Perjanjian Perdagangan Senjata: Dilema Indonesia
Wendy Prajuli
Pada April 2013 yang lalu, Sidang Umum PBB akhirnya menyetujui naskah Perjanjian Perdagangan Senjata (ATT). Namun persetujuan tersebut tidak diperoleh secara bulat karena hanya 154 yang memberikan dukungan. Iran, Korea Utara dan Suriah menolak naskah tersebut. Sementara, 23 negara lainnya menyatakan abstain. Negara-negara tersebut adalah Angola, Bahrain, Belarus, Bolivia, China, Kuba, Ekuador, Mesir, Fiji, India, Indonesia, Kuwait, Laos, Myanmar, Nikaragua, Oman, Qatar, Russia, Saudi Arabia, Sri Lanka, Sudan, Swaziland, dan Yaman.
Sebagaimana telah disebut di atas, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengambil posisi abstain di sidang umum tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah atas posisi tersebut adalah Indonesia tidak menginginkan adanya kondisionalitas politik yang membatasi perdagangan senjata sehingga dapat merugikan kepentingan Indonesia.
Alasan ini dapat dimengerti mengingat Indonesia saat ini sedang menjalankan program modernisasi alutsistanya hingga, paling tidak, 10 tahun ke depan. Selain itu, Indonesia juga sedang menjalankan program pembangunan industri pertahanan untuk meningkatkan kemandirian pertahanan.
Namun di sisi yang lain, posisi abstain Indonesia tersebut juga dapat dilihat sebagai ketiadaan jaminan penerapan prinsip diskriminasi dan proporsionalitas dalam penggunaan alutsista di Indonesia.
Hukum internasional telah mengatur bahwa alutsista hanya boleh digunakan pada pihak-pihak tertentu saja, yaitu para kombatan (prinsip diskriminasi). Kemudian, hukum internasional juga menyatakan bahwa alutsista tidak boleh digunakan secara berlebihan. Artinya alutsista tidak boleh digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak membutuhkan penggunaan senjata untuk menyelesaikannya. Dasar utama dari implementasi prinsip-prinsip tersebut adalah untuk menjamin berlakunya prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Sayangnya prinsip diskriminasi dan proporsionalitas di atas tidak banyak berlaku di Indonesia karena seringkali persoalan-persoalan non-militer diselesaikan dengan menggunakan pendekatan militer. Senjata-senjata yang dimiliki digunakan di luar penggunaan semestinya sehingga melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ada banyak faktor domestik yang bisa menjelaskan penyebab dari persoalan tersebut, mulai dari dinamika politik hingga ketiadaan mekanisme kontrol yang bisa mencegah penggunaan senjata di luar yang semestinya.
Dengan kondisi domestik seperti itu, regulasi internasional, seperti perjanjian perdagangan senjata, menjadi instrumen alternatif untuk mengontrol penggunaan senjata di Indonesia. Dengan menyetujui dan meratifikasi regulasi internasional yang mengatur perdagangan senjata diharapkan senjata-senjata yang dimiliki Indonesia dapat digunakan sejalan dengan prinsip diskriminasi dan proporsionalitas dimana pada akhirnya diharapkan dapat menjamin hak asasi setiap orang yang berada di wilayah Indonesia.
Di sinilah dilemanya terjadinya. Di satu sisi pemerintah menginginkan adanya perjanjian perdagangan senjata yang tidak menghalangi modernisasi pertahanan Indonesia. Sementara di sisi yang lain, ketika situasi domestik tidak mampu mengontrol penggunaan senjata, perjanjian internasional tersebut dibutuhkan untuk mencegah negara ataupun pemerintah menggunakan senjata secara berlebihan.