Kasus e-KTP: Bantahan Berjamaah Anggota Dewan
Oleh: Firda Amalia Rahmadhani
Reporter Politik Domestik
IRB News
Sebagai salah satu kasus mega skandal, pengungkapan kasus e – KTP dimungkinkan mengguncang perpolitikan nasional, tentu bukan tanpa sebab, karena aktor aktor penting yang terlibat adalah para politisi papan atas yang menduduki posisi penting di negeri ini.
DPR sebagai salah satu pihak yang paling di sorot. Karena, dalam dakwaan Jaksa KPK memuat banyak nama anggota dewan yang disinyalir menerima suap KTP elektronik. Kelanjutan sidang e – KTP pada 23 Maret 2017 di Pengadilan Tipikor Jakarta menghadirkan tiga anggota komisi 2 DPR saat itu, mereka adalah Taufik Effendi, Teguh Juwarno dan Miryam S. Haryani.
Kedua saksi yaitu Teguh Juwarno yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua komisi II DPR 2009-2010 dari Fraksi PAN dan Taufik Effendi selaku wakil ketua Komisi II DPR 2009-2014 dari Fraksi Demokrat, mereka berdua kompak membantah terlibat dalam penyuapan e – KTP Bahkan dalam keterangannya, kedua anggota dewan membantah mengenal Andi Agustinus alias Andi Narogong. Padahal, keduanya di tuduhkan menerima sejumlah uang suap dari Andi Narogong. Keduanya membantah pernah mengenal nama Andi Narogong, Teguh Juwarno mengatakan baru mendengar nama Andi Narogong setelah ia memberikan kesaksian pada KPK.
Selain kedua wakil ketua Komisi II, satu anggota dewan lain yang hadir adalah Miryam S. Haryani dari Fraksi Partai Hanura. Persidangan dibuat terkejut atas tindakan Miryam yang mencabut seluruh keterangan di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dengan alasan BAP dibuat dibawah tekanan penyidik KPK . Jaksa penuntut umum KPK Irene Putri menyatakan terdapat hal-hal tidak logis terkait keterangan mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura tersebut. Majelis hakim menilai tindakan Miryam Haryani mencabut semua BAP dimungkinkan memberikan ancaman pidana pada yang bersangkutan, yaitu ancaman pidana atas pemberian keterangan palsu di muka persidangan. Selain itu, seandainya ada tindakan intimidasi dari penyidik KPK saat pembuatan BAP, seharusnya Miryam tidak membubuhkan tanda tangan pada BAP yang memberikan arti bahwa BAP itu telah dibuat secara benar.
Padahal, saat diberikan kesempatan pemeriksaan kedua, pihak Jaksa KPK mengatakan penyidik menanyakan apakah ada keterangan yang ingin diubah, ditambahkan, atau dilengkapi dalam BAP yang bersangkutan. Dikatakan bahwa pada pemeriksaan kedua, Miryam melengkapi ceritanya yang pertama dengan lebih lengkap dan detail.
Terkait keterangan Miryam yang mengungkapkan dirinya sempat diancam penyidik KPK ketika menjalani pemeriksaan, Jaksa KPK menyatakan KPK selama ini mempunyai SOP untuk memeriksa dan selalu merekam setiap pemeriksaan yang dilakukan. Selain itu masih diragukan, apakah tekanan yang diterima Miryam berasal dari penyidik atau mengalami tekanan yang lain. Dalam persidangan Miryam mengaku diancam oleh penyidik saat pemeriksaan. Karena itu, keterangan yang dia berikan selalu berbeda dengan apa yang telah dituangkan di BAP. “Waktu diperiksa penyidik, saya dipaksa, saya diancam,” kata Miryam. Kemudian saat Ketua Majelis Hakim John Halasan menanyakan ancaman seperti apa yang diterima politisi Hanura itu, Miryam menjawab bahwa BAP yang ia tanda tangani isinya tidak benar semua karena ia mendapatkan diancam dengan kata kata oleh tiga orang penyidik, jawab Miryam sambil menangis di muka persidangan.
Peran Miryam dalam kasus ini dibilang cukup penting. Dalam dakwaan Jaksa, disebutkan Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp 5,9 triliun tersebut. Pada BAP yang dicabut secara keseluruhan itu juga terdapat petunjuk penting terkait aliran dana pada beberapa anggota DPR.
Jaksa penuntut umum KPK lantas meminta izin kepada majelis hakim untuk menghadirkan tiga penyidik KPK yang memeriksa Miryam pada persidangan berikutnya. Jaksa berniat mengkonfrontir keterangan Miryam tersebut dengan penyidik KPK itu. Kuasa hukum terdakwa e-KTP, Irman dan Sugiharto, sepakat dengan jaksa. Ketua tim penasihat hukum, Susilo Ari Wibowo, juga meminta izin menghadirkan saksi untuk dikonfrontrir dengan Miryam. “Ini merugikan terdakwa II (Sugiharto). Saya mohon dicatat, saya minta dikonfrontir dengan beberapa saksi yang saya punya untuk pengantaran uang itu,” kata dia. Permintaan jaksa untuk mengkonfrontir Miryam dengan penyidik tak membuat politikus Hanura itu gentar mencabut BAP. “Saya siap Yang Mulia,” katanya dengan suara bergetar.
Kemudian, perkembangan terkait diluar pengadilan adalah penetapan tersangka kasus e – KTP, KPK akhirnya menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka, setelah dua terdakwa sebelumnya telah menjalani sidang di pengadilan. Lalu, dari pihak para saksi dari anggota DPR, Marzuki Ali bahkan mengambil langkah hukum dengan melaporkan Andi Narogong ke Bareskrim POLRI karena ia merasa tak terima namanya di catut dalam pusaran kasus e – KTP. Selain Marzuki, politikus Golkar Melchias Mekeng juga melaporkan Andi Narogong ke Bareskrim.
Saling bantah oleh pihak pihak yang disebut dalam dakwaan Jaksa diharapkan tidak mempersulit pengusutan mega korupsi e – KTP. Santer diberitakan dari Senayan bahwa DPR mewacanakan revisi Undang-Undang KPK yang justru akan memperlemah kinerja lembaga anti rasuah tersebut.
Referensi
Tempo. 2017. Sidang E KTP: Jaksa : Ada hal tak logis dari kesaksian Miryam diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/063859087/sidang-e-ktp-jaksa-ada-hal-tak-logis-dari-kesaksian-miryam
Tempo. 2017. E-KTP, KPK Ancam Penekan Miryam dengan Pasal Halangi Penyidikan. Di akses dari https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/063859318/e-ktp-kpk-ancam-penekan-miryam-dengan-pasal-halangi-penyidikan
IRB News adalah media informatif mahasiswa yang mampu berkontribusi bagi disiplin ilmu Hubungan Internasional.
https://scdc.binus.ac.id/himhi/2017/04/kasus-e-ktp-bantahan-berjamaah-anggota-dewan/