Memaknai (Kembali) Kampus

 

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) yang mengesahkan statuta empat perguruan tinggi negeri (PTN) utama di negeri ini menjadi PT berbadan hukum (PTN-BH). Empat PTN tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Empat PTN-BH ini akan kembali menjadi frontliner eksperimen tata kelola PTN di Indonesia sejak awal 2000-an yang mengarah pada geliat otonomi pengelolaan PT yang lebih besar dan mandiri.

Pada dasarnya empat PT tersebut memiliki kembali otonomi akademik, manajerial, dan keuangan sehingga mereka diharapkan bisa mengurus diri sendiri secara lebih baik, bertanggung jawab, transparan, dan representatif. Bagaimana memaknai kehidupan kampus pascapenerbitan PP tersebut? Akankah PT akan menjadi seperti yang diidamkan dalam kehidupan akademik ataukah akan kembali mengalami kemunduran (setback) dengan perdebatan yang menguras energi?

Eksperimen Lain 

Eksperimen otonomi kampus telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, paling tidak bila kita merujuk pada PP Nomor 66 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi yang kemudian diikuti serangkaian produk hukum lain hingga kontroversi pencabutan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi, Maret 2010.

Lengkap sudah haru biru ide keinginan untuk memajukan pendidikantinggi Indonesiayang bercampur aduk dengan aroma perdebatan ideologis yang kabur antara tarikan mekanisme pasar (komersialisasi) dan tanggung jawab negara yang lebih besar sebagai penyedia barang publik termasuk pendidikan tinggi. Atau pun ada keinginan sebuah jalan tengah yang menjembatani kepentingan keduanya yang masing-masing menyimpan kelebihan dan kekurangannya.

Sentimen masyarakat yang mengecam ide-ide tersebut diiring dengan serangkaian protes secara damai hingga audiensi kepada para wakil rakyat DPR menjadi bumbu eksperimen pendidikan tinggi ini. Akibat itu, peluang untuk lari lebih kencang, sebuah terobosan untuk maju, tersia-siakan begitu saja. Bangsa ini mengalami kerugian waktu yang luar biasa dan terkuras energi yang tidak sedikit yang semestinya bisa diperuntukkan menciptakan dan melaksanakan kemajuan itu sendiri.

Tragisnya, sebagian di antara insan akademik PT terkemuka bahkan harus berakhir di hotel prodeo atau sedang menunggu dalam proses penyelesaian kasus hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari sisi legal formal, penetapan empat PTN-BH ini paling tidak memberikan landasan bagi pengambil kebijakan di kampus untuk bertindak lebih tenang. Mereka tidak khawatir dipersalahkan karena kebijakan yang mereka ambil demi kemajuan kampus mereka.

Aturan ini semestinya bisa mengatasi keraguan, ketidakjelasan status, dan arah empat PTN-BH tersebut. Kini saatnya para pengambil kebijakandikampuspada tataran apa pun harus duduk bersama dengan para pemangku kepentinganPTmereka. Secara internal para pimpinan di tingkat rektorat sudah seharusnya bekerja sama lebih baik dengan para pimpinan fakultas dan departemen/program studi. Demikian pula hubungan kelembagaan pada lembaga- lembaga fungsional di dalam kampus.

Hal yang tidak kalah penting adalah menata kembali hubungan dengan para dosen/peneliti, staf, dankaryawanyangmungkin pernah terbengkalai. Caranya dengan memaknai hubungan kerja yangberbalutdenganhatinurani, bukan semata-mata hubungan hierarkis dan transaksional yang hanya akan semakin memperlebar gap kekuasaan antara pimpinanuniversitasdanpara dosen, staf dan karyawan. Namun, akhirnya tetap melahirkan terobosan dan produktivitas yang tinggi.

Pada dasarnya kini yang diperlukanadalahmemperbaikiproses bisnis yang selama ini terjadi. Hilangnya semangat bekerja sama, menipisnya rasa saling percaya di antara kolega, dan menguatnya kesewenang-wenangan dalam pengambilan kebijakan tanpa mencoba mempertimbangkan berbagai pendapat secara lebih terbuka merupakan beberapa hal yang harus diperbaiki.

Inklusivitas dalam memimpin dan bekerja tanpa menjadikan proses tersebut memperlambat kinerja yang membutuhkan keputusan cepat dan aksi yang tepat. Pada intinya dalam aura dunia yang kapitalistik, individualistis, dan penuh pragmatisme sesaat ini, kampus harus mampu memberikan contoh perubahan ke arah yang lebih baik bagi bangsa ini. Saat ini menjadi momentum yang tepat untuk menemukan kembali makna kampus yang hakiki.

Untuk Siapa 

Kampus diperuntukkan semua sivitas akademika. Tugas utama kampus menyiapkan generasi penerus bangsa yang akan mengemban eksistensi bangsa ini masa depan terlepas apa pun profesi yang akan dipilih para lulusan. Untuk itu, mahasiswa sebaiknya dibekali kemampuan berpikir kritis, analitis, mampu memecahkan masalah, memiliki kepribadian yang baik dan daya tahan yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan yang mungkin tak terpikirkan saat ini.

Pendeknya, kampus tidak boleh menciptakan jumlah pengangguran baru atau menunda seseorang menjadi penganggur. Karena itu, pengelola kampus juga harus memutar otak lebih cerdas. Kini banyak sekali kampus yang memiliki ambisi menjadi perguruan tinggi standar dunia, namun sayang masih miskin kreativitas dalam strategi dan implementasi. Saat iniyanglebihpentingdan mendesak adalah melepaskan diri dari sekadar berkoar tentang jargon.

Orientasi pendidikan tinggi tidak bisa lepas dari tanggung jawabnya agar tidak tercipta pengangguran baru. Artinya perlu mengubah orientasi sebagai pemasok tenaga kerja semata, tetapi juga menjadikan pencipta demanddalam profesi pekerjaan baru sebagai entrepreneuratau pekerja mandiri (self-employed) dengan menggunakan kemajuan dan teknologi. Untukitu, suasanakehidupan kampus harus mampu menstimulasi terciptanya kompetensi baru yang mampu memenuhi tantangan menerawang jauh ke depan.

Esensikehidupankampus adalah mampu menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan dalam aktivitas belajar mengajar dan penelitian yang radikal membebaskan. Perlu didukung fasilitas yang cukup, kolegialitas yang respektif di antara insan sivitas akademika, insentif dari kampus maupun pemerintah yang menarik, dan punishment yang sepadan bagi kejayaan bangsa. 

TIRTA N MURSITAMA PHD
Ketua Jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Bina Nusantara.
Visiting Scholar pada Cheng Shiu University, Taiwan