Komitmen Perlindungan TKI
Presiden Joko Widodo telah resmi melantik pimpinan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Saat bersamaan, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengisyaratkan keinginannya menghentikan pengiriman tenaga kerja wanita ke luar negeri hingga lima tahun ke depan. Apakah kedua langkah ini solusi terpadu bagi karut-marut birokrasi penempatan dan perlindungan TKI kita?
Berbeda dari sektor unggulan maritim yang diisi kalangan profesional, pemerintah Jokowi justru menyerahkan mandat tertinggi lisensi (Kementerian Ketenagakerjaan—M Hanif Dhakiri) serta penempatan dan perlindungan TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI/BNP2TKI–Nusron Wahid) kepada para politisi Senayan.
Meski keduanya dari Nahdlatul Ulama, mereka mewakili kepentingan dua parpol berbeda. Belajar dari pengalaman kepemimpinan sebelumnya di tubuh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, ada kekhawatiran hal ini bakal memperuncing kesenjangan kewenangan antardua lembaga yang telah lama kurang harmonis ini.
Kesenjangan kewenangan antara Kemenakertrans dan BNP2TKI terjadi sejak kemunculan ”fungsi penempatan TKI luar negeri” di Kemenakertrans tahun 2007. Sejatinya, Perpres No 81/2006 telah mengamanatkan penyerahan fungsi penempatan luar negeri pada BNP2TKI. Hingga saat ini, kompromi yang terbangun di antara dua institusi ini belum tercapai secara sosiologis-formal, melainkan hanya kesepihakan (unilateralisme) yang mengarah pada egosektoral. Bahkan, beberapa kali BNP2TKI menggugat ke Mahkamah Agung atas peraturan Menakertrans berkaitan dengan lingkup pembagian kewenangan (turf battle).
Sebelumnya, eksperimen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang menunjuk seorang diplomat untuk duduk di puncak kepemimpinan BNP2TKI sempat diharapkan bisa menjadi penyelaras fungsi Direktorat Perlindungan WNI/BHI di bawah Kementerian Luar Negeri serta KBRI/KJRI dalam meningkatkan koordinasi sekaligus pengakuratan data pekerja migran kita di negara penempatan.
Netralitas latar belakang kepemimpinan menjadi salah satu poin kritis di sini mengingat perannya sebagai penyelaras (hub) berbagai kepentingan seperti melekat pada agensi pemerintah, penyalur, perekrut, mitra luar negeri, serta TKI itu sendiri.
Empat determinan
Perlindungan TKI menjadi prioritas nomor satu dalam agenda Nawa Cita, sebagaimana tercantum dalam dokumen visi-misi JKW-JK. Juga disebutkan, agenda ini tidak hanya sebagai upaya khusus untuk perlindungan WNI, tetapi juga sebagai program pemerintah meningkatkan peran diplomasi global. Ada empat determinan utama untuk menilai kinerja lembaga penempatan dan perlindungan TKI ke depan.
Pertama, sejauh mana pemerintah berkomitmen mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan penempatan TKI. Dalam berbagai dialog, ”penempatan” kerap disepelekan kontribusinya terhadap ”perlindungan”. Contohnya, perekrutan yang terstandardisasi dan sistem pendataan yang terintegrasi akan meminimalkan risiko saat negara mengirimkan TKI di bawah umur atau yang di bawah kualifikasi. Selama ini, tiap dinas ketenagakerjaan di tingkat kabupaten memiliki standar perekrutan berbeda, yang menandakan intervensi pusat untuk menertibkan fungsi penempatan lemah.
Kedua, keberanian presiden mengintervensi dan mengevaluasi kewenangan satu lembaga dan lainnya jadi hal yang esensial untuk perbaikan sistemik. Saat ini, belasan institusi turut berkontribusi dalam proses penempatan dan perlindungan TKI. Tak jarang satu institusi dan institusi lain memikul beban kewenangan dan kepentingan tumpang tindih, setiap institusi tak rela melepas kewenangan yang secara legal ataupun historis telah lama melekat pada institusinya.
Di samping itu, faktor komplementaritas juga perlu dipertimbangkan. Sebagai contoh, pemerintah yang khusus menangani perlindungan TKI justru kerap kali tak memiliki perwakilan resmi untuk mengadvokasi para TKI di negara penempatan. Alhasil, tak jarang terjadi saling lempar tanggung jawab antarinstitusi. Saat ini, pemerintah hanya mengandalkan kinerja para atase ketenagakerjaan yang belum memiliki kewenangan struktural lintas kelembagaan. Kasus pemberian amnesti oleh Pemerintah Arab Saudi yang berujung kericuhan di KJRI Jeddah pertengahan 2013 membuktikan lemahnya aspek ini.
Ketiga, pemerintah harus keluar dari paradigma sempit pengiriman TKI sebagai saluran alternatif pembangunan nasional. Hingga saat ini, pemerintah masih mempersepsikan penempatan TKI semata-mata dalam kerangka mengatasi pengangguran. Padahal, persoalan menempatkan TKI perlu mempertimbangkan dinamika pasar tenaga kerja internasional yang cukup kompleks. Derasnya kasus yang menimpa TKI tak sedikit disebabkan ketidaksiapan kualitas pekerja kita dihadapkan dengan para pengguna (employer) yang menuntut kinerja tinggi.
Keempat, pemerintah sudah sepatutnya melacak lagi kinerja perekrutan di lapangan. Tak sedikit lembaga perekrut di tingkat kabupaten justru berkolaborasi dengan para pemburu rente (calo) dengan akses kuat terhadap penerbitan lisensi untuk penempatan TKI. Lolosnya beberapa calon tenaga kerja yang tak layak (usia, pendidikan, dan penguasaan bahasa) juga dihasilkan dari kelalaian petugas rekrut yang juga diamini pemda sebagai pemberi rekomendasi. Karena itu, pelatihan petugas rekrut calon TKI harus ditempatkan sebagai pilar untuk mendelegitimasi keberadaan calo, bukan sebaliknya.
Pemerintah baru tidak boleh mengulang kekeliruan logika birokrasi pemerintah sebelumnya. Langkah pemerintahan SBY membentuk berbagai satuan tugas untuk mengatasi persoalan TKI hanya memperlebar jurang kewenangan sekaligus mendelegitimasi peran lembaga formal-konstitusional. Kompleksitas persoalan ini merefleksikan bahwa ditunjuknya para eksekutor penempatan dan perlindungan TKI ini tidak akan melahirkan apa pun tanpa intervensi proporsional presiden. Karena iu, peran dominan presiden tetap diharapkan untuk mengawal langsung perbaikan di sektor ini.
Pamungkas A. Dewanto, Peneliti Migrasi Internasional, Departemen HI, Universitas Bina Nusantara
Diterbitkan di Harian KOMPAS, 4 Desember 2014
Baca selengkapnya: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/04/14000071/print.kompas.com