Belajar Membangun Perdamaian dari Para Praktisi Perdamaian Penerima MAARIF Award 2016
Pembicara, ki-ka: Budiman Maliki, Ibu Asni, Ibu Nengah, Rudi Fofid (berdiri)
Sumber foto: MAARIF Institute
Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara kembali mengadakan International Relations Lecture Series (IRLS) untuk ke-33 kalinya pada Senin, 13 Juni 2016 bertempat di Kampus Anggrek Binus. Pada kesempatan kali ini, IRLS yang diselenggarakan bekerja sama dengan MAARIF Institute for Culture and Humanity bertema “Belajar Membangun Perdamaian dari Para Praktisi Perdamaian Pemenang MAARIF Award 2016”. MAARIF Institute adalah lembaga yang berkomitmen atas gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. MAARIF Institute memberikan penghargaan bernama MAARIF Award sebagai pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang konsisten dan berdedikasi tinggi merawat keindonesiaan yang majemuk dan memperjuangkan nilai-nilai pluralisme melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal dan membebaskan.
IRLS edisi khusus MAARIF Lecture ini mengundang para penerima MAARIF Award 2016, yaitu Budiman Maliki dari Poso, Sulawesi Tengah, Josep Matheus Rudolf Fofid (Rudi Fofid) dari Ambon, Maluku, dan Mosintuwu Institute dari Poso, Sulawesi Tengah, yang diwakili oleh Ibu Asni dan Ibu Nengah. Mereka dinilai menginspirasi dalam merawat kebhinekaan, merekatkan integrasi sosial, dan menggelorakan perdamaian di Poso dan Ambon.
Budiman, yang biasa disapa Budi, adalah aktivis yang mendirikan Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) untuk kerja-kerja kemanusiaan dan resolusi konflik di Poso. Budi membahas mengenai penyelesaian konflik di Poso, yang menurutnya dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu melalui maintenance, yaitu menyelesaikan dengan melakukan pembicaraan antar dua kubu dalam konflik, dan melalui force, yaitu menyelesaikan konflik melalui kekerasan. Akan tetapi, menurut Budi, kekerasan tidak selalu menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan konflik. Ia lebih memilih melakukan penyelesaian dengan pembicaraan. Budiman juga menjelaskan pandangannya tentang resolusi konflik, yaitu bahwa hal tersebut membutuhkan skill mumpuni, menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, dan tidak menjadikan perbedaan sebagai alasan.
Pembicara berikutnya, Rudi Fofid, yang biasa disapa Opa, adalah aktivis jurnalisme dan seni sebagai jalan perdamaian. Opa Rudi mendirikan Maluku Media Center (MMC), selain membantu komunitas-komunitas orang muda di Ambon, seperti komunitas sastra dan Komunitas Hip-Hop Ambon. Dalam perspektif Opa Rudi, konflik bermula ketika terdapat kekacauan atau kurangnya informasi yang tersebar. Dalam konflik di Ambon, Opa Rudi menuding tentara sebagai provokator yang menyebabkan kekacauan informasi ini. Oleh karena itu, penting meneliti informasi sebelum memulai bertindak. Dalam hal ini, media memiliki peran yang sangat penting. Sayangnya, media nasional sering membuat berita yang tidak benar tentang konflik di Ambon.
Kemudian, Ibu Asni dan Ibu Nengah berbicara mewakili Mosintuwu Institute, lembaga gerakan perubahan politik perempuan desa. Mosintuwu Institute bergerak memperjuangkan hak-hak wanita, diilhami oleh kondisi sosial masyarakat Poso yang patriatrki dan feodal. Ibu Asni menjelaskan bahwa Mosintuwu Institute dikenal dengan Sekolah Perempuan Dewa yang mengutamakan memberikan pendidikan kepada kelas menengah bawah, seperti ibu rumah tangga yang terkena pengaruh konflik Poso. Sekolah Perempuan ini lahir karena kekhawatiran akan dampak konflik di Poso terhadap para perempuan desa di Poso. Ibu Nengah menambahkan bahwa Sekolah Perempuan ditujukan untuk membangun persatuan dan perdamaian melalui perempuan, karena sekolah perempuan ini juga lebih berperan dalam mempersatukan perempuan yang berbeda agama yang terpengaruh oleh konflik.