Imbas serbuan Gedung Capitol oleh pendukung Trump: ‘Sejarah buruk’ dan AS tak lagi menjadi rujukan negara demokrasi

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta Mursitama, diwawancarai oleh BBC Indonesia untuk mengomentari penyerbuan Capitol Hill atau Gedung Kongres AS. Berikut liputannya.

BBC Indonesia – Insiden penyerbuan Gedung Capitol di Washington DC oleh segerombolan pendukung Donald Trump mencoreng citra Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi di dunia, menurut pakar politik internasional.

Imbasnya, Amerika takkan lagi menjadi rujukan nilai-nilai demokrasi oleh negara lain.

Sementara, seorang anggota Komisi I DPR juga menilai peristiwa tersebut harus dijadikan pelajaran bagi semua negara terutama Indonesia agar menghentikan naras-narasi yang memecah belah. Beberapa warga Amerika mengatakan kejadian itu di luar perkiraan mereka. Mereka pun menyesalkan lambannya respon aparat keamanan yang semestinya sudah bisa mengantisipasi demonstrasi di depan Gedung Capitol bakal berakhir ricuh.

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Bina Nusantara, Tirta Mursitama, menggambarkan penyerbuan Capitol Hill atau Gedung Kongres AS sebagai tindakan yang memalukan dan kemunduran bagi demokrasi Amerika.

Tirta mengatakan sepanjang sejarah modern Amerika, tidak pernah terjadi kericuhan hanya karena seorang kandidat presiden kalah dalam pemilu yang kemudian menggunakan kekuatan pendukungnya untuk mempertahankan kekuasaan.

Ia menilai, harga yang harus dibayar Amerika karena peristiwa ini adalah AS tidak akan lagi dipandang sebagai rujukan dalam menerapkan nilai-nilai demokrasi.

Kalau dulu orang-orang katakan ‘mari belajar demokrasi ke Amerika Serikat dan Amerika adalah kampiun demokrasi’, sekarang orang tidak akan merujuk ke sana dalam jangka pendek,” ujar Tirta Mursitama kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (07/01).

Ini menjadi sejarah buruk bagi AS,” sambungnya.

Pasca kerusuhan ini, menurutnya, presiden terpilih Joe Biden menanggung tugas berat untuk memulihkan citra Amerika di mata dunia serta menyatukan rakyat Amerika yang terbelah. Ini karena polarisasi yang ditimbulkan dari pemilu presiden November lalu, masih akan terasa dalam beberapa waktu ke depan.

Di sinilah Biden, kata Tirta, pertama-tama harus merangkul sebanyak mungkin orang-orang yang berbeda pandangan dengannya.

Dengan cara persuasi seperti itu, setidaknya bisa mengambil kepercayaan dan menyatukan rakyat Amerika yang selama empat tahun terakhir ‘dirusak’ oleh Presiden Trump.

Dia harus bisa meyakinkan masyarakat Amerika sebab sekian tahun kehidupan demokrasi mereka dirusak oleh praktik-praktik yang tidak sehat.”

Tapi si sisi lain, politisi Partai Republik diharapkan bisa mengajak konstituennya untuk menerima hasil pemilu dan mengentikan aksi-aksi penolakan. Sementara Trump, katanya, seperti menggali kuburnya sendiri dengan sikapnya yang menyokong aksi penyerbuan Gedung Capitol.

“Karena saya tidak yakin ada perubahan yang bisa membalikkan keadaan. Toh pada akhirnya dia akan turun.”

‘Menjadi pembelajaran bagi Indonesia’

Banyak negara, termasuk Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, China dan Iran mengecam penyerbuan itu. Hingga saat ini pemerintah Indonesia belum merespon peristiwa penyerbuan yang berujung kericuhan di Gedung Capitoll, Washington DC. Tapi anggota Komisi 1 DPR dari PDI Perjuangan, Charles Honoris, menyayangkan insiden itu.

“Saya terkejut, karena AS selama ini menjadi acuan negara demokrasi yang sudah matang, tapi menyikapi pemilu ini ternyata ada pihak-pihak yang tidak bisa menerima proses demokrasi,” imbuh Charles Honoris kepada BBC News Indonesia.

Charles juga berkata, kejadian Capitol Hill harus menjadi pembelajaran bagi semua negara yang menganut sistem demokrasi, terutama Indonesia. Pelajaran yang dimaksud Charles adalah retorika yang memecah belah dan ujaran kebencian ketika menggelar pemilu. Ia menyebut yang dirugikan adalah rakyat.

“Di Indonesia proses kampanye pemilu memakai berbagai retorika memecah belah karena sempat muncul istilah cebong-kampret.”

“Jadi ke depan agar tidak terulang lagi, jangan gunakan ujaran kebencian, hoaks, atau narasi yang memecah belah dalam berdemokrasi.”

Namun demikian, ia meyakini di bawah kepemimpinan Joe Biden, citra Amerika akan berubah.

“Coba kalau yang masuk bukan orang kulit putih…”

Sinta Penyami Storms, yang tinggal di negara bagian Pennsylvania tak menyangka aksi demonstrasi di depan Gedung Parlemen Amerika Serikat bakal berakhir ricuh. Sebagai warga Amerika, ia menyebut tindakan pendukung Donald Trump sebagai kegilaan yang tidak masuk akal dan hanya menciptakan perpecahan.

“Kita tidak kaget karena tahu bakal ada protes, tapi kita enggak tahu mereka akan menyerbut Capitol Hill saat senator lagi rapat. Sama sekali enggak nyangka bakal begini,” ujar Sinta kepada BBC News Indonesia, Kamis (07/01).

“Malu melihat ini, katanya negara demokrasi jadinya begitu enggak bisa menerima hasil pemilu.”

“Apalagi dengan membawa bendera konfederasi dan menyerbu Capitol Hill, ini tidak pernah terjadi sebelumnya di Amerika sejak civil war (perang saudara).”

Bendera konfederasi Amerika dianggap sebagai bendera yang melambangkan rasisme di AS. Ini terkait sejarah panjang perbudakan dan Perang Saudara pada 1861-1865.

Yang ia sesalkan, aparat keamanan tidak sigap merespon aksi protes pendukung Donald Trump sehingga akhirnya merangsek masuk ke dalam gedung. Padahal, jauh sebelumnya informasi mengenai demontrasi itu sudah tersebar di masyarakat.

Selain itu, Sinta juga menyorot perlakuan berbeda dari aparat keamanan dalam menyikap pendemo yang mayoritas orang kulit putih.

“Coba kalau yang masuk bukan orang-orang kulit putih, pasti akan ditembakin itu. Tapi kejadian ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih mengistimewakan kulit putih.”

“Sementara saat protes black lives matter, beda sekali perlakuannya untuk yang protes.”

Sementara Rita yang menetap di negara bagian Denver, menyebut aksi itu sebagai tindakan memalukan dan tidak semestinya menimpa negara yang menjunjung tinggi Demokrasi.

“Dengan Donald Trump menjadi presiden, kita sudah tahu bahwa ini akan terjadi.”

Agar penolakan tak berlanjut, Rita berharap presiden terpilih Joe Biden segera mewujudkan janji-janjinya untuk mengatasi kepincangan ekonomi dan membuka seluasnya lapangan kerja.

“Trump itu terpilih kan faktornya karena warga Amerika sudah jenuh dengan politisi yang hanya janji-janji. Nah, Biden harus mewujudkan janji-janjinya.”

Sejauh ini, kata Rita, aksi demonstrasi pendukung Trump masih terjadi di beberapa negara bagian tapi tidak besar seperti di Colorado. Ia juga menilai, sebagian besar warga Amerika sudah menerima hasil pemilu.

“Yang enggak terima ini kan orang-orang ekstrem yang mendukung white supremacy. Kalau orang biasa sudah terima.”

____________________________

Artikel ini diterbitkan pada: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55575948