Bagaimana memajukan industri pesawat terbang Indonesia

Sempat menjadi pemasok pembuat pesawat terbang seperti Boeing dan Airbus pada 1980-an, industri pesawat terbang Indonesia siap lepas landas setelah runtuh dari krisis keuangan Asia 1997.

Hal ini ditandai dengan giatnya dua produsen pesawat Indonesia–PT Dirgantara Indonesia (DI) dan PT Regio Aviasi Industri (RAI)–dalam mengembangkan bisnis mereka dan membuat jenis pesawat baru.

Namun, kebangkitan industri pesawat ini bukan tanpa tantangan, mulai dari perawatan yang buruk, isu keselamatan penerbangan, hingga kurangnya industri pendukung.

Bisnis yang baik

Industri pesawat terbang Indonesia yang menjanjikan tercermin dalam bisnis pesat kedua perusahaan pembuat pesawat terbang Indonesia, PT DI dan PT RAI.

PT DI adalah perusahaan milik negara, sementara PT RAI adalah perusahaan swasta. Keduanya belum menjadi perusahaan terbuka, jadi kita tidak dapat mengetahui kinerja keuangan mereka.

Namun, bisnis kedua perusahaan ini berjalan baik sejauh ini dengan mereka terus mengembangkan model pesawat baru dan berekspansi ke negara lain.

Sejak 2012, PT DI telah menghasilkan hampir 60 pesawat terbang dan helikopter. PT DI juga telah mengekspor produknya ke Korea Selatan, Senegal, dan Thailand.

PT DI juga terus mengembangkan jenis pesawat baru, termasuk N-219, pesawat angkut 19 penumpang untuk misi serba guna di daerah terpencil. PT DI juga bekerja sama dengan Korea Aerospace Industries untuk mengembangkan pesawat tempur IF-X/KF-X untuk angkatan udara kedua negara.

Didirikan pada tahun 1976, PT DI dahulu dikenal sebagai Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). PT IPTN mempekerjakan hingga 16.000 karyawan dan menjadi subkontraktor industri pesawat terbang utama dunia, seperti Boeing, Airbus, General Dynamics, dan Fokker.

Kemudian, krisis ekonomi menghantam pada 1997.

Krisis tersebut memaksa IPTN untuk mengurangi operasinya, menunda pengembangan pesawat baru, dan menghentikan 12.000 karyawan.

Setelah itu IPTN berganti nama menjadi PT DI pada 2000.

Selain PT DI, Indonesia juga memiliki PT RAI. Perusahaan ini sedang mengembangkan pesawat R-80, sebuah pesawat angkut regional berkapasitas 80 penumpang. Sekitar 155 pesawat R-80 telah dipesan oleh maskapai penerbangan lokal. Prototipe ini ditargetkan untuk uji terbang pada 2022.

Tantangan

Kebangkitan industri pesawat terbang bukan tanpa tantangan.

Indonesia telah menandatangani perjanjian untuk mengekspor pesawat N-219 ke Cina dan Meksiko. Sementara itu, Turki tertarik untuk menjual pesawat tersebut ke Afrika.

Namun, pesawat N-219 PT DI belum mendapat sertifikasi karena kurangnya dukungan anggaran untuk uji terbang. Jika lulus ujian tersebut, pesawat N-219 akan mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Perhubungan. Namun, tanpa sertifikasi, pesawat itu tidak dapat dipasarkan dan dijual ke negara lain.

Sementara itu, proyek IF-X/KF-X sempat ditunda pada pertengahan 2018 karena pihak Indonesia dan Korea Selatan belum sepakat dalam hal hak kekayaan intelektual, alih teknologi, dan pemasaran.

Berbagai masalah keuangan, administrasi, dan kondisi politik juga menunda proyek kerja sama tersebut. Setelah negosiasi ulang pada akhir 2018, kedua negara sepakat untuk melanjutkan proyek.

Tantangan lain yang dihadapi industri pesawat terbang Indonesia antara lain sistem perawatan yang buruk dan sumber daya manusia yang tidak memadai, seperti teknisi dan ahli perawatan pesawat.

Buruknya sistem perawatan ini disebabkan oleh kurangnya industri pendukung.

Perawatan pesawat yang buruk menjadi penyebab terjadinya berbagai insiden kecelakaan pesawat yang membuat Indonesia terkenal dengan keselamatan penerbangannya yang buruk.

Dalam 100 tahun terakhir, Indonesia mencatat 147  kecelakaan fatal, dibandingkan dengan 37 kecelakaan di Malaysia dan tujuh kecelakaan di Singapura. Data di atas tidak menyebutkan berapa banyak pesawat DI dan RAI yang terlibat karena laporan tersebut hanya fokus pada penerbangan komersial. Terakhir kalinya pesawat PT DI terlibat dalam insiden fatal adalah pada 2011. Sementara pesawat RAI belum ada di pasaran.

Kondisi demikian menjelaskan mengapa industri pesawat terbang Indonesia dipandang lebih buruk daripada negara-negara lain di kawasan ini terlepas potensi besar yang dimiliki oleh Indonesia.

Perusahaan konsultan bisnis  Frost & Sullivan melaporkan bahwa dibanding negara-negara Asia Tenggara nilai perdagangan keseluruhan produk dirgantara Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Pada 2017, ekspor dirgantara Indonesia hanya mencapai AS$103,9 juta atau Rp 1.4 triliun, sementara ekspor Singapura dan Malaysia masing-masing mencapai $7,4 miliar dan $2,1 miliar.

Potensi besar

Indonesia perlu menjawab tantangan di atas untuk memanfaatkan potensi besar industri penerbangan regional.

Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara dengan kemampuan manufaktur pesawat terbang yang kompleks.

Industri penerbangan di SingapuraMalaysia, dan Thailand lebih fokus pada layanan pemeliharaan, perbaikan, dan perbaikan, serta komponen-komponen manufaktur.

Thai Aviation Industries (TAI) memproduksi pesawat latih RTAF-6 dalam jumlah yang sangat kecil. Sementara Aviation Composite Technology (ACT) Filipina hanya memproduksi satu pesawat latih Apache 1.

Sementara itu, PT DI telah menghasilkan berbagai jenis pesawat terbang dan helikopter, termasuk pesawat angkut untuk maskapai sipil dan juga pesawat militer. PT DI bahkan menghasilkan beberapa produk helikopter berdasarkan perjanjian dengan Airbus Helicopters dan Bell Helicopter Textron.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang membawahi Kementerian Perhubungan meminta Boeing untuk membuka kantor di Indonesia guna memacu perekonomian nasional demi ambisi untuk memperluas industri penerbangan negara ini.

Solusi yang mungkin

Mengembangkan proyek pesawat terbang baru adalah langkah kunci untuk meningkatkan pertumbuhan industri pesawat terbang negara ini.

Dukungan pemerintah penting untuk menjamin keberhasilan proyek-proyek tersebut.

Misalnya, pemerintah selaku salah satu pemegang saham DI bisa memberikan dukungan dana untuk membantu DI mendapatkan sertifikasi untuk pesawat N-219.

Pemerintah dapat membantu PT DI mengadakan dalam negoisasinya dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa untuk mempromosikan pesawat N-219 agar bisa mendapatkan sertifikasi dari otoritas regulasi penerbangan internasional.

Melalui negoisasi tersebut PT DI diharapkan akan mendapatkan sertifikasi internasional untuk proyek N-219-nya.

Sementara itu, untuk proyek IF-X/KF-X, pemerintah harus memastikan negosiasi ulang dengan Korea Selatan berhasil. Pemerintah harus membujuk Korea untuk menyetujui hak kekayaan intelektual Indonesia atas pesawat dan menjamin alih teknologi ke Indonesia. Ini akan memberi Indonesia kebebasan untuk memasarkan jet tempur tersebut.

Untuk mempromosikan industri penerbangannya, pemerintah juga perlu membangun ekosistem industri pesawat terbang untuk meningkatkan pemeliharaan dan memastikan keselamatan penerbangan.