Indonesia–Australia Perlu Meningkatkan Kerja Sama dalam Indo-Pasifik: Duta Besar Australia untuk Indonesia dalam Kuliah di Lembaga Ketahanan Nasional Indonesia

Pada Senin, 19 Agustus 2019, dosen dan mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menghadiri kuliah oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, H.E. Mr Gary Quinlan, A.O., di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia, bertajuk “The Strategic Equation of the Indo-Pacific: How Indonesia and Australia Can Work Together”.

Kuliah dibuka dengan kata sambutan oleh Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo. Kemudian, moderator mempersilakan Mr Quinlan menyampaikan kuliahnya. Mr Quinlan mengawali kuliahnya dengan membahas sejarah hubungan bilateral Indonesia–Australia yang terjalin sejak 1949.

Australia memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia. Setelah agresi militer Belanda I pada 1947, Australia mengangkat konflik tersebut ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Ketika DK PBB memerintahkan gencatan senjata dan pembaruan negosiasi, Indonesia memilih Australia untuk masuk keKomisi Tiga Negara, yang kemudian menghasilkan Perjanjian Renville pada 1948. Kemudian, setelah agresi militer Belanda II pada 1948 dan Konferensi Meja Bundar pada 1949, Australia termasuk salah satu negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.

Sejarah hubungan Indonesia–Australia dapat dikatakan baik. Kedua negara saling memberi status most favoured nation terkait perdagangan dan tarif sejak 1959.Perdagangan dan investasi antara kedua negara meningkat dan bertumbuh stabil sejak 1980-an. Kedua negara mengadakan Forum Menteri Indonesia–Australia pertama pada 1994, yang kemudian diadakan setiap dua tahun, mempertemukan para menteri luar negeri, perdagangan, imigrasi, dan lingkungan. Bom Bali 2002, yang turut menewaskan warga Australia, mendorong kerja sama yang lebih besar antara lembaga penegak hukum di kedua negara. Pada 2015, kedua negara menyepakati Kerangka Kerja Sama Keamanan yang disebut Perjanjian Lombok. Pada 2018, kedua negara mengumumkan kemitraan strategis komprehensif. Selain itu, Indonesia adalah penerima terbesar bantuan Australia, khususnya selama krisis finansial Asia 1997 dan setelah tsunami Aceh 2004.

Kendati demikian, hubungan Indonesia–Australia tidak selalu mesra; sejarah kedua negara diwarnai berbagai masalah politik. Australia terlibat membantu Malaysia selama periode Konfrontasi Indonesia–Malaysia pada 1964–1966. Saat Operasi Seroja ke Timor Timur pada 1975–1976, lima wartawan Australiadi Kota Balibo turut menjadi korban jiwa. Setelah lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada 1999, Australia memimpin misi penjaga perdamaian INTERFET ke wilayah tersebut, yang ditentang oleh Indonesia. Pada 2013, kebocoran dokumen melaporkan bahwa pada 2009, Australia menyadap telepon seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat tinggi negara.

Walau terdapat berbagai masalah politik tersebut, hubungan Indonesia–Australia harus terus dijaga. Bagi Australia, keamanan kawasan sekitarnya penting untuk menjaga stabilitas; apalagi Australia bukan bagian dari institusi internasional besar seperti NATO atau Uni Eropa, sehingga harus melindungi keamanannya sendiri. Sebaliknya, dalam Poros Maritim Dunia Indonesia, Australia berada di sayap selatannya, menjadikan kedua negara memiliki ekosistem strategis bersama.Perjanjian Lombok menunjukkan dukungan Australia terhadap kedaulatan Indonesia dan kepentingan membangun kemitraan keamanan komprehensif bersama. Selain itu, kedua negara memiliki perekonomian yang besar, dan sama-sama berada dalam G20.

Perubahan lingkungan strategis keamanan dunia semakin menunjukkan pentingnya kerja sama keamanan Indonesia–Australia. Titik berat geopolitik dunia sekarang telah bergeser dari Samudra Atlantik ke Samudra Hindia dan Pasifik (Indo-Pasifik). Kemunculan peperangan siber juga memunculkan tantangan keamanan baru. Menghadapi tantangan keamanan baru di kawasan Indo-Pasifik, kedua negara perlu meningkatkan kerja sama. Indonesia memiliki tiga kemitraan strategis komprehensif, yaitu dengan Tiongkok, India, dan Australia. Di lain pihak, Australia memiliki tiga kemitraan strategis komprehensif, yaitu dengan Tiongkok, Singapura, dan Australia. Hal ini menunjukkan pesan strategis bahwa hubungan Indonesia–Australia sangat penting dibanding hubungan dengan negara-negara lain. Kelima pilar kemitraan strategis komprehensif Indonesia–Australia (ekonomi dan pembangunan, hubungan antarwarga, keamanan, kerja sama maritim, serta stabilitas dan kemakmuran Indo-Pasifik) perlu diturunkan dalam rencana aksi terperinci masing-masing.

Lemhannas adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan pendidikan pemimpin tingkat nasional, pengkajian strategis ketahanan nasional, dan pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Didirikan pada 1965 dengan nama Lembaga Pertahanan Nasional, lembaga ini kini bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan dipimpin Gubernur Lemhannas yang sejajar dengan Menteri.

Mahasiswa Departemen HI Binus yang menghadiri kuliah Mr Quinlan di Lemhannas antara lain Agnes Theodora Yustina A. Gambujap, Mohammad Gibran, Oktrifiyanti Gunadi Puteri, dan Rosalina Mathilda Olda. Mereka ditemani dosen Departemen HI Binus Tangguh Chairil.