Geopolitik AS-ASEAN
Tulisan Menteri Pertahanan AS Robert Gates di Kompas (22/7) melengkapi hipotesis penulis bahwa pemerintahan Barack Obama serius menempatkan kebijakan luar negerinya dengan dasar ”kebijakan melihat ke Timur” di tengah era kebangkitan Asia.
Tulisan Gates memberikan keyakinan kepada masyarakat Indonesia bahwa dalam kerangka kerja sama pertahanan, AS telah dengan tangan terbuka mengajak republik ini untuk menjadi mitra seimbang (US-Indonesia Defense Framework Arrangement). Sebelumnya, kerja sama pertahanan Indonesia-AS mengalami kemandekan karena pertimbangan warisan otoritarianisme yang mengancam demokrasi dan HAM. Kebijakan ini pun baru terjadi setelah empat tahun AS melepaskan embargo militernya terhadap Indonesia.
Memang benar kehadiran Indonesia dalam Forum Komunitas Demokrasi di Krakow, Polandia, awal Juli 2010, untuk menerima gelar ”juara demokrasi” menambah daya tarik AS membalas ”rangkulan” Indonesia. Kerja sama ini bukan dampak demokratisasi (liberal) yang kian meningkat di negeri kita, melainkan lebih sebagai buah konstelasi politik regional dan kebijakan luar negeri AS yang belakangan memiliki ketergantungan pada Asia Timur.
Menembus ASEAN
Kebijakan ini turunan dari kerangka kerja sama trans-Pasifik yang berusaha dibangun AS di Asia Timur. Tidak hanya kali ini AS gencar menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai negara ASEAN. Belum lama ini, diplomat senior yang juga Sekretaris Bidang Politik Kementerian Luar Negeri AS William J Burns pun melakukan kunjungan ke Bangkok, pertengahan Juli, untuk menegaskan sekaligus memperbarui perjanjian kerja sama AS-Thailand. Kerja sama ini menekankan penguatan kerja sama pertahanan AS-Thailand.
Dengan tegas Burns menuturkan kembali keinginan Gates bahwa AS bukan hanya ”pengunjung” (visitor) di Asia Tenggara, melainkan ”kekuatan-penghuni” (resident power) di Asia. Menurut dia, apa saja yang terjadi di kawasan berpengaruh langsung terhadap keamanan nasional dan kelangsungan ekonomi AS.
Menanggapi pertanyaan itu, terdapat tiga faktor utama AS mengalihkan konsentrasi politik luar negerinya ke Asia Timur. Pertama, potensi kevakuman kekuatan strategis AS di kawasan setelah keberadaan basis pertahanannya di Pulau Okinawa terus menghadapi tentangan dari pemerintah dan masyarakat Jepang. Parlemen Jepang bahkan mampu menjatuhkan pemerintahan Hatoyama yang setuju atas eksistensi basis pertahanan tersebut. Di sisi lain, potensi keresahan keamanan telah muncul dari eskalasi konflik di Semenanjung Korea pasca-tenggelamnya kapal Angkatan Laut Korea Selatan, Maret lalu.
Kedua, AS menaruh kekhawatiran akan meningkatnya tensi politik dan krisis HAM di Asia Tenggara. Asia Tenggara masih memiliki kultur otoriter yang kapan pun berpotensi muncul kembali. Kekerasan pemerintah terhadap elemen ”Kaus Merah” di Bangkok, berbagai penembakan menjelang pemilu di Filipina Mei, serta potensi pembelengguan pemilu di Myanmar oleh pemerintahan Junta merupakan konstelasi terkini yang memunculkan kekhawatiran AS sebagai ancaman nyata atas penyebaran pengaruhnya di Asia Tenggara.
Ketiga, secara ekonomi, menguatnya integrasi Asia Timur semakin memperkecil kemungkinan AS turut serta dalam kebijakan regional. Keadaan ini ditambah terus menguatnya potensi pertumbuhan dan persebaran ekonomi China. AS melihat stabilitas ekonomi dan keuangan yang lebih baik di Asia sebagai potensi pasar dan investasi. Di sisi lain, kelangsungan ekonomi Asia akan memberikan dampak langsung terhadap AS. Sekitar 23,4 persen utang yang diterbitkan dari surat berharga AS ditopang oleh Asia (China) atau sekitar 877,5 miliar dollar AS hingga Februari 2010.
Munculnya gagasan perluasan keanggotaan KTT Asia Timur, lagi-lagi, akan jadi peluang institusional AS untuk masuk dalam tiap persoalan politik-ekonomi di kawasan. Sayangnya, upaya AS mendekat pada dua kekuatan terbesar di kawasan (China dan Jepang) tak membuahkan hasil. Keduanya justru menunjukkan kebijakan yang anomalik terhadap keberadaan AS di kawasan.
Hipotesis ini juga diperkuat dengan dikumpulkannya para diplomat Indonesia di AS oleh Sekretaris Bidang Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri AS Kurt Campbell, 15 Juli 2010 di Washington. Campbell menegaskan keseriusan AS masuk dalam keanggotaan KTT Asia Timur. Di sinilah, merangkul ASEAN merupakan exit strategy yang cermat untuk mendapatkan kemudahan bergabung dalam komunitas kawasan. Ini mengingat ASEAN memiliki fondasi institusional lebih kuat dibandingkan dengan Asia Timur.
ASEAN akan menjadi tujuan geopolitik AS dalam perhelatan ke depannya. Penundaan kunjungan Obama hingga tiga kali ke Indonesia kerap mendapatkan kritik dari berbagai media setempat karena tak sesuai misi besar bergabung ke Asia Timur. Ke depan, prospek kerja sama ASEAN-AS akan selalu terbuka sehingga keinginan AS tergabung dalam institusi Asia Timur terwujud. Republik ini harus memanfaatkan momentum ini untuk benar-benar dapat mewujudkan kepentingan nasional kita.