Evolusi Kapitalisme
Oleh Aditya Permana
Dosen Filsafat dan Metode Penelitian Ilmu Hubungan Internasional
Departemen Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara
Status komoditi dewasa ini tidak dapat lagi dipahami sebagaimana pemikiran Marx tentang fetisisme komoditi. Bagi Marx, fetisisme komoditi tampak dalam cara pertukaran nilai-guna (sebagai eksistensi asli suatu benda pakai) dan nilai-tukar dalam sistem kapitalisme. Di dalamnya terjadi substitusi antara sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konkret. Marx menyebut hal ini sebagai “mistifikasi komoditi”. Mistifikasi komoditi muncul ketika suatu komoditi diputuskan dari barisan pekerja yang memproduksinya dan dari fungsi pakai komoditi tersebut, sehingga dalam suatu proses pertukaran komoditi “diisi” makna-makna tertentu yang lebih dari sekedar nilai-guna. Nilai-tukar dianggap lebih istimewa dari nilai-guna. Semua barang (objek) telah diabstraksikan sehingga tak lebih menjadi semacam tanda yang tertera pada komoditi sebagai nilai-tukar komoditi tersebut (Piliang 2003: 95-96).
Fetisisme produksi membuat komoditi memancarkan pesona fetish-nya sebagai objek pemujaan para konsumen. Karakter fetish dalam komoditi ini membuat kaum buruh sebagai orang-orang yang memproduksi komoditi justru mengalami keterpisahan dari barang yang mereka produksi. Kaum buruh tidak memiliki kuasa atas komoditi sebab komoditi itu menjadi klaim dari pemilik kapital (modal) untuk dipertukarkan dalam pasar untuk memperoleh keuntungan. Untuk memiliki barang tersebut, kaum buruh harus membeli dan justru menjadi konsumen atas barang-barang yang mereka produksi sendiri. Marx menyatakan bahwa pada titik ini kaum buruh teralienasi dari komoditi yang mereka produksi.
Komoditi segera menjadi sarana hidup masyarakat. Komoditi kemudian memiliki fungsi sebagai relasi sosial yang khas dan cara yang khas pula untuk mengalami dan mengekspresikan relasi sosial dan aktivitas kultural (Lee 1993: 27). Marx melihat komoditi menjadi basis relasi sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat pasar, komoditi menyembunyikan dan mengganti bentuk-bentuk relasi sosial “alamiah” antar manusia. Hal ini terjadi akibat adanya distorsi oleh suatu fetisisme bahwa produk-produk material buatan manusia bertransformasi menggantikan produk-produk sosial yang memungkinkan terjadinya produksi barang-barang (Lury 1996: 62). Marx mengistilahkan proses ini sebagai reifikasi. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini diterjemahkan sebagai “pembendaan”, yakni membuat sesuatu yang bukan benda menjadi benda. Reifikasi merupakan perubahan relasi dan aktivitas manusia menjadi situasi ketika relasi dan aktivitas tersebut tampak menjadi kekuatan otonom yang dikendalikan oleh logika yang terpisah dari tindakan manusia (Lee 1993: 12). Relasi sosial tersebut didefinisikan oleh kekuatan fetish komoditi. Dengan ini, relasi sosial yang diwakilkan dalam sebuah objek muncul dan benar-benar diatur oleh sesuatu di luar kontrol manusia (Lury 1996: 62).
Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengembangkan lebih jauh konsep reifikasi ini dalam buku The Dialectic of Enlightenment. Relasi sosial yang ditopengi kekuatan fetish komoditi berakar pada logika komoditi yang berkelindan secara simultan dengan perwujudan rasionalitas instrumental. Relasi ini ditemukan dalam konsumsi. Komoditi berperan luas dalam asosiasi dan ilusi budaya secara luas. Bentuk-bentuk relasi tradisional dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat diarahkan untuk menghasilkan suatu massa yang terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil dan termanipulasi. Pemecahan ini diarahkan untuk berpartisipasi dalam budaya komoditi yang diproduksi secara besar-besaran (Featherstone 2007: 32). Contohnya, konsol-konsol game diproduksi dengan sasaran anak-anak dan remaja. Dengan adanya komoditi ini, relasi anak dan orang tua terpisah atau terkotak-kotakkan. Kehidupan yang pada zaman dahulu diisi oleh kegiatan bersama yang melibatkan orang tua dan anak di hari minggu pagi yang cerah; kemping, pesta barbeque, dan sejenisnya, bergeser menjadi kegiatan-kegiatan yang terpisah: ibu-ibu menonton opera sabun, anak-anak bermain video game, para bapak mencuci mobil kesayangannya, dan seterusnya. Contoh lain, penemuan berbagai gadget yang praktis membuat semua orang tenggelam dalam dunia mini mereka sendiri yang maya, dalam pelbagai macam “social” media, yang secara ironis menjauhkan mereka dari kehidupan sosial “nyata” di sekitar mereka. Pendeknya, logika komoditi mengalienasi relasi-relasi sosial menjadi relasi-relasi berdasarkan komoditi yang mereka konsumsi.
Logika komoditi mendorong massa pada apa yang disebut ideologi konsumerisme. Ideologi konsumerisme memiliki arti sebagai sugesti bahwa makna kehidupan manusia harus ditemukan pada apa yang dikonsumsi. Logika inilah yang penulis sebut di atas sebagai pergeseran dari logika produksi ke logika konsumsi.