Dosen HI Binus: Konflik Timur Tengah bukan Konflik Agama

Tia Mariatul Kibtiah Dosen Universitas Binus, saat menyampaikan materi pada Diskusi “Islam, Kebangsaan dan Kemanusiaan; Simpul-Simpul NU Dalam Ukhuwah yang diselenggarakan GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya. Jumat, (16/6/2017). Sumber: Ansor Jabar Online

 

Pada Jumat, 16 Juni 2017, dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, menjadi pembicara dalam diskusi “Islam, Kebangsaan dan Kemanusiaan; Simpul-Simpul NU dalam Ukhuwah yang diselenggarakan PC Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Tasikmalaya. Berikut ini adalah liputannya.

Tia Mariatul Kibtiah : Konflik Timur Tengah bukan Konflik Agama

TASIKMALAYA, (ansorjabar online) – keragamannya, Indonesia bukan hanya hidup dengan beragam agama, suku, ras, bahasa, tetapi juga beragam isu. Isu yang bisa menjadi bahan bakar bagi sebagian, dan bisa jadi bahan perdamaian bagi sebagian lainnya. Salah satu isu yang paling mendapat reaksi adalah soal Timur Tengah.

Menurut Tia Mariatul Kibtiah, tidak ada konflik agama di seluruh dunia termasuk apa yang terjadi di Timur Tengah. Sayangnya, sebagian muslim Indonesia menilai, apa yang terjadi di Timur Tengah merupakan konflik agama. Seperti yang terjadi di Suriah, Palestina-Israel, Yaman, Mesir dan terakhir krisis Qatar.

Di Suriah misalnya, informasi yang sampai ke Indonesia adalah konflik yang terjadi antara pemerintah Bashar al-Assad yang dzolim kepada rakyatnya yang mayoritas Sunni. Maka muslim Sunni Indonesia berkewajiban untuk pergi ke Suriah dan berperang melawan Assad. Alhasil, sebanyak 500 an lebih WNI (Warga Negara Indonesia) pergi ke Suriah untuk memerangi Assad dan berasumsi bahwa memerangi Assad sama dengan Jihad. Parahnya, mereka bergabung dengan kelompok ISIS (Islamic State Iraq and Syria). Tentu saja ini membahayakan untuk keamanan Asia khususnya Indonesia sekembalinya mereka ke tanah air.

Pun demikian dengan Yaman di mana rakyatnya ingin berdemokrasi danmelawan pemerintah Mansour Hadi yang berlatar belakang menganut paham Sunni. Informasi yang sampai ke Indonesiapun menjelaskan bahwa konflik ini terjadi akibat Syiah Houthi yang mengkudeta pemerintahan Sunni Mansour Hadi. Mesir, menurut informasi yang sampai ke Indonesia, Al-sisi menggulingkan Mursi akibat dari Mursi yang Islami dan Abdul Fatah al-Sisi yang liberal. Maka sebagian rakyat Indonesiapun ramai-ramai mengutuk al-Sisi bahkan salah satu partai politik di Indonesia menolak kedatangan Jendral lulusan Amerika itu saat mengunjungi Indonesia pada 2015 lalu .

Yang paling melekat mengenai konflik agama ini adalah konflik Palestina-Israel. Hampir seluruh masyarakat Indonesia beranggapan bahwa konflik ini terjadi antara Muslim dan Yahudi. Bahkan lebih parah, ada yang beranggapan bahwa konflik ini terjadi antara Muslim dan Kristen. Sehingga setiap kali isu Palestina ini muncul di Indonesia, ramai-ramai masyarakat Indonesia berdemonstrasi dalam skala besar
mengutuk Yahudi dan Kristen.

“Konflik Timur Tengah murni persoalan politik dan ekonomi,” Tegas Tia. Lebih jauh, Tia, yang merupkan Dosen Universitas Binus, menjelaskan bahwa yang terjadi hanya civil war (perang sipil) antara pemberontak Sunni yang ingin menggulingkan Assad yang didukung kekuatan Amerika Serikat dan Saudi Arabia. Assad didukung oleh Rusia, Iran dan Tiongkok.

“Jelas ini merupakan konflik negara-negara besar yang haus akan kekuasan dan untuk kepentingan negaranya masing-masing dengan cara menghancurkan untuk kemudian menguasai negara orang lain,” Jelas Tia bersemangat.

Assad yang membangun koalisi dengan Rusia, Iran dan Tiongkok membuat Amerika dan Saudi gerah. Suriah merupakan jalur sutera (silk road) yang membawa tanker minyak dari Timur Tengah ke Eropa. Maka jika Assad pro terhadap Rusia, Tiongkok dan Iran, sulit Eropa dan Amerika menerima suplai minyak dari Timur Tengah. Pada konflik Suriah, Amerika juga banyak mensuplai senjata ke oposisi Assad yang dibiayai Saudi Arabia.

Jelas ini semua motifnya karena ekonomi dan untuk menunjukkan pada dunia siapa yang paling kuat di Timur Tengah.

Demikian juga dengan Yaman. Dibalik konflik negara berkembang ini, tak terlepas dari support negara-negara kuat dibelakangnya, Mansour Hadi didukung Saudi, sedangkan Houthi didukung Iran. Bahkan Saudi bersama sekutunya mengirim jet-jet tempur ke Yaman untuk menghabisi Houthi. Saudi khawatir dengan Houthi yang didukung Iran akan menguasai Yaman yang notabene merupakan negara tetangga
Saudi.

“Sistem demokrasi Iran yang kebetulan berpaham Syiah, dikhawatirkan berdampak pada sistem kerajaan yang dianut Saud”, tegasnya. Demikian dahsyat isu Timur Tengah karena masalah politik dan ekonomi berkembang di Indonesia sebagai isu agama.

Maka NU sebagai “tameng” pemersatu umat, berkewajiban menjaga segala bentuk perpecahan umat yang disebabkan isu dan kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Jangan sampai hanya karena isu, bisa mengancam persatuan Indonesia dan menimbulkan disintegrasi bangsa.

Indonesia dikenal di dunia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dengan keragaman budaya dan agama. Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang menjaga kerukunan antar umat beragama. Namun belakangan, banyak hate speech (ujaran kebencian) di media sosial ataupun di diskusi-diskusi mengenai perbedaan paham dan agama hanya karena persoalan politik. NU merasa harus memperbaiki ini semua dan mengembalikan keragaman dan budaya cinta damai masyarakat Indonesia yang dulu.

Hal ini disampaikan Tia pada Jumat 16 Juni 2017, dengan tema “Islam, Kebangsaan dan Kemanusiaan; Simpul-Simpul NU Dalam Ukhuwah yang diselenggarakan PC Gerakan pemuda Ansor Kabupaten Tasikmalaya. Hadir pada kesempatan itu, KH. Atam Rustam, Ketua NU Kabupaten Tasikmalaya, serta pimpinan, kader dan anggita PC GP Ansor Kabputaen Tasikmalaya serta kader NU lainnya.(*)

***

Liputan diskusi tersebut dapat dilihat pada tautan berikut:

http://pwansorjabar.org/tia-mariatul-kibtiah-konflik-timur-tengah-bukan-konflik-agama/