Konflik Sudan: Kudeta Militer hingga Isu Feminisme
Krisis Sudan yang terjadi setelah Presiden Omar Al-Bashir dikudeta oleh militer pada 11 April 2019 lalu merupakan konflik mematikan yang terjadi di negara yang terletak di timurlautbenua Afrika tersebut.Konflikini didasari oleh data yang mencatat mengenai jumlah korban yakni ratusan korban tewas dan terluka dalam peristiwa tersebut.
Kerusuhan yang terjadi di Sudan dapat ditelusuri semenjak adanya pemberlakuan langkah penghematan darurat guna mencegah keruntuhan ekonomi yang dilakukan oleh Presiden Bashir pada Desember 2018.Pemberlakuan penghematan darurat tersebut mengakibatkan pengurangan subsidi pangan seperti roti serta bahan bakar sehingga memicu aksi demonstrasi yang menyebar hingga ke ibu kota yakni Khartoum.Protesinimeluas yang berakhir pada tuntutan penggulingan Bashir yang telah berkuasa selama 30 tahun.
Sebagaimana yang diwartakan oleh CNN, aksi unjuk rasa ini juga didasari oleh tiadanya demokrasi dalam pemerintahan di bawah kekuasaan Bashir. Bashir melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahan sebelumnya yang pada akhirnya ia menjadi pemimpin Sudan. Selama kepemimpinannya yang mendukung milisi Janjaweed, telah tercatat lebih dari 15.000 penduduk kehilangan nyawa oleh milisi tersebut dan banyak terjadi pelecehan terhadap wanita di kawasan Darfur, wilayah yang berbatasan dengan Chad dan Republik Afrika Tengah. Sebelumnya, The International Criminal Court telah berupaya memberikan keadilan kepada rakyat Sudan dengan mengeluarkan surat penangkapan yang ditujukan untuk Bashir atas kasus genosida dan konflik Darfur pada 2009, namun upaya tersebut sia-sia karena kurangnya dukungan dari Dewan Keamanan PBB.
Puncaknya saat lima hari setelah demonstran menuntut agar tentara memaksa presiden turun, militer mengumumkan bahwa presiden telah digulingkan. Seperti yang dilansir CNN Indonesia, Angkatan Bersenjata sudah menyatakan mengkudeta Presiden Bashir. Mereka menyatakan akan memimpin negara itu dengan membentuk Dewan Militer selama dua tahun ke depan.
Kepemimpinan yang jatuh pada Dewan Militer setelah digulingkannya Bashir menyebabkan aksi demonstrasi menuntut penyerahan kepemimpinannya kepada kelompok sipil. Menurut laporan wakil menteri kesehatan Sudan, Soliman Abdel-Gabar mencatat setidaknya ada 7 orang tewas dan 181 lainnya terluka dalam bentrokan itu, terdapat 27 korban diantaranya mengalami luka tembak.
Para demonstran perempuan Sudan yang ikut serta dalam unjuk rasa dilaporkan mengalami tindak asusila oleh aparat, pelakunya diduga adalah anggota paramiliter Pasukan Pendukung Cepat (Rapid Support Forces). Dilaporkan oleh saksi mata kepada BBC bahwa sebuah kesatuan yang merupakan bagian dari aparat keamanan Sudan memerkosa perempuan selagi membubarkan para demonstran di luar markas besar militer.
Seperti dilansir The Guardian, Kamis (13/6), RSF diduga telah melakukan lebih dari 70 aksi pemerkosaan saat menyerang kamp pengunjuk rasa di ibukota pekan lalu.Seorang dokter yang merupakan anggota kelompok pendukung reformasi melaporkan rumah sakit di Khartoum telah mencatat lebih dari 70 kasus pemerkosaan setelah penyerangan. Para ahli dan aktivis HAM meyakini laporan kekerasan tersebut dapat dipercaya. Dengan demikian, isu feminisme juga turut mencuat melalui penindasan yang dialami para demonstran perempuan dalam bentrok yang terjadi di Sudan.
Konflik yang terjadi di Sudan turut mengundang perhatian dunia salah satunya yakni melalui warna biru sebagai bentuk solidaritas belasan pengunjuk rasa yang tewas secara brutal di ibukota, Khartoum. Dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (14/6/2019), bahwa gelombang biru semakin viral di berbagai platform untuk mengenang salah satu korbanyakni Mohamed Mattar yang diketahuiwarna favoritnya adalah biru.
Mattar dilaporkan ditembak ketika berusaha melindungi dua wanita selama pembubaran kamp protes di luar markas militer Sudan. Menurut Khidir yang juga merupakan seorang influencer di Instagram, saat ini warna biru mewakili semua orang Sudan yang menjadi korban dalam pemberontakan.