Perang Kimia dan Gempuran AS
Salah seorang Faculty Member Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Amalia Sustikarini, memublikasikan artikelnya berjudul “Perang Kimia dan Gempuran AS”. Di bawah ini adalah artikelnya.
Perang Kimia dan Gempuran AS
Setelah sempat tenang selama kurang lebih tiga bulan sejak pasukan pemerintah berhasil merebut kota-kota penting dari tangan gerilyawan, situasi Suriah kembali memanas. Bahkan, diduga pemerintah telah menggunakan gas kimia sarin untuk memerangi rakyatnya sendiri. Media menampilan gambar anak-anak sebagai korban memilukan.
Dunia pun ramai-ramai mengutuk dan menyampaikan keprihatinan. Bahkan, Amerika Serikat (AS) bereaksi keras dengan menyerang Suriah. Padahal, Presiden AS Donald Trump pada awal kepemimpinan menegaskan akan menjauhi intervensi atau ikut campur masalah dalam negeri sebuah negara.
Intervensi menjadi satu bagian yang sulit dipisahkan dari kebijakan luar negeri AS. Sejak tahun 1990-an saja setidaknya AS melakukan beberapa intervensi. Misalnya, tahun 1991 di Kuwait, 2001 Afghanistan, dan 2003 di Irak. Langkah ini lalu mendapat legitimasi global dengan dikeluarkannya Responsibility to Protect tahun 2005.
Isinya memperbolehkan negara-negara intervensi kemanusiaan terhadap krisis domestik di sebuah negara yang berpotensi mengarah pada genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis di bawah persetujuan Dewan Keamanan PBB. Krisis domestik Suriah mulai tahun 2011 membuat dunia kembali berwacana untuk melakukan humanitarian intervention (intervensi kemanusiaan) tersebut.
Hal tersebut hampir terjadi saat pemerintah Bashar Al Assad dituduh menggunakan senjata kimia pada tahun 2013. AS hampir intervensi, namun tidak mendapat persetujuan kongres dan diredam oleh diplomasi elite dari AS, Russia, dan Suriah.
Keputusan Trump untuk menyerang Suriah ini mendapat reaksi beragam. Banyak pihak yang mendukung, seperti mayoritas negara Eropa Barat dan sekutu AS, antara lain Belanda, Prancis, Inggris, Kanada, dan Israel. Namun, ada juga yang mengecam sebagai tindakan yang justru berpotensi memperburuk krisis dalam negeri.
Krisis Suriah sangat rumit karena bercampur antara geopolitik, keamanan, energi, dan sektarianis dalam Islam. Konflik ini juga ditandai tingginya keterlibatan tidak langsung negara-negara besar, baik yang mendukung Bashar al Assad maupun pasukan gerilyawan. Belum lagi ditambah dengan masuknya ISIS dan petarung asing lain yang semakin memperburuk keadaan.
Selain mendapat reaksi pro-kontra, keputusan Trump dianggap kontradiktif dengan pilihan kebijakan non-intervensinya. Keputusan ini juga diambil sangat cepat, tanpa konsultasi publik dan persetujuan kongres. Trump pada bulan Januari lalu baru saja mengeluarkan kebijakan yang melarang masuknya penduduk dari beberapa negara dengan penduduk muslim besar. Mereka adalah Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, danYaman.
Dampaknya para pengungsi Suriah tidak bisa masuk AS. Hal ini menambah kontradiktif kebijakan luar negeri Trump dan mengkhawatirkan banyak pihak. Intervensi AS ini mengingatkan serangannya ke Irak tahun 2003. Alasannya, Irak mengembangkan senjata pemusnah massal.
Kelak, terungkap bahwa senjata pemusnah massal tersebut tidak ada. Namun, AS berhasil menggulingkan Saddam Hussein serta membentuk rezim pemerintahan baru. Irak mengalami proses rekonstruksi pasca-intervensi panjang dan berat. Pasukan pemerintah harus juga berjuang menghadapi ISIS yang berhasil merebut beberapa kota penting seperti Mossul.
Serangan AS ke Suriah bila dilakukan terus bisa saja menjadi upaya menggulingkan rezim. Hanya, risikonya lebih besar karena melibatkan negara-negara besar. Ini jelas berpotensi mengganggu kestabilan keamanan dunia.
Masyarakat Indonesia sendiri terpecah dalam memandang krisis Suriah, khususnya dari kalangan Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan konflik Palestina-Israel sebab umat Islam umumnya bersikap sama. Pada awalnya, perhatian lebih dicurahkan pada konflik secara umum. Masyarakat prihatin karena banyak korban sipil.
Mihak
Dalam perkembangan dari tahun ke tahun, mulai ada keberpihakan nyata dari beberapa kelompok masyarakat terhadap kubu gerilyawan (yang disebut sebagai mujahidin). Terjadi anggapan bahwa Bashar al-Assad sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap konflik negerinya.
Lebih mengerucut lagi, perang ini lalu diterjemahkan sebagai konflik antara Sunni dan Syiah. Bashar al-Assad dan pendukungnya menganut Syiah, sedang kelompok gerilyawan menganut aliran Sunni. Di lain pihak, ada beberapa kelompok tidak secara jelas mendukung Bashar al-Assad, namun menyajikan fakta yang berimbang tentang gerilyawan.
Padahal, perang Suriah sarat ditunggangi kekuatan asing. AS dan sekutunya mendukung pasukan sipil, sedangkan Bashar al-Assad didukung Iran dan Russia. Hal ini menyebabkan konflik Suriah tidak sehitam-putih pertentangan antara Sunni dan Syiah.
Indonesia sendiri keberatan dengan serangan AS. Pertimbangannya, setiap penyerangan negara lain harus melalui mekanisme Dewan Keamanan PBB. Belum ada tanggapan dari kelompok-kelompok Islam terhadap sikap pemerintah. Namun, memang terjadi semacam perubahan di kalangan beberapa kelompok Islam Indonesia dalam menyikapi perkembangan geopolitik kontemporer.
Apa pun pendapat atau sikap masyarakat Indonesia dalam kasus Suriah, pemerintah harus mampu menjunjung tinggi kemanusiaan, tanpa melanggar kedaulatan. Pemerintah harus berkomitmen menjaga perdamaian dunia dan menjalankan politik bebas aktif. Yang paling penting, jangan sampai konflik sektarian Suriah diboyong ke Indonesia melalui proxy war agar tidak memecah-belah bangsa.
Penulis Mengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara
sumber: http://www.koran-jakarta.com/perang-kimia-dan-gempuran-as/