Dosen HI Binus: Qatar Akan Rugi Karena Perseteruan Saudi-Iran

Doha, Qatar. (Foto: Reuters/Fadi Al-Assaad). Sumber: Kumparan

 

Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi telah secara resmi memutuskan hubungan dengan Qatar. Langkah tersebut diikuti oleh sejumlah negara lain di kawasan Timur Tengah dan sekitarnya.

Dalam wawancara dengan Kumparan, dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, mengatakan bahwa meski Iran bersedia menolong Qatar, namun hal tersebut dinilai tak akan banyak membantu dalam jangka panjang. Kerugian akibat pemutusan hubungan diplomatik oleh Saudi dan sekutunya, diyakini lebih besar. “(Dengan dibantu Iran pun), Qatar tetap akan rugi, karena letak geografisnya berdekatan dan berbatasan langsung dengan Saudi. Ia melakukan banyak transaksi dalam berbagai sektor dengan Saudi. Dan kini Saudi menutup wilayah darat, air, dan udaranya bagi Qatar. Ini jelas sangat menyulitkan.” Tia berpendapat, “Qatar harus berbaikan dengan Saudi, melakukan pendekatan agar bisa diterima kembali oleh Gulf Countries, jika ingin situasi membaik. Kalau tidak, kondisi seperti sekarang tak baik buat Qatar dan stabilitas regional di kawasan itu.”

Gulf Countries yang dimaksud Tia ialah negara-negara Arab yang berbatasan dengan Teluk Persia –Bahrain, Irak, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab– dan tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council; GCC). Dari 7 negara-negara Teluk tersebut, 3 memutuskan hubungan dengan Qatar, yakni Saudi, UEA, dan Bahrain. Sementara 4 negara lain yang ikut mengisolasi Qatar di luar Gulf Countries ialah Yaman, Mesir, Libya, Maladewa, dan Mauritius.

Jika krisis Qatar sukar dirampungkan, maka peta geopolitik Timur Tengah dapat bergeser, dengan posisi Qatar akan lebih dekat ke Iran. “Selama ini Qatar (secara formal) mendukung kebijakan luar negeri Saudi Arabia. Tapi dengan isolasi ini, kemungkinan berubah,” ujar Tia.

Saudi dan Iran ialah ialah seteru di jazirah Arab. Keduanya sulit, bahkan hampir mustahil, untuk disatukan. “Karena memang ada pihak-pihak yang tak menginginkan dua kekuatan besar di Timur Tengah itu damai, dengan mengedepankan konflik Suni-Syiah di antara mereka,” kata Tia.

Dulu, pada satu waktu, Iran sesungguhnya pernah menjalin hubungan mesra dengan negara-negara Arab. Masa itu sesungguhnya belum lama berlalu, sekitar 40 tahun lalu. “Itu pada masa (Mohammad Reza) Pahlavi. Iran bekerja sama baik dengan tetangga-tetangganya di Arab. Amerika Serikat mendukung penuh Pahlavi. Demikian pula Saudi yang merupakan sekutu AS. Tapi semua itu berakhir ketika Revolusi Islam. Sejak saat itu, Iran selalu berseberangan dengan negara-negara Arab, juga AS,” ujar Tia.

Dalam hal ini, kepentingan Saudi dan AS bertemu. Keduanya sama tak suka dengan pemerintahan baru Iran –pun meski AS menganut sistem demokrasi bahkan mengagungkannya dan menjadikannya salah satu alasan untuk menginvasi negara lain. AS dongkol karena rezim Pahlavi yang ia sokong runtuh, sedangkan Saudi was-was karena salah satu negara kuat di Timur Tengah kini mengusung demokrasi –ancaman serius bagi monarki yang sebelumnya dianggap abadi di kawasan itu. “Kalau demokrasi menyebar ke seluruh jazirah Arab, berbahaya untuk Dinasti Saud,” kata Tia.

Jika Qatar memutuskan menjaga hubungan baiknya dengan Iran, kata Tia, maka ia akan cenderung berada di kubu Iran-Rusia-China. “Berbeda dengan Saudi dan Negara-negara Teluk lain yang beraliansi dengan Amerika dan Eropa,” ujarnya.

Faktor politik global, termasuk AS yang salah satu negara adidaya hingga kini, tak dapat dinafikan. “Biasanya, jika ada negara tak patuh (pada AS), ada kekisruhan di negara tersebut. Dulu (Presiden Suriah) Hafizh al-Assad kan nurut sekali sama Amerika. Ketika pada kepemimpinan anaknya, Basyar al-Assad, berpaling (dari AS), di sana langsung ricuh. Contoh lain, (Presiden Irak) Saddam Hussein tak juga mau patuh, ia akhirnya dituduh memiliki senjata pemusnah massal,” kata Tia.

Wawancara Tia oleh Kumparan dapat dilihat pada tautan berikut:

https://kumparan.com/anggi-kusumadewi/qatar-terjepit-kobar-api-perseteruan-saudi-iran