Perdebatan Makna CSR
Corporate Social Responsibility (CSR) memang sebuah terminologi yang ramai diperdebatkan. Perdebatan itu menyinggung ranah akademik maupun praktis. Apakah makna CSR itu? Secara sederhana, saya mengartikan CSR sebagai segala aktifitas yang dilakukan perusahaan dalam rangka ikut berkontribusi kepada peningkatan taraf hidup masyarakat dan aktifitas tersebut dilakukan secara suka rela buah dari kesadaran, bukan merupakan pemenuhan unsur paksaan yang diwajibkan, dan memiliki nilai tambah ekonomi dan sosial bagi masyarakat.
Dari definisi tersebut, ada dua elemen penting terkait konsep CSR. Pertama, aktifitas perusahaan. Tentunya adalah aktifitas di luar core business (bisnis inti) dari perusahaan itu. Aktifitas tersebut bukan merupakan bagian dari proses mendukung rantai produksi (supply chain) yang akhirnya bermanfaat langsung kepada perusahaan secara ekonomi (misal, berdampak langsung meningkatkan penjualan, meningkatkan keuntungan, jasa yang habis terpakai dll). Jadi, aktifitas CSR harus tak berpamrih bagi perusahaan yakni tidak terkait langsung dengan maju mundurnya bisnis inti perusahaan tersebut.
Kedua, aktifitas yang dilakukan harus merupakan sumbangan tanpa pamrih, tanpa embel-embel apa pun. Yang ingin ditegaskan disini adalah bentuk kontribusi yang berangkat dari kesadaran perusahaan untuk bersama-sama menjadi bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab bagi kesejahteraan bersama. Dengan demikian, aktifitasnya adalah benar-benar sumbangsih perusahaan kepada masyarakat.
Apakah perdebatan di ranah akademik tentang konsep CSR? Para cendekiawan tak punya pandangan seragam. Pandangan mereka dapat dilihat dari satu sisi ekstrem sebuah spektrum (atau pendulum) yang bergerak dari titik ekstrem satu menuju titik ekstrem lain. Satu titik ekstrem beranggapan bahwa posisi perusahaan adalah mencari keuntungan sedangkan titik ekstrem lain berpandangan bahwa perusahaan memiliki tangung jawab untuk turut serta peningkatan kesejahteraan masyarakat secara sadar. Pandangan saya di atas dapat dikelompokkan pada sisi pendulum yang terakhi ini.
Jadi secara akademik pun perdebatan antara CSR sebagai sebuah kewajiban (mandatory) atau kah sebuah hal yang dilakukan secara sukarela (voluntary) terjadi dan akan terus terjadi. Bagaimana dalam praktik di Indonesia? Bila kita melihat praktik, implementasi CSR lebih bervariasi lagi. Bagi perusahaan pertambangan, gas, dan minyak bumi yang pada intinya mengolah sumber daya alam, kegiatan CSR merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah. Demikian pula perusahaan-perusahaan milik negara dibawah Kementerian BUMN harus menyisihkan 1-2% net profitnya untuk kegiatan CSR perusahaan.
Bagaimana dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri lain? Praktik CSR yang merupakan lakukan pun bervariasi. Sepertinya perdebatan di ranah praktik pun tidak akan berhenti apakah CSR merupakan kewajiban atau suka rela.