Bahaya Indo-Pasifik

Jakarta – Minggu lalu, dialog tingkat tinggi untuk kerja sama Indo-Pasifik dengan delegasi level menteri dari 18 negara dilangsungkan di Jakarta.

Dialog menyentuh respons terhadap tantangan global yang dirasakan di kawasan. Pihak Indonesia menggarisbawahi sifat dialog yang inklusif sebagai langkah konkret mengatasi kompleksitas dan sensitivitas isu-isu yang dihadapi saat ini di kawasan. Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne menulis di Kompas (20/3/2019) bahwa ia gembira bisa dipersatukan dalam komitmen bersama dalam semangat persahabatan dan saling pengertian.

Ia memuji-muji Indonesia, mengaitkan pernyataannya dengan kejadian penembakan di Christchurch demi menekankan betapa Australia tak punya niat mengganggu keberagaman dan toleransi di kawasan. Benarkah demikian?

AS sebagai Poros

Politik internasional saat ini tengah berubah cepat. Percepatan itu terutama dimotori oleh AS yang jadi poros kekuatan ekonomi dan politik terkuat dewasa ini. Politik internal AS mengharuskan Trump untuk segera (dalam empat tahun) mewujudkan janji yang sudah diucapkannya dan yang terpenting harus ada impact yang harus segera terasa terutama dalam pertumbuhan ekonomi, pekerjaan dan investasi. Kebijakan-kebijakan Trump telah mengubah relasi politik internasional dari kerja sama multilateral menjadi bilateral. Ini juga mengubah interaksi dan negosiasi negara-negara dari yang awalnya kerja sama dengan mengedepankan nilai dan konsensus bersama menjadi persaingan yang mengedepankan kompetisi.

Sumber: bebas.kompas.id 

Bagi AS, semua negara adalah kompetitor kecuali mereka mau berada di bawah otoritasnya. AS menerjemahkan hal itu dengan memberikan insentif dan disinsentif. Mereka yang ikut keinginan AS akan dapat insentif seperti didapatkan Meksiko dan Kanada dalam USMCA (US-Mexico-Canada-Agreement) dan mereka yang menentang akan mendapatkan sanksi berupa tarif, seperti China. Departemen Perdagangan AS telah memulai 122 penyelidikan anti-dumping (countervailing duties). China di urutan pertama, diikuti Jepang, Jerman, Meksiko, Irlandia, Vietnam, Italia, Korea Selatan, Malaysia, India, Thailand, Perancis, Swiss, Taiwan. Indonesia urutan ke-15.

Kontestasi Konsep Indo-Pasifik

Salah satu mekanisme untuk membelah negara kompetitor dan yang bukan antara lain lewat konsep Indo-Pasifik. Kita perlu membaca dan menginterpretasi konsep ini dalam konteks saat ini karena AS dan sekutunya pun menginterpretasikan ulang konsep itu sesuai kepentingan mereka saat ini. Sepanjang yang saya amati, Trump jarang membuat kebijakan baru. Ia menggunakan celah kebijakan lama yang dibuat presiden-presiden sebelumnya (kubu Demokrat maupun Republikan) untuk memajukan kepentingan AS. Ini dilakukan sebagai dasar legitimasi demi menghindari kritik dari Kongres atau publik.

Pernyataan Payne menggambarkan kegembiraannya bahwa Indonesia (akhirnya) mau terbuka bahkan dianggap mendukung konsep Indo-Pasifik yang diusungQuad (Quadrilateral Security Dialog), yakni kelompok kerja sama keamanan militer dan politik kawasan yang dimotori Australia, AS, Jepang, dan India. Australia adalah tangan kanan AS di kawasan kita. Sama seperti Australia secara aktif terus meyakinkan India untuk lebih efektif menghadapi China jika bergabung dalam Quad, bahkan Australia menjanjikan berbagai program bantuan infrastruktur dan energi pada India, Australia pun aktif membujuk Indonesia.

Indonesia sebenarnya sudah mengendus niat AS sejak 2002 yang lewat Jepang dan forum East Asia Summit (EAS) menyuarakan pentingnya melibatkan India dan Australia dalam EAS. Saat itu negara-negara ASEAN terpecah dalam respons tetapi Indonesia memilih mencari jalan tengah dan mencari penegasan bahwa bila ASEAN diterima untuk berperan sentral dalam menjaga keamanan dan stabilitas kawasan, Indonesia akan menerimanya. Dalam perjalanannya wacana Indo-Pasifik sempat kendur karena politik dalam negeri India, Australia, dan Jepang mengharuskan mereka sibuk di dalam negeri dan menjauh dari AS. Saat itu pula kepekaan kita menurun terhadap gerakan lanjutan mereka.

Ternyata AS dan Australia konsisten mencari cara menangkal bahkan menghantam China. Pada 2007, dialog Quad dibuka lagi dengan keyakinan bahwa kini lebih banyak alasan menangkal China. Jepang berhadapan dengan China di pulau Senkaku; India merasa tak didengar oleh China ketika neraca perdagangannya defisit besar dengan China, kepemimpinan Australia beralih dari Partai Buruh ke Partai Konservatif yang anti-China. Konsep yang ditawarkan AS adalah The Free and Open Indo-Pacific (FOIP). Tuan rumah pertemuan mereka adalah Singapura dan saat itu Singapura mengajak Quadbertemu sebagai pertemuan sampingan (sideline meeting) ASEAN, yakni di ASEAN Regional Forum di Filipina. Sejak saat itu kontestasi konsep keamanan Indo-Pasifik hidup lagi dan ASEAN (serta Indonesia) didesak untuk bersikap.

Indo-Pasifik menggambarkan wilayah yang digarap, yakni negara-negara yang terletak di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Asia terletak persis di tengah-tengah kedua samudra. AS menyebut keempat negara itu sebagai ”Poros Demokrasi” (axis of democracies)dan ”Zamrud Keamanan” (security diamond)untuk menangkal kekuatan China. Niat AS adalah membungkus konsep keamanan kawasan ini dalam bingkai demokrasi (bahkan HAM) seperti tampak dalam pernyataan Wakil Presiden AS Mike Pence yang pada pertemuan APEC di Port Moresby 2018 mengatakan Indo-Pasifik menawarkan konsep kawasan yang ”bebas dan terbuka”, bebas dari tekanan negara-negara lain, menghormati kebebasan individu, kebebasan agama, tata kelola pemerintahan yang baik, menjunjung tinggi nilai-nilai dalam Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM, wilayah laut dan udara yang bebas, investasi yang bebas dan transparan dengan perlindungan hak intelektual dan perdagangan yang menguntungkan.

FOIP ini dikumandangkan lewat forum Halifax International Security Forum yang pada November 2018 mengukuhkan posisi AS dan sekutunya di Quad untuk bergerak bersama atas nama demokrasi. Yang menarik, undangan bicara di sana terbatas dan dari pihak AS yang hadir bukanlah sipil melainkan militer, yakni pimpinan komando Indo-Pasifik AS yang dalam pidatonya mengulang pernyataan Mike Pence.

Indonesia selama ini melihat masih ada peluang bahwa jika ASEAN ada di tengah Indo-Pasifik dan mengambil peran aktif, konsep Indo-Pasifik ala AS yang disebut FOIP bisa dibelokkan menjadi konsep kerja sama Indo-Pasifik ala ASEAN. Berikut buktinya bahwa pandangan Indonesia adalah naif.

Pertama, ASEAN tak pernah satu suara menanggapi FOIP, tetapi tak demikian suara yang terdengar oleh Quad karena Singapura aktif meyakinkan Quad bahwa ASEAN ada di belakang Quad. PM Singapura Lee Hsien Loong pada Maret 2018 (Jakarta Post, 2/4/2018) segera sesudah kapal tempur AS melewati 12 mil dari pulau buatan China di Mischief Reef mengatakan ”kebanyakan anggota ASEAN mendukung dan menyambut posisi AS” dan ia menyebut AS sebagai kekuatan di Pasifik. Lebih lanjut ia menyebut kehadiran AS sebagai reliable and constructive (bisa diandalkan dan bersifat membangun). Singapura juga aktif jadi tuan rumah pertemuan Quad dan ia tak segan-segan menyisipkan agenda pertemuan Quad dalam bungkus EAS sehingga saat Singapura jadi Ketua ASEAN di 2007 dan 2018, ia mengizinkan negara-negara Quad melakukan sideline meeting dalam minggu ASEAN Summit. Para kepala negara ASEAN terkondisi untuk bertemu dengan pimpinan negara-negara Quad.

Setelah ASEAN Summit 2018, Quad bersepakat ”menambah gigi” pada kebijakan-kebijakannya dan sasarannya adalah China. Artinya, ada yang menambah kepercayaan diri Quad pasca-pertemuan ASEAN itu. Tentu kita juga tak boleh lupa, Singapura sudah menyediakan sejumlah basis militer AS.

Kedua, konsep Indo-Pasifik yang ditawarkan Indonesia lewat ASEAN, yakni yang berbasis pada Treaty of Amity and Cooperation dianggap angin lalu saja. Perhatikanlah pernyataan ketua ASEAN tahun 2013 dan 2014, tak ada yang menjamin posisi ASEAN di Indo-Pasifik. Namun, Singapura sebagai ketua mengeluarkan pernyataan-pernyataan informal seakan-akan konsep FOIP-lah yang disetujui ASEAN.

Ketiga, Australia yang sudah berulang kali ikut pertemuan sampingan dengan ASEAN memang mengatakan Quad adalah terpisah dari Indo-Pasifik yang dibicarakan di ASEAN, tetapi ia tak pernah menolak FOIP. Australia bahkan sudah memperkuat kepentingan dirinya dan AS dengan meningkatkan investasi peralatan pertahanan keamanan termasuk persenjataan, kapal selam, dan patroli laut. India pun tak pernah menanggapi konsep TAC dalam Indo-Pasifik yang dipahaminya, terbukti India mendesak Indonesia dan Malaysia melakukan patroli bersama di Selat Malaka dengan format seakan-akan Indonesia dan Malaysia sudah menjadi bagian dari kerja sama keamanan FOIP.

Inkonsistensi

China adalah sasaran tembak utama dari konsep Indo-Pasifik. AS dan sekutu-sekutunya melakukan berbagai cara untuk menggembosi sumber-sumber penghasilan China dan memastikan China punya ketergantungan ekonomi lebih besar pada AS. Mereka gembira kerja sama Belt and Road Initiative mulai dijauhi negara-negara berkembang.

Perspektif Indonesia harus diubah. Kita tak bisa memperlakukan relasi dengan negara-negara lain dalam kerangka kerja sama liberalisme yang mengandaikan relasi konstruktif adalah niat semua atau sebagian besar negara. Rasa saling percaya sudah defisit. Negara-negara di sekeliling kita merapat pada yang dianggap bisa menjamin keamanan dan stabilitas politik serta kemakmuran seandainya pun sampai terjadi konfrontasi alias perang terbuka. Dalam hal ini Indonesia belum punya tawaran yang meyakinkan karena pola pikir kita masih seputar negosiasi di atas meja.

Presiden RI periode 2019-2024 patut waspada karena konsep demokrasi yang terus digaungkan oleh Quad di kawasan padahal negara-negara yang terlibat di situ tak bisa dibilang konsisten menjalankan demokrasi ataupun mempraktikkan prinsip-prinsip HAM. Singapura yang selalu diajak Quad, misalnya, sulit dikatakan peduli demokrasi dan HAM. Saat Indonesia mendorong pendekatan HAM dalam penanganan Myanmar justru Singapura yang aktif menolak dialog apa pun terkait Myanmar dan Rohingya apalagi yang terkait temuan Tim Pencari Fakta Independen PBB. Singapura dalam keketuaannya berhasil membelokkan dialog ASEAN pada penambahan mandat bagi AHA ASEAN Humanitarian Aid) Center sehingga titik tumpu kerja sama untuk Myanmar, kalaupun nantinya terwujud, sebatas bantuan kemanusiaan.

Kita sudah melihat apa yang terjadi di Venezuela, Yaman, Iran. Tak ada yang perlu masuk akal ketika AS memutuskan untuk mengubah tatanan politik di suatu kawasan. Ketika para sekutu AS sepakat memperkokoh kerja sama keamanan dengannya, pada momen itu pula mereka tinggal menunggu perintah dari AS. Kata-kata manis bukan jaminan bahwa Indonesia aman dari potensi infiltrasi kelompok-kelompok pesanan AS yang ingin memukul China lewat ketegangan berkepanjangan di ASEAN maupun Asia-Pasifik.  Dalam keketuaan Thailand sekarang, hampir bisa dipastikan tak akan ada kegiatan ASEAN yang akan inovatif di bidang demokrasi maupun HAM. Tahun 2020, 2021 dan 2022 saat Vietnam, Brunei Darussalam dan Kamboja jadi ketua pun arahnya dapat terbaca demikian. Artinya kawasan kita secara umum tak dipandang demokratis: sasaran empuk untuk mencari gara-gara yang tidak mustahil berujung pertumpahan darah. Inilah yang disebut proxy war. Semoga Indonesia bergerak memperkecil kemungkinan tersebut.