Pasar Tunggal ASEAN dan Pola Pikir Berorientasi Global
Oleh Prof Harjanto Prabowo
KOMPAS.com – Era baru berupa Pasar Tunggal ASEAN telah menjadi keniscayaan setelah disepakatinya konsep komunitas berupa ASEAN Economic Community (AEC) yang ditandatangani pada KTT IX di Bali tahun 2003 dan akan berlaku secara resmi pada 2015 nanti.
AEC sendiri dibangun atas empat pilar, berupa terbentuknya pasar dan basis produksi yang satu, bersama-sama menjadikan ASEAN menjadi satu kawasan berdaya saing tinggi, menciptakan kawasan terbangun dengan ekonomi yang merata, dan terakhir, terwujudnya integrasi kawasan ASEAN dengan perekonomian dunia.
Terbentuknya pilar pasar dan basis produksi yang satu menciptakan konsekuensi bebasnya arus barang/jasa (perdagangan), lalu lintas modal, investasi, diutamakannya sektor-sektor yang memiliki integrasi, serta mobilitas tenaga kerja terampil berkualitas. Konsekuensi yang disebut terakhir itu menuntut tersedianya tenaga kerja yang tak hanya terampil dalam hal teknis, luas dalam pengetahuan, unggul dalam kualitas komunikasi, serta siap senantiasa melakukan kompetisi.
Permasalahannya kemudian adalah, 72 persen tenaga kerja Indonesia memiliki daya saing rendah. Data tersebut merujuk kepada data ketenagakerjaan Indonesia yang dirilis oleh BPS pada tahun 2010.
Tahun 2015 sudah di depan mata. Bila kita tidak menyiapkan tenaga kerja berkualitas, maka Indonesia bersiap untuk hanya menjadi penonton dari membanjirnya produk, jasa serta tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya. Perguruan tinggi sebagai salah satu institusi yang memiliki tanggung jawab besar dalam menyiapkan tenaga kerja tentu diharapkan melakukan akselerasi dalam memperbaiki kualitas para lulusannya.
Kalah?
Namun, kita juga sadar, saat ini kualitas pendidikan kita tidak melakukan start yang sama dengan negara-negara lain di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Tapi, kita juga tak ingin terus-menerus “kalah” dalam segala hal. Kita tak ingin kalah di semua sektor.
Satu hal harus disiapkan dari para lulusan perguruan tinggi adalah menumbuhkan pola pikir berorientasi global (global mindset). Dalam pola pikir tersebut para lulusan dituntut untuk memiliki satu kesadaran bahwa mereka memiliki hak sama untuk sukses dan berhasil, sama seperti yang dimiliki oleh para lulusan serta tenaga kerja lain dari negara manapun juga.
Namun demikian, tentu saja, kesadaran tersebut juga harus dilandasi dengan kesadaran bahwa keberhasilan tidak bisa didapatkan dengan mudah. Keberhasilan harus diperjuangkan, termasuk kesadaran untuk selalu berusaha mencapai standar kualitas paling mutakhir.
Karena standar kualitas akan terus bergerak, seorang mahasiswa tidak dapat menggunakan standar yang sama dimiliki oleh kakak kelasnya, misalnya tiga tahun lalu. Standar kualitas tersebut harus terus bergerak naik agar daya saing yang dibangun akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Selain itu, terkait dengan kompetensi global, Asia Society, Alliance for Excellent Education (2010) sepakat untuk senantiasa mengangkat:
(1) Pengetahuan daerah lain di dunia, budaya, ekonomi, dan isu-isu global.
(2) Keterampilan berkomunikasi dalam bahasa lain selain bahasa Inggris, agar mudah dalam bekerja dalam tim lintas-budaya, dan untuk menilai informasi dari sumber yang berbeda di seluruh dunia.
(3) Nilai-nilai yang menghormati budaya lain. Menumbuhkan pola pikir berorientasi global itu berarti juga sanggup menyatukan pola pikir yang terbuka (penuh keterbukaan) dengan pola pikir berupa kesadaran atas keberagaman budaya, pola hidup dan pasar yang ada di dunia.
Perubahan ideologi dan revolusi teknologi menjadi tantangan tersendiri yang juga harus dipahami untuk menjadi prasyarat agar dapat bersaing di kancah global pada umumnya, dan AEC pada khususnya. Pada akhirnya, semua akan berbicara soal kesiapan agar dapat menjawab tantangan dan kesempatan yang berada di depan mata.