Buruh Dunia Digital: Eksploitasi Tiada Henti (Resensi Buku) – Bagian 1/3

Menjelang Hari Buruh (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei, Karl Marx menjadi nama dan mantra yang wajib untuk disebut.  Persoalan buruh manual dalam sistem kapitalisme yang dikuliti Marx dalam Das Kapital yang diterbitkan pada abad-19 ternyata belum paripurna, bahkan hingga abad-21 berjalan hampir dua dekade. Zaman berubah, namun kondisi buruh masih tetap sama.

Dalam fenomena yang sering disebut sebagai Revolusi Industri 4.0 (4IR), kemajuan ICT memiliki dampak dan perubahan besar pada pekerjaan. Kategori pekerjaan yang diproyeksikan akan musnah adalah (1) pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya “rutin, repetitive, dan predictable”. Richard Johnston dari Pusat Kebijakan Ekonomi Universitas Ulster mengatakan: “Sektor seperti manufaktur, logistik eceran dan grosir dan beberapa pekerjaan yang berketerampilan rendah adalah yang paling rentan digantikan oleh teknologi mesin atau robot. “ (2) pekerjaan yang pernah dianggap sebagai pekerjaan yang aman, seperti pekerja kantor, tenaga administrasi, dan bahkan hukum, akan terpukul paling keras. Kemajuan teknologi masa depan akan memungkinkan orang untuk bekerja lebih fleksibel, memampukan orang untuk bekerja dari rumah atau di kantor, selama jam kerja ataupun jam libur. Pengusaha juga cenderung memilih pola kerja yang fleksibel untuk mengurangi biaya operasional kantor. Selain itu pasar tenaga kerja yang ditandai oleh prevalensi kontrak jangka pendek atau pekerjaan lepas sebagai kebalikan dari pekerjaan permanen bisa menjadi semakin sering terjadi sebagai bagian dari evolusi fleksibilitas pekerjaan.  (3) pekerjaan berdasarkan analisis big data, seperti analis kredit, penasihat keuangan, dan teknisi matematika, akan menghadapi risiko besar. Komputer memiliki keunggulan dibandingkan otak manusia dalam berurusan dengan big data. Komputer dapat menyimpan, mengakses, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari big data dengan akurasi dan efisiensi jauh melebihi otak manusia.[1]

Kerja, Nilai Ekonomi, dan Waktu

Namun terlepas dari nasib yang berpotensi dihadapi para pekerja sektor kerah putih tersebut, nasib kaum pekerja kerah biru relatif tidak berubah. Mereka akan tetap berada dalam kondisi dieksploitasi dan dehumanisasi di bawah sistem kapitalistik yang berganti wajah menjadi 4IR. Hal ini digambarkan secara detail oleh Christian Fuchs dalam bukunya yang berjudul “Digital Labour and Karl Marx” yang diterbitkan oleh Routledge (2014). Buku ini merupakan volume pertama dari dua seri buku panjang tentang kerja digital. Pemahaman terbaik diperoleh dengan membaca pula seri lanjutannya berjudul “Culture and Economy in the Age of Social Media”.

Pertanyaan inti yang mau dijawab melalui buku ini adalah “What is digital labour and how can its working conditions best be understood?” Apa definisi buruh dan buruh digital? Pendefinisian ini kembali kepada upaya Marx menghubungkan definisi buruh dengan penciptaan nilai (value-creation). Kata kunci penting dalam memahami ini adalah relasi antara buruh, nilai, produksi dan waktu. Buruh dan nilai ekonomi saling berhubungan secara inheren. Buruh bekerja dalam ruang tertentu dan menghabiskan waktu tertentu, sehingga ruang-waktu merupakan aspek krusial dalam dimensi perburuhan. Dalam kompresi ruang-waktu sebagaimana dalam globalisasi, buruh yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas tertentu dalam banyak kasus tidak terbatas pada satu tempat saja, namun terjadi di banyak ruang yang saling berhubungan yang tersebar di seluruh dunia sehingga dapat meminimalkan biaya investasi untuk tenaga kerja dan sumber daya serta di saat yang sama juga untuk memaksimalkan profit. Tetapi tenaga kerja tidak hanya memiliki aspek spasial, melainkan juga waktu. Ini tampak nyata dalam pembicaraan tentang waktu kerja, waktu luang, waktu luang, jam kerja, waktu produksi, waktu sirkulasi, waktu distribusi, waktu perputaran modal, percepatan produksi, atau intensifikasi pekerjaan.

Nilai dalam pendekatan Marxis (teori nilai kerja Marx) adalah jumlah jam kerja yang dilakukan yang diperlukan untuk produksi komoditas tertentu. Ada waktu kerja individu untuk produksi setiap komoditas tunggal yang sulit diukur, oleh karena itu kapitalis mengukurnya melalui nilai-nilai tenaga kerja rata-rata yang dapat dihitung untuk produksi komoditas di satu perusahaan, sekelompok perusahaan, seluruh industri di suatu negara atau internasional. Kapitalis berusaha untuk mengurangi nilai suatu komoditas untuk meningkatkan laba. Penurunan nilai suatu komoditas berarti percepatan produksi (yaitu waktu kerja yang sama dengan biaya sejumlah uang tiba-tiba akan menghasilkan jumlah yang lebih tinggi dari komoditas yang sama, meskipun biaya tenaga kerja belum meningkat, yang memungkinkan akumulasi lebih banyak keuntungan per unit waktu).

Fuchs memberikan contoh dalam dalam dunia ICT mengenai hubungan antara maksimalisasi dan intensifikasi penggunaan waktu untuk mendulang lebih banyak profit, seperti:

 “Budak tambang mineral cassiterite (bahan untuk membuat baterai dan komponen dalam telepon genggam) seperti Muhanga Kawaya bekerja di bawah todongan senjata dengan ancaman dibunuh, yang membuat mereka bekerja berjam-jam dengan upah rendah atau bahkan tanpa upah sehingga waktu kerja maksimum tetap tidak dibayar.  

Para pekerja di Foxconn bekerja berjam-jam dan lembur tidak dibayar sehingga Apple dan perusahaan ICT lainnya mengurangi biaya tenaga kerja. Pekerja Foxconn memiliki upah yang relatif rendah dan bekerja dengan jam kerja yang sangat lama. Foxconn mencoba memperpanjang hari kerja untuk meningkatkan jumlah jam yang tidak dibayar.” 

Perakit ICT di Silicon Valley, yang sebagian besar adalah imigran perempuan, memiliki kondisi kerja yang cukup sebanding, dan banyak dari mereka terpapar selama jam kerja oleh zat beracun.  Di industri perangkat lunak India dan di Google, insinyur perangkat lunak bekerja terlalu keras. Mereka bekerja berjam-jam dan tidak punya banyak waktu untuk hobi, bersantai, teman, dan keluarga. Pengembang perangkat lunak di Google, di India dan di negara lain sangat tertekan karena mereka bekerja dalam rekayasa perangkat lunak berbasis proyek dengan tekanan waktu yang tinggi. Masa hidup mereka cenderung menjadi waktu kerja.  

Amazon Mechanical Turk adalah metode menyelesaikan pekerjaan dalam waktu yang sama seperti dalam pekerjaan reguler dengan bentuk-bentuk pekerjaan tidak teratur yang lebih murah. Ini membantu perusahaan untuk menemukan pekerja yang bekerja untuk waktu yang akan diambil oleh karyawan reguler untuk tugas tertentu, tetapi untuk pembayaran yang lebih rendah. Idenya adalah untuk melakukan crowdsource pekerjaan melalui Internet untuk mengurangi biaya, yaitu membayar lebih sedikit untuk waktu kerja yang sama seperti di bawah kondisi kerja reguler.  

Pekerja sementara di Amazon Jerman memiliki kontrak sementara yang terbatas, yang membuat mereka di bawah tekanan untuk menerima dan tidak menentang kondisi kerja yang buruk karena mereka takut kehilangan pekerjaan. Banyak dari mereka berasal dari negara-negara yang dilanda krisis ekonomi, di mana mereka menghadapi pengangguran. Krisis mendorong mereka untuk menerima pekerjaan di bawah standar. Kontrol paramiliter harus membuat karyawan bekerja lebih dan lebih cepat selama waktu kerja. Ini bertujuan untuk intensifikasi kerja. Upah rendah untuk pekerja temporer yang menghadapi kesulitan ekonomi berarti bahwa Amazon dapat menghasilkan lebih banyak keuntungan daripada dalam hubungan kerja yang memiliki perundingan bersama, perjanjian upah kolektif dan serikat pekerja. Waktu memainkan peran penting dalam contoh ini dalam bentuk pekerjaan sementara yang tidak aman, intensifikasi waktu kerja dan penurunan upah per jam.”[2]

 

Ideologi “Work Hard, Play Harder

Di sisi lain, kapitalisme digital juga meleburkan makna antara kerja dan bermain. Melalui ideologisasi kerja sebagai bermain dan bermain sebagai kerja untuk mendapatkan reward), manusia abad-21 meleburkan produksi dan konsumsi sekaligus; mereka menjadi produsen sekaligus konsumen. Menurut Fuchs,

“Dalam kasus crowdsource sebagai imbalan atas upaya mereka untuk berpartisipasi dalam survei yang hasilnya dijual sebagai komoditas, pengguna Work.Shop.Play dapat memenangkan hadiah seperti tiket bioskop dan teater, voucher belanja, dan penawaran khusus. Tentu saja hanya sedikit yang menang; sebagian besar pekerjaan benar-benar tidak mendapat remunerasi. Gagasan platform Work.Shop.Play adalah bahwa pengguna bekerja di waktu luang mereka dan dengan demikian memiliki kesempatan untuk memenangkan voucher dan barang yang memungkinkan belanja, hiburan, dan bermain.”

“Melalui logika ini, bermain di media sosial menjadi pekerjaan nyata dan janjinya adalah bahwa para pengguna sebagai gantinya mendapatkan kesempatan untuk berbelanja dan lebih banyak bermain. Work.Shop.Play memperluas logika kapitalis komoditas dan konsumsi ke rumah dan waktu bermain. Batas-batas antara bekerja dan bermain serta antara waktu kerja dan waktu bebas/bermain adalah cair di Work.Shop.Play. Penerjemahan Facebook secara crowdsource adalah pekerjaan outsourcing dari para user. User diharapkan untuk melakukan terjemahan tanpa imbalan. Idenya adalah mengubah waktu penggunaan menjadi waktu kerja. [2]

Lalu bagaimana relevansi pemikiran Marx dalam hal ini? Artikel berikutnya akan menyajikan hal tersebut secara lebih fokus [Aditya Permana].

Referensi:

[1]https://www.nicva.org/sites/default/files/d7content/attachments-articles/the_impact_of_the_4th_industrial_revolution_on_jobs_and_the_sector.pdf

[2] http://fuchs.uti.at/books/digital-labour-and-karl-marx/