Pemerintah Harus Membuat Operasionalisasi Poros Maritim Dunia
Pada 10 Maret 2016, Kementerian Luar Negeri RI mengadakan satu sesi pendidikan dan pelatihan (Diklat) Sekolah Staf dan Pimpinan Departemen Luar Negeri (Sesparlu) angkatan 54 dalam bentuk plenary session dan working luncheon sebagai bagian dari penutupan kegiatan “Maritime Fulcrum Week” (7 – 12 Maret 2016). Kegiatan yang bekerja sama dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan TNI Angkatan Laut ini bertujuan untuk menggali lebih dalam upaya penegasan karakter maritim Indonesia lewat pembekalan pengetahuan tentang isu-isu strategis yang terkait dengan visi dan misi Presiden Joko Widodo dalam bidang kemaritiman, yang dinamai Poros Maritim Dunia (Global Maritime Fulcrum). Kegiatan ini juga mengundang perwakilan mahasiswa dan/atau staf dari berbagai universitas dengan program jurusan Hubungan Internasional.
Tiga dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, yaitu Tangguh Chairil, Mutti Anggitta, dan Sukmawani Bela Pertiwi hadir dalam acara tersebut. Kegiatan pada hari itu diawali dengan plenary session beragendakan pemaparan makalah dari para peserta Sesparlu angkatan 54 tentang Global Maritime Fulcrum (GMF), yaitu tentang Maritime Culture and Maritime Resources, Developing Maritime Connectivity, dan Strengthening IORA’s Role in Handling Piracy in the Indian Ocean (IORA adalah singkatan dari Indian Ocean Rim Association, sebuah organisasi internasional yang terdiri atas negara-negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia).
Tak ketinggalan, dosen HI Binus Bela Pertiwi mempertanyakan tentang operasionalisasi pilar-pilar Poros Maritim Dunia. Menurutnya, tanpa operasionalisasi dari eksplorasi landasan teori dan praktis yang relevan, pemerintah akan kesulitan menerjemahkan Poros Maritim Dunia ini ke dalam cetak biru kebijakan, sehingga terdapat risiko terkait arah dan koherensi pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Sebagai contoh, apakah menumbuhkan budaya maritim hanya dapat dilakukan dengan mengurangi pola pikir berorientasi darat? Mengapa pilar konektivitas maritim belum berbicara tentang aspek people-to-people? Apakah diplomasi maritim Indonesia hanya terbatas pada IORA? Hal-hal ini akan tertinggal dalam implementasi kebijakan jika operasionalisasi pilar-pilar Poros Maritim Dunia tidak dilakukan dengan baik.
Setelah plenary session, kegiatan di Pusdiklat Kemlu tersebut ditutup dengan working luncheon beragendakan pemaparan mengenai “India’s Maritime Diplomacy and Its Relation to Indonesia’s GMF Concept” oleh Duta Besar India untuk Indonesia.