IRB News bersama IGN Talks menyelenggarakan diskusi panel. Acara ini diadakan pada Kamis, 9 Januari 2020. Temanya adalah “How Indonesia Membership in the UN Human Rights Council Could Strengthen the Human Rights Enforcement in Indonesia”. Para pakar diundang membahas posisi Indonesia. Posisi Indonesia sebagai Dewan HAM PBB dapat meningkatkan penegakan HAM. Peningkatan HAM diharapkan terjadi di dalam maupun luar negeri.

Narasumber yang hadir adalah Achsanul Habib (Direktur HAM Kemlu), Beka Ulung Hapsara (Komnas HAM), Diovio Alfath (Sandya Institute), dan Dominique Virgil (Sandya Institute). Acara dipandu oleh Emir Chairullah, Faculty Member HI Binus.

Prioritas dan Tantangan Indonesia di Dewan HAM

Diskusi dibuka dengan sambutan Bapak Bambang Iriatmaja. Beliau menyatakan Indonesia terpilih kelima kalinya sebagai Dewan HAM PBB. Periode ini untuk tahun 2020-2022. Posisi ini strategis dan membanggakan. Tiga prioritas utama Indonesia di Dewan HAM disampaikan. Pertama, mendorong kemajuan HAM. Kedua, meningkatkan kapasitas HAM dalam kerja sama internasional. Ketiga, memperkuat kemitraan dan kinerja pembangunan HAM dalam negeri.

Bapak Achsanul Habib membahas tantangan Indonesia. Indonesia berhasil mengalahkan kandidat kuat Asia Pasifik seperti Jepang dan Korea. Keberhasilan ini adalah prestasi membanggakan. Meskipun demikian, Indonesia masih punya masalah HAM domestik. Indonesia juga menghadapi tantangan internal PBB. Negara-negara Eropa masih mendominasi isu pembahasan. Kehadiran perwakilan Eropa relatif lebih tinggi. Hal ini membuat suara negara Eropa lebih dominan. Namun, Indonesia tetap mempertahankan agenda Palestina.

Tuntutan Domestik dan Kasus Pelanggaran HAM

Beka Ulung Hapsara memaparkan kaitan Indonesia dengan HAM. Komnas HAM terbentuk pada Era pemerintahan Habibie. Tujuannya menyelesaikan pelanggaran HAM era Soeharto. Landasan Hukum HAM diatur melalui UU No. 39 Tahun 1999. Beka menjelaskan masih ada 6098 kasus diadukan ke Komnas HAM. Pelaku pelanggaran banyak dari oknum kepolisian. Pelanggaran terkait kriminalisasi dan penyiksaan. Kasus lawas yang belum selesai antara lain Peristiwa 1965-1966, Tragedi Semanggi 1 dan 2, dan Petrus.

Dalam kaitannya dengan masalah-masalah tersebut pihak NGO yaitu Bapak Diovio Alfath berharap bahwa Indonesia dapat memberi perhatian lebih terhadap pelanggaran HAM, UU yang bertentangan dengan HAM, dan juga tindakan state actor yang melanggar HAM. Ia menyoroti bahwa saat ini masih ada tindakan penghukuman yang tidak berbasis perlindungan HAM seperti halnya hukuman mati yang masih diterapkan di Indonesia dan juga hukum cambuk di Aceh. Ke depannya Indonesia diharapkan untuk meniadakan kedua hukuman itu karena dianggap tidak manusiawi dan melanggar HAM yaitu berupa hak hidup. Sedangkan Ibu Dominique Virgil dari pihak Sandya Institute berharap bahwa kalangan muda Indonesia dapat lebih peduli terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan HAM dan ikut berperan serta untuk mencegah dan menyelesaikan masalah-masalah HAM.

Harapan NGO dan Penutup

Pihak NGO berharap Indonesia lebih memperhatikan pelanggaran HAM. Bapak Diovio Alfath menyoroti hukuman yang tidak berbasis perlindungan HAM. Contohnya hukuman mati dan hukum cambuk di Aceh. Beliau berharap kedua hukuman itu ditiadakan. Ibu Dominique Virgil berharap kalangan muda Indonesia peduli HAM. Pemuda diharapkan ikut berperan mencegah dan menyelesaikan masalah HAM. Acara berlangsung lancar dan interaktif. Peserta antusias mengajukan pertanyaan. Diskusi panel ditutup dengan pemberian plakat kepada para narasumber oleh IRB.