Antara Covid-19, BPJS Kesehatan, dan Omnibus Law
Jakarta – Apa kaitan antara pandemi Covid-19, ekonomi, sistem jaminan kesehatan, dan pasar tenaga kerja? Pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Dinna Prapto Raharja, menandaskan bahwa peristiwa pandemi Covid-19 dan dampak sosio-ekonomi yang mengikutinya tersebut harusnya membantu kita merefleksikan kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang sudah diambil. Kita harus menguji melalui krisis-krisis tersebut sejauh mana kebijakan yang diambil sudah sesuai dengan karakter sosial-ekonomi masyarakat kita.
Bagi Dinna, paradigma yang berkembang di Indonesia adalah keyakinan bahwa perekonomian Indonesia akan diuntungkan oleh arus investasi yang deras masuk supaya lapangan pekerjaan terbuka dan akhirnya jumlah orang miskin terkurangi. Paradigma ini bertentangan dengan sebuah sistem jaminan sosial yang kita kenal dengan nama UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU Nomor 40/2004) yang dicetuskan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pewaris kemudian melanjutkan dengan membuat UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di UU Nomor 24/2011 sehingga lahirlah BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) yang kita kenal saat ini.
Ide dari undang-undang ini adalah bahwa negara tetap menjamin kesehatan penduduk walaupun ekonomi hancur lebur. Ide ini berangkat dari pengalaman krisis lalu bahwa satu keluarga yang hari ini masih bisa memiliki rumah dan kendaraan bisa jatuh miskin bulan depan dan kehabisan harta demi membiayai kepala keluarganya jatuh sakit, kehilangan pekerjaan, atau celaka saat bertugas di tempat kerja. Ini bukan gagasan asing buat Indonesia karena sudah jelas dinyatakan dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Dengan demikian, logika pro-investasi dewasa ini mengingatkan Dinna pada trickle down economy yang memercayai bahwa pajak untuk orang kaya perlu dibikin rendah supaya uang dari kalangan berekonomi mampu ini menggunakan kekayaannya sebagai stimulus ekonomi. Teori tersebut sudah lama dikritik para aktivis politik karena kenyataannya tidaklah seindah teorinya.
Sepanjang struktur sosial-ekonomi masyarakatnya masih eksploitatif, maka investasi hanya akan menebalkan kantong kelompok atas. Apalagi, bila kondisi ekonomi global cenderung kerap didera krisis, maka kelompok yang mampu akan cenderung ekstra hati-hati dalam membuka lapangan kerja dan memberikan upah layak.
Kritik dan paparan lengkapnya dapat dibaca di sini.