Wabah dan Diplomasi
Jakarta – Pada Rabu, 29 Januari 2020, pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menulis mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap potensi munculnya ketegangan diplomasi. Dengan demikian, diperlukan adanya ketanggapan dari para pemimpin negara untuk mengatasi krisis akibat wabah.
Boin, Hart, Stern, dan Sundelius (2005) mengatakan ada empat tahap yang perlu dilakukan pemimpin ketika menghadapi krisis. Pertama adalah sense-making. Pada tahap ini pemimpin perlu memahami sifat, keparahan, dan kemungkinan konsekuensi dari krisis yang sedang berlangsung.
Tahap kedua adalah decision-making yaitu tahap menetapkan di mana kejadian atau krisis terjadi, siapa yang bertanggung jawab, apa, dan kapan bagaimana strategi atau reaksi terhadap krisis harus disepakati. Pada tahap ini Pemerintah China masih berupaya untuk lari dari tanggung jawab. Kritik kurang cepatnya sentimen dari krisis dari pandemik flu ini diarahkan oleh pemerintah pusat China kepada pemerintah daerah Wuhan.
Tahap ketiga adalah membangun narasi atau memproduksi makna dengan mempertimbangkan harapan masyarakat. Pemerintah China berusaha untuk memenuhi harapan dunia dengan memberikan kesan positif bahwa mereka bertanggung jawab dalam mengelola wabah ini. Narasi ini pada awalnya telah berhasil meyakinkan WHO untuk tidak menyatakan virus korona Wuhan sebagai a public health emergency of international concern (PHEIC). PHEIC adalah sebuah istilah teknis yang dipakai untuk menandai terjadinya “krisis kesehatan” yang serius, tidak biasa, atau tidak terduga.
Tahap keempat adalah terminasi atau penutupan sebuah krisis yang meliputi respons politis dan operasional terhadap krisis. Pemerintah China belum masuk dalam tahap ini karena bahaya virus korona masih belum dapat dikontrol sepenuhnya.
Selengkapnya dapat dibaca di sini.