Mengkritisi Cina Tanpa Xenofobia

Salah satu dosen HI BINUS, Amalia Sustikarini, memberikan analisisnya mengenai kritik terhadap praktek bisnis Cina dan kaitannya dengan xenofobia. Berikut kutipan tulisan Amalia di Detiknews: (https://news.detik.com/kolom/4350505/mengkritisi-cina-tanpa-xenofobia).

Sumber: news.detik.com

Jakarta -Baru-baru ini dunia dikejutkan dengan penangkapan Sabrina Meng, Chief Financial Officer Huawei, perusahaan elektronik raksasa milik Cina. Peristiwa ini memancing kekhawatiran terhadap meningkatnya tensi perang dagang antara Cina dan AS yang sebenarnya telah berusaha diturunkan dalam pertemuan G20 di Argentina. Meng ditahan oleh otoritas di Kanada atas permintaan dari AS. Belum ada versi resmi tentang sebab penangkapan ini, walau sumber kuat menyebutkan bahwa Huawei menjalin kerja sama dengan perusahaan di Iran, negara yang sedang diembargo oleh negara Paman Sam tersebut.

Lebih dari kegusaran AS tentang hubungan Cina dan Iran, ada hal yang lebih menggelisahkan AS dan negara negara sekutunya terhadap keberadaan Huawei, yaitu tentang potensi penyadapan yang dapat dilakukan oleh Cina karena peran Huawei dalam instalasi perangkat 5G di banyak negara. AS dan Australia telah jelas-jelas menunjukkan penolakannya terhadap instalasi 5G oleh Huawei karena alasan keamanan nasional.

Sampai saat ini belum ada keterangan dari pemerintah Indonesia tentang keberadaan Huawei yang dikaitkan dengan kemungkinan penyadapan. Huawei sendiri seperti layaknya perusahaan asal Cina lainnya, disambut hangat di Tanah Air. Huawei mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 2000 dengan pengadaan BTS bagi perusahaan telekomunikasi dan selular. Saat ini Huawei dalam tahap persiapan membangun jaringan 5G di seluruh wilayah Nusantara.

Di luar kekhawatiran tentang kemungkinan penyadapan dan keamanan nasional, ada hal lain yang cukup penting untuk dikaji tentang pentingnya sikap untuk tetap kritis terhadap Cina (dan negara lainnya) yang merupakan mitra ekonomi-perdagangan negara kita, tanpa harus terjebak dalam diskursus ideologi dan kecenderungan xenofobia atau ketakutan berlebihan terhadap orang asing.

Dalam posisinya sebagai salah satu negara dengan perekonomian terkuat di tatanan global, keberadaan Cina dalam jaringan perekonomian-perdagangan negara-negara di dunia menjadi sebuah keniscayaan. Sulit menemukan negara yang tidak memiliki kerja sama ekonomi-perdagangan dengan Cina saat ini. Sistem kerja sama ekonomi dengan Cina yang didasarkan pada prinsip pragmatisme menarik banyak negara.

Seiring dengan semakin menguatnya perekonomian global Cina, mulai terdengar kekhawatiran tentang terlalu besarnya pengaruh Cina serta praktik-praktik yang dilakukan oleh negara ini terhadap negara mitra ekonominya. Salah satunya adalah pengaruh Cina di negara-negara dengan perekonomian rentan seperti negara-negara Pasifik. Meningkatnya utang negara negara di kawasan ini kepada Cina dengan drastis mengakibatkan kemungkinan gagal bayar. Mereka juga khawatir terhadap kemungkinan tindakan penyitaan asset negara (asset seizure) seperti yang dikemukakan PM Tonga (Reuters, 15 Agustus 2018).

Kritik terhadap praktik penyuapan yang dilakukan oleh kelompok bisnis Cina terhadap aparat pemerintah juga menjadi sorotan tajam. Anne Marie Brady, seorang akademisi dan ahli tentang Cina di University of Canterbury Selandia Baru mempublikasikan risetnya tentang China Interference untuk mempengaruhi politik di Selandia Baru, khususnya lewat media, Diaspora Cina, kelompok bisnis dan lembaga yang mempromosikan kebudayaan seperti Confucius Institute. Hasil penelitiannya ini memicu perdebatan tentang hubungan antara Cina dan Selandia Baru.

Yang mengejutkan, terjadi beberapa tindakan intimidasi terhadap Brady di antaranya berupa pencurian laptop yang berisi data data penelitian serta adanya orang yang masuk ke kantornya secara ilegal. Pelakunya diduga komponen intelijen Cina yang merasa terganggu dengan publikasi hasil penelitian Brady tersebut (New Zealand Herald, 15 September 2018). Hal ini memicu kecaman dari banyak pihak termasuk kalangan akademisi yang merasakan ancaman terhadap kebebasan akademisnya.

Di Indonesia, sayangnya, upaya membangun diskursus yang konstruktif tentang peranan Cina dalam bidang ekonomi dan bidang lainnya seringkali dibatasi oleh keterbelahan opini masyarakat yang sangat tajam yang kemudian menghilangkan aspek kritis. Pendapat tentang Cina seakan selalu terbagi antara versi pemerintah dan “oposisi” dan dikaitkan dengan politik. Seperti yang terjadi dalam kasus TKA Cina, tidak terjadi debat yang konstruktif tentang masalah ini dan jalan keluarnya. Yang terjadi adalah kedua pihak menjadi sangat defensif dengan pendapatnya masing masing.

Pemerintah (dan masyarakat yang mendukung) merasa harus memberikan counter argument untuk mengamankan kerja sama ekonomi dengan Cina, termasuk proyek infrastruktur yang sangat penting untuk pemerintahan Jokowi. Sementara, pihak oposisi dan kelompok masyarakat pendukungnya pun sering terjebak pada labeling bahaya komunisme, serta penyebaran ketakutan (fear mongering) terhadap hegemoni Cina, termasuk terhadap proyek BRI (Belt and Road Initiative).

Padahal sebenarnya banyak yang bisa dikritisi tentang regulasi TKA, hubungan antara pemodal Cina dengan aparat pemerintah daerah tempat investasi dari Cina dijalankan, atau perbandingan pola pembangunan proyek yang dijalankan oleh Cina di negara negara Afrika dengan di Indonesia.

Bagaimana kita dapat bersikap kritis terhadap Cina tanpa terjebak pada xenofobia,rasisme, atau ketakutan berlebihan pada komunisme? Sikap kritis dimungkinkan apabila kita berpedoman pada nilai dan prinsip yang disepakati bersama sebagai bangsa. Mengutip pendapat Anne Marie Brady dalam artikelnya yang berjudul The Magic WeaponsChina’s Political Influence Activities Under Xi Jinping (2017), Brady berpendapat bahwa demokrasi, sebuah sistem yang juga dianut oleh Indonesia, sangat kritis terhadap praktik suap yang bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan penegakan hukum. Demokrasi juga menjunjung tinggi kebebasan akademis dan media.

Magic Weapons sendiri adalah sebuah istilah bagi United Front, sebuah lembaga di Cina yang bertugas untuk menjalankan foreign influence atau upaya mempengaruhi negara negara luar yang ditujukan bagi mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik. Indonesia dapat juga menggunakan “magic weapon“-nya berupa nilai-nilai demokrasi untuk mengkritisi hubungan dengan Cina dan negara negara lain yang merupakan mitra strategis perdagangan-ekonomi apabila mereka melakukan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan good governance tersebut.

Tak hanya dengan Cina, magic weapons ini dapat kita gunakan untuk mengkritisi kecenderungan proteksionisme AS, atau boikot Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit mentah dari Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbaik di Asia Tenggara dan kita mampu untuk meningkatkan martabat bangsa tanpa dihantui xenofobia.

Amalia Sustikarini mahasiswa S3 di Program Ilmu Politik University of Canterbury New Zealand, Research Associate CBDS Binus University