Diskusi dan Bedah Buku “75 Tahun TNI”
Pada hari Kamis, 3 Desember 2020, Centre for Business and Diplomatic Studies (CBDS) di bawah nauangan Departemen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (BINUS) mengadakan webinar bertemakan diskusi dan bedah buku berjudul 75 Tahun TNI: Evolusi Ekonomi Pertahanan, Operasi, dan Organisasi Militer Indonesia, 1945-2020.
Buku ini ditulis oleh Evan A. Laksmana, Ph.D., peneliti senior CSIS Indonesia, Iis Gindarsah, peneliti CSIS Indonesia, dan Curie Maharani Savitri, Ph.D., dosen HI BINUS. Buku ini diterbitkan oleh CSIS Indonesia dan baru saja diluncurkan pada awal November 2020 lalu, sebulan setelah ulang tahun TNI. Buku ini menjelaskan mengapa dan bagaimana TNI, sebagai sebuah organisasi militer yang secara umum hakikatnya dirancang agar tidak mudah berubah, justru mengalami berbagai perubahan pada institusi-institusi internalnya.
Dalam diskusi bedah buku ini, Departemen HI BINUS mengundang berbagai narasumber, di antaranya Mayjen TNI Dr. rer. pol. Rodon Pedrason selaku Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (Kemhan RI) dan dua penulis buku ini, yaitu Iis Gindarsah dan Curie Maharani. Sementara itu, Tangguh Chairil, dosen HI BINUS yang juga analis militer dan pertahanan Indonesia, bertindak sebagai moderator.
Acara dibuka dengan sambutan oleh Ketua Departemen HI BINUS, Rangga Aditya, Ph.D. Dalam sambutannya, Ia menyampaikan selamat kepada CSIS Indonesia dan para penulis atas terbitnya buku 75 Tahun TNI. Ia juga menyampaikan terima kasih kepada para narasumber yang berkenan hadir untuk membedah buku ini. Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap konten buku ini yang dapat menambah pemahaman para pembaca tentang kajian militer dan pertahanan Indonesia. Diskusi kemudian dipandu oleh moderator Tangguh Chairil, dosen HI BINUS. Ia membuka diskusi dengan memberikan deskripsi singkat buku 75 Tahun TNI dan profil singkat tiap-tiap narasumber.
Narasumber pertama, Mayjen TNI Dr. Rodon Pedrason, menyampaikan pembahasan tentang hasil tinjauannya terhadap buku 75 Tahun TNI. Ia melihat bahwa buku ini menggunakan cara pandang yang lugas, sederhana, dan tidak berbelit-belit dalam membahas permasalahan perubahan pada institusi-institusi internal TNI. Ia meninjau tiap-tiap bab buku ini secara mendalam, kemudian memberikan masukan dan saran-saran perbaikan.
Narasumber kedua, Iis Gindarsah, menyampaikan pembahasan tentang evolusi operasi militer Indonesia. Ia membagi tipologi operasi militer berdasarkan beberapa kategori, seperti sumber ancaman, intensitas konflik, karakter medan, durasi konflik, strategi, siasat, gelar, dan sasaran. Ia menjelaskan bahwa hipotesis yang digunakan untuk menjelaskan evolusi operasi militer Indonesia adalah hipotesis tentang ancaman militer dan karakter rezim politik. Berdasarkan dokumentasi pusat dan dinas sejarah di lingkungan TNI, setidaknya terdapat 370 operasi militer pada tahun 1945-2020 dengan rata-rata 4,93 kegiatan per tahun. Iis Gindarsah mengkaji evolusi operasi TNI di lima momentum politik Indonesia, yakni Perang Kemerdekaan (1945-1949), masa Demokrasi Parlementer (1950-1959), rezim Demokrasi Terpimpin (1960-1965), rezim Orde Baru (1966-1997), dan pasca-Orde Baru atau periode Reformasi (1998-sekarang).
Iis Gindarsah menyampaikan bahwa operasi TNI tidak terlepas dari sumber ancaman yang dapat berasal dari dalam maupun luar negeri yang terdiri dari agresi militer, dilema keamanan, pemberontakan, separatisme, terorisme, dan kerusuhan sosial. Secara kumulatif, karakter gelar kekuatan TNI lebih bersifat ofensif daripada bertahan dari serangan musuh, cenderung berupa pertempuran dan tugas keamanan dalam negeri, serta lebih mengandalkan kemampuan pertahanan darat. Struktur ancaman pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin mendorong pengerahan pasukan dan mobilisasi sumber daya pertahanan dengan tujuan menghancurkan kemampuan tempur dan basis musuh. Pada rezim Orde Baru, operasi TNI cenderung mengedepankan pendekatan koersif, sementara pemerintahan sipil pada masa Reformasi cenderung lebih mengutamakan pendekatan nonmiliter dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional.
Narasumber ketiga, Curie Maharani, menyampaikan pembahasan tentang evolusi ekonomi pertahanan Indonesia. Ia membahas ekonomi pertahanan berdasarkan beberapa aspek, yaitu anggaran, alutsista, serta sistem perencanaan, penganggaran, pengadaan, dan pengawasan pertahanan (SP5). Tren anggaran militer Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan strategis. Faktor-faktor ekonomi mencakup rencana pembangunan, harga minyak, dan pertumbuhan ekonomi domestik. Faktor-faktor politik mencakup hubungan sipil-militer, karakter militer/peran nonpertahanan, serta proses teknokratik perencanaan dan penganggaran. Sementara itu, faktor-faktor strategis mencakup persepsi ancaman, situasi geopolitik, dan ambisi angkatan bersenjata. Afiliasi pengadaan alutsista Indonesia mengalami perubahan, dari 1950-1965 didominasi alutsista dari Blok Timur, kemudian pada 1966-1998 didominasi alutsista dari Blok Barat, lalu pada 1999-2020 alutsista telah didiversifikasi dari Blok Barat maupun Timur.
Acara kemudian berlanjut ke sesi diskusi dan tanya jawab. Para peserta mengajukan berbagai pertanyaan, misalnya Prof. Dr. Bambang Kismono Hadi dari Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB yang bertanya tentang spillover pengadaan alutsista ke dalam industri pertahanan nasional. Curie menjawab bahwa spillover hanya dapat terjadi jika memenuhi beberapa syarat, misalnya kejelasan SP5, definisi ancaman, dan strategi postur. Syarat berikutnya adalah life-cycle costing dalam pertimbangan pengadaan alutsista, yang sayangnya belum diterapkan. Kemudian, perlu ada akses pada data-data terkait proses input maupun output sektor industri pertahanan, pemetaan terhadap rantai suplai industri pertahanan, serta SDM yang kompetitif.
Peserta lainnya bertanya tentang implementasi revolution in military affairs (RMA) oleh Kemhan dan TNI. Iis Gindarsah menjawab bahwa Kemhan dan TNI telah mengadopsi beberapa teknologi hasil RMA, yang terlihat dari perubahan struktur organisasi, strategi/doktrin, dan alutsista yang digunakan. Ia memberi contoh bahwa TNI telah memiliki skuadron pesawat nirawak dan mengakusisi tank tempur berat.
Kemudian, ada peserta yang bertanya tentang faktor internasional yang mempengaruhi evolusi ekonomi pertahanan Indonesia. Curie menjawab bahwa faktor-faktor utamanya adalah faktor ekonomi, politik, dan strategis. Misalnya, pertumbuhan ekonomi dunia berdampak positif terhadap anggaran pertahanan. Ia juga memberi contoh sengketa teritorial di Laut Tiongkok Selatan juga mendorong negara-negara di kawasan meningkatkan anggaran pertahanan masing-masing. Contoh lainnya, pandemi COVID-19 tahun ini berdampak menurunkan anggaran pertahanan di beberapa negara.
Peserta lainnya bertanya tentang faktor utama yang mempengaruhi perubahan doktrin operasi TNI dari masa ke masa. Iis Gindarsah menjawab bahwa sejauh ini perubahan doktrin TNI cenderung dipengaruhi oleh karakter rezim politik. Sementara itu, di level operasional perubahan yang terjadi juga dipengaruhi oleh teknologi militer.
Terakhir, ada peserta yang bertanya tentang dampak RMA terhadap evolusi TNI dan industri pertahanan nasional. Curie menjawab bahwa hal ini dapat dilihat dari akuisisi teknologi militer baru. Sejak Orde Baru, pemerintah sudah mempertimbangkan memasukkan industri pertahanan nasional ke dalam sistem pengadaan, namun hal ini belum maksimal karena masih ada perbedaan paham antara para stakeholder industri pertahanan.
Sesi diskusi dan tanya jawab ditutup dengan pernyataan dari Mayjen TNI Dr. Rodon Pedrason bahwa evolusi TNI berpengaruh besar terhadap sistem, personalia, hubungan internasional, dan juga pengambilan kebijakan. Oleh karena itu, Kemhan dan TNI harus mampu menyerap dan adaptif terhadap perkembangan perubahan lingkungan strategis.