turki, Saudi Arabia, Inggris, Spanyol, Israel. Sementara posisi Indonesia memilih agar Amerika tidak melakukan serangan ke Suriah.

Baru pada masa pemerintahan Jokowi, Indonesia berani mengambil langkah berbeda. Indonesia bersama Cina, Iran, Rusia menolak kehendak Amerika Serikat untuk menyerang Suriah. Selama ini, Indonesia selalu berada di lingkaran koalisi Amerika Serikat. Jokowi mulai mengubah kebijakan luar negerinya dalam berbagai hal dari presiden sebelumnya.

Jokowi mulai mendekat pada koalisi Rusia, Iran, Cina, dan Assad. Misalnya, dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, Jokowi lebih memilih Cina sebagai mitra bisnisnya. Pada Desember 2016, Indonesia dan pihak Iran melalui Pertamina dan NIOC (National Iranian Oil Company) telah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) di bidang minyak untuk jangka waktu 25 tahun. Iran menjadi supplier minyak untuk Indonesia sekitar 150 ribu barel per hari. Demikian juga dengan PLN (Indonesia) dan Mapna Group (Iran), mereka menyepakati MoU di bidang turbin.

Sikap ini tentu mengejutkan banyak pihak karena Indonesia selama ini dikenal selalu menjadi mitra strategis Amerika dan sekutunya. Bahkan, salah satu Kedutaan Eropa memertanyakan sikap Jokowi yang memenangkan tender perusahaan minyak Iran. Atase Pendidikan dan Budaya Iran untuk Indonesia Marandi mengatakan, pemerintahan Jokowi lebih baik dari sebelumnya dalam melakukan kerjasama dengan Iran.

Angka perdagangan Iran-Indonesiapun di bawah pemerintahan Jokowi meningkat tajam. Sebelumnya, ada kendala teknis pembayaran expor-impor antara Indonesia-Iran, efek dari diembargonya Iran oleh pihak Amerika Serikat. Sejumlah bank di Indonesia khawatir untuk menerima langsung pembayaran perdagangan dengan Iran sehingga selalu menggunakan bank pihak ketiga. Namun hal tersebut kini sudah bisa diatasi.

Kondisi rakyat Indonesia sendiri, akhir-akhir ini, tengah sensitif dengan isu SARA. Anti-syiah yang berarti anti-Iran dan anti-Assad tengah meningkat tajam. Agama dan perbedaan sekte menjadi alat politik kelompok-kelompok tertentu untuk memenangkan Pemilu.

Rakyat Indonesia yang Muslim Sunni radikal melihat konflik Suriah sebagai bentuk kekejaman Assad yang bermadzhab Syiah terhadap rakyat Sunni Suriah. Menentang Assad sama dengan jihad. Maka sekitar 500-an WNI  pergi ke Suriah dan banyak yang terbunuh di sana. Ada yang bergabung dengan ISIS ada juga yang bergabung dengan kelompok radikal lainnya. Bahrumsjah salah satu pimpinan Front yang merupakan WNI tewas belum lama ini.

Masyarakat Indonesia Sunni “garis keras” mendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan serangan ke Suriah untuk mengakhiri rezim Assad. Hal ini kontradiktif saat Pemilu Amerika Serikat berlangsung, mereka menolak dan mengecam Trump karena dianggap rasis dan akan mengusir muslim pendatang yang tinggal di Amerika.

Saat terpilih menjadi presiden, Trump langsung menerapkan sistem travel Ban untuk sejumlah negara dengan populasi muslim terbesar terutama Timur Tengah seperti Irak, Iran, Sudan, Yaman, Syria. Sementara negara-negara Timur Tengah lain yang selama ini menjadi mitra Amerika seperti Uni Emirat, Saudi, Mesir lolos dari aturan travel Ban Trump.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami guncangan isu SARA anti Syiah, anti pimpinan non muslim, tidak menyurutkan Jokowi untuk menolak bentuk intervensi Amerika di Timur Tengah. Melalui Kementrian Luar Negeri Indonesia mengatakan, tindakan Amerika tanpa persetujuan DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan menyalahi hukum internasional. Penyelesaian konflik harus dilakukan secara negosiasi dan diplomasi.

Sejumlah pemimpin di Timur Tengah telah terbunuh dan jatuh. Saddam Hussain tumbang karena dituduh memiliki senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) yang hingga kini tuduhan tersebut tidak terbukti. Tuduhan itulah yang melegalkan Amerika menduduki Irak dan berakhirnya Saddam di tiang gantungan.

Nasib yang sama dialami oleh Libya. Muammar Khadafi dianggap pemimpin yang diktator dan harus diakhiri. Melalui oposisi Khadafi, Amerika memainkan perannya untuk membunuh dan menggulingkan Khadafi. Hasilnya, berhasil. Kini kondisi Libya tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.

Saat ini, model serupa tengah dimainkan pada Assad, yakni tuduhan penggunaan senjata kimia pada rakyat sipil dan diktator. Pada masa pemerintahan Obama, dia lebih berhati-hati memutuskan menyerang Suriah. Assad didukung banyak negara kuat seperti China, Rusia dan Iran.

Amerika menghadapi dilemma dengan oposisi Assad yang terdiri dari kelompok radikal Islam seperti Jabat al-Nushra dan ISIS (Islamic State Iraq and Syria). Negara super power ini sedang mencari ramuan yang tepat jika Assad berakhir, siapakah pengganti yang tepat memimpin Suriah. Namun pada masa Trump, kehati-hatian itu sirna.

Tiba-tiba puluhan warga sipil Suriah meninggal karena serangan senjata kimia, Amerika langsung menuduh Assad sebagai pelaku, Trump mengumumkan melalui siaran pers Assad harus diakhiri dan seperti biasa; mengajak dunia untuk bergabung dengan “kemauan” Amerika Serikat. Prosesnya begitu cepat. Dunia kini tinggal melihat, apakah Assad akan bernasib sama seperti Saddam dan Khadafi?

Dosen Hubungan Internasional Binus Unversity Pada Kajian Wilayah Timur Tengah dan Ketua Divisi Ekonomi Politik ISMES (The Indonesian Society for Middle East Studies)

sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/04/09/oo5aue396-indonesia-di-poros-assad