PRESS RELEASE WEBINAR HIMHI 1.0 ‘INDONESIA DALAM PUSARAN ISU PALESTINA-ISRAEL: PRAGMATIS ATAU LIBERALIS
JAKARTA – Webinar HIMHI 1.0 ‘Indonesia dalam Pusaran Isu Palestina-Israel: Pragmatis atau Liberalis’ merupakan seri webinar pertama yang diadakan Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HIMHI) Universitas Bina Nusantara tahun 2021 yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting. Webinar yang berlangsung di tanggal 14 Agustus 2021 ini mengangkat tema mengenai isu yang sedang terjadi di Palestina dan Israel dengan narasumber yang ahli dalam bidang yang bersangkutan yaitu Bapak Gilang Al Ghifari Lukman selaku Co-Founder Haifa Institute, Bapak Bintang Hidayanto selaku Deputi Staf Khusus Presiden Bidang Ahli Strategi, serta Ibu Tia Mariatul Kibtiah selaku dosen Hubungan Internasional Binus University dan pengamat timur tengah (akademisi), acara dibawakan oleh moderator ibu Ella Prihatini yang merupakan dosen Hubungan Internasional Binus University. Webinar ini bertujuan untuk memberikan insight mengenai isu yang menjadi perhatian masyarakat dunia saat ini melalui kacamata ahli.
Dengan diadakannya Webinar HIMHI 1.0 ‘Indonesia dalam Pusaran Isu Palestina-Israel: Pragmatis atau Liberalis’ ini diharap dapat menjawab pertanyaan masyarakat yang telah berpartisipasi.
Pembicara 1: Gilang Al Ghifari Lukman, BA, M.Phil
Isu Palestina-Israel dari Sudut Pandang Modern Middle East Studies.
Modern Middle East Studies umumnya menggunakan komparasi dalam melihat suatu kasus atas isu. Namun, Mas Gilang menyampaikan bahwa isu Palestina-Israel dalam sudut pandang Modern Middle East Studies, yang secara umum adalah isu yang sulit dikomparasikan dengan isu-isu lain di Timur Tengah atau sui generis. Terdapat tiga hal yang membuat isu Palestina-Israel unik, yaitu: sistem mandat yang tidak selesai, Israeli exceptionalism, dan proyek settler-colonial yang belum selesai.
Sebelum membahas mengenai sistem mandat yang belum selesai ini, Mas Gilang membahas terlebih dahulu mengapa isu ini mendapatkan atensi dan perlakuan khusus dari komunitas internasional. Mas Gilang menggunakan dua pertanyaan dan menganalogikannya dalam dua kasus kecelelakaan mobil. Pertanyaan pertama adalah apakah kita pelaku dalam isu tersebut dan pertanyaan kedua sejauh mana urgensi isu tersebut. Pertanyaan tersebut kemudian dianalogikan dalam kasus kecelakaan, pertama yaitu kasus kecelakan yang mana diri kita di dalamnya dan kedua yaitu, kecelakaan di mana diri kita hanya menjadi saksi mata. Dalam menyelesaikan kasus kecelakaan tersebut yang paling logis kita selesaikan terlebih dahulu tentu kasus kecelakaan yang melibatkan diri kita, terlepas dari seberapa parah kecelakaan yang dialami jika kita hanya sebagai saksi mata. Berdasarkan analogi tersebut maka di dalam komunitas internasional pun perhatian tidak melulu diberikan kepada isu yang parah atau seberapa banyak korban atau seberapa serius, tapi seterlibat apa kita dalam hal tersebut. Sistem mandate yang belum selesai di Palestina berakar dari pembagian wilayah untuk pemenang perang pasca Perang Dunia Pertama. Sebagai pemenang perang, Inggris pada saat itu dimandatkan untuk mengontrol wilayah Palestina dari Kesultanan Ottoman oleh Liga Bangsa-Bangsa (yang saat ini disebut PBB). Mandat yang didapatkan Inggris tersebut berbeda dengan kolonialisme atau penjajahan, sebab mandat tersebut memiliki batas waktu, Inggris harus menjamin stabilitas dan transisi terhadap kemerdekaan dan Palestina sendiri bukan subjek kolonial.
Namun kemerdekaan yang seharusnya diterima oleh Palestina tidak dapat terwujud karena Inggris memiliki janji lain yang harus ditepati. Janji tersebut ditujukan kepada Yahudi di Eropa untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Janji tersebut nantinya akan dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Akibatnya, secara gradual, banyak orang-orang Yahudi yang datang ke Palestina dan nantinya menimbulkan konflik di Palestina. Puncaknya adalah Pemberontakan Arab tahun 1936-1939 yang diakibatkan oleh kebijakan Inggris yang lebih mendukung kepentingan pendatang Yahudi ketimbang kepentingan lokal orang Arab.
Menanggapi hal tersebut Inggris mengeluarkan kebijakan baru, yang dikenal sebagai White Paper, di mana Inggris dalam waktu 10 tahun akan memberikan kemerdekaan di wilayah Palestina untuk orang Arab dan Yahudi. Kebijakan tersebut kemudian menuai penolakan dari kalangan Yahudi sebab kebijakan tersebut bertolak belakang dengan janji Inggris dan akan membuat Yahudi menjadi minoritas di Palestina. Sebagai bentuk protes beberapa kelompok Yahudi melakukan serangan terorisme di Palestina seperti dalam pemboman Hotel Semiramis dan Hotel King David.
Akibat peliknya permasalahan yang dihadapi wilayah Palestina, Inggris akhirnya mengembalikan mandat yang diembannya kepada PBB. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, PBB kemudian mengeluarkan sebuah formula yaitu Partition Plan 1947. Di mana dalam formula tersebut, wilayah mandat Inggris ini akan dibagi menjadi tiga, yaitu negara Palestina, Israel, dan Yerusalem yang memiliki rezim terpisah (corpus separatum). Akan tetapi formula tersebut tidak diterima dan kemudian terjadi Perang pada tahun 1948 antara Arab dan Israel. Dalam perang tersebut pasukan Arab kalah dan Israel menguasai banyak wilayah di Palestina sehingga ratusan ribu orang Palestina menjadi pengungsi. Peristiwa tersebut dikenal sebagai peristiwa Al-Nakba.
Oleh karenanya, PBB sebagai representasi komunitas Internasional masih memiliki hutang tanggung jawab dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal tersebut juga menjelaskan mengapa isu Palestina-Israel memiliki tempat dan perhatian tersendiri di mata komunitas internasional walaupun di luar sana masih banyak isu yang urgensinya lebih penting dibandingkan Isu Palestina-Israel.
Settler colonialism ini berbeda dengan kolonialisme klasik yang dialami Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan. Menurut Mas Gilang, settler colonialism memiliki tujuan untuk menggantikan populasi lokal dengan penduduk baru dan kemudian mendirikan sebuah negara baru di atasnya. Hal tersebut berbeda dengan kolonialisme klasik yang tujuan utamanya adalah men-subjugasi populasi lokal dan menggunakannya untuk kepentingan negara penjajah. Bagi Israel, proyek settler colonialism ini belumlah selesai sebab masih banyaknya penduduk Arab lokal yang berada di wilayah Israel dan Palestina secara keseluruhan. Sehingga muncul pendapat dikalangan Yahudi Israel, bahwa mereka seharusnya membersihkan seluruh populasi Arab pada tahun 1948 sebab pada 100-200 tahun kemudian orang-orang tidak akan mengingat atas apa yang telah dilakukan. Hal tersebut dapat terlihat di Amerika Serikat (AS), Australia, dan Kanada di mana proyek settler colonialism mereka telah selesai karena penduduk asli wilayah tersebut sudah sangat sedikit atau bahkan musnah.
Israel Exceptionalism berasal dari rasa penderitaan orang Yahudi selama holocaust pada masa Perang Dunia Kedua dan karenanya mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus. Holocaust juga menjadi pembenaran orang Yahudi untuk tinggal di wilayah Palestina karena mereka membutuhkan hal tersebut untuk keamanan mereka. Seperti dalam analogi Pharmacy Break-in yang sering digunakan oleh Yahudi dimana korban kecelakaan yang mencuri obat-obatan dari sebuah apotek akan dimaafkan karena faktor kebutuhan yang mendesak dan pemilik apotek akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. Tetapi analogi tersebut tidak sepenuhnya tepat digunakan dalam isu Palestina-Israel sebab, pemilik apotek dalam hal ini orang Arab tidak mendapatkan ganti rugi apapun karena tidak ada pemerintahan dunia.
Konsekuensi dari sifat keunikan’ yang diklaim oleh Israel ini membuat banyak formula perdamaian menjadi gagal. Salah satunya adalah Arab peace Initiative 2002. Negara-negara Arab menawarkan perdamaian dengan Israel jika Israel meninggalkan Tepi Barat dan Gaza, menghormati hak pengungsi Palestina dan menghormati hukum internasional. Two-State Solution yang menawarkan pemisahan negara Israel dan Palestina juga ditolak oleh Israel sebab tidak dapat memuaskan isu keamanan mereka. Sehingga sifat eksepsional Israel, rasa akan takut menderita dan menjadi korban dan sebagainya dianggap terlalu berlebihan.
Peran Indonesia: Liberal atau Pragmatis?
Menurut Mas Gilang, pendekatan liberal diartikan sebagai peranan yang didasarkan atas asas optimistis, dan kooperasi dengan komunitas internasional. Oleh karenanya implikasi bagi Indonesia adalah akan patuh terhadap rezim dari PBB, saling keterkaitan antara tanggung jawab dan masalah global, dan optimis bahwa perdamaian akan selalu dicapai. Secara pragmatis, Mas Gilang menekankan pada memaksimalkan kepentingan nasional dengan mempertimbangkan struktur internasional, pertimbangan domestik dan hubungan antara keduanya.
Pembicara 2: Mba Tia Mariatul Kibtiah, S.Ag., M.Si
Sejarah dan Perkembangan Terkini
Mba Tia mencoba mengulik permasalahan antara Palestina-Israel dari perspektif Indonesia. Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel terus mendapat pertimbangan. Normalisasi hubungan dengan Israel akan terus di tahap yang sama karena publik atau masyarakat tidak bisa menerima langkah ini. Stereotip seperti Kafir bagi para pengamat menandakan bahwa masyarakat Indonesia belum bisa melihat dengan jelas masalah yang terjadi antara Palestina dan Israel. Dilihat dari sejarahnya, Indonesia sebenarnya tidak memiliki masalah dengan Israel. Di tahun 1948, peperangan antara Israel dengan negara-negara arab yang melibatkan Palestina, Yunani, Iraq, Saudi Arabia, Yordania, dan Suriah terjadi. Konflik terus berlanjut ke perang Six-Days War. Israel bertujuan untuk menguasai Sinai dan Golan. Namun, Sinai kembali direbut oleh Mesir sedangkan Golan sebagian menjadi milik Israel dan sebagian milik Suriah. Tahap selanjutnya adalah perang Yom-Kippur. Di ketiga perang ini, Israel tetap mempertahankan posisi sebagai pemenang atas negara-negara Arab. Dibukanya hubungan diplomatic antara Mesir dan Israel tidak menjadi suatu masalah bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia melihat Mesir sebagai negara di Timur Tengah dan dikenal sebagai negara yang menyediakan beasiswa di bidang pendidikan bagi masyarakat Indonesia, hal ini membuat masyarakat Indonesia kurang melihat Mesir sebagai kiblat Holyland layaknya orang Indonesia melihat Saudi Arabia. Isu terbaru datang dari negara teluk, yakni Uni Emirat Arab dan Bahrain yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Seperti yang diketahui bahwa dua negara ini merupakan aliansi terkuat Saudi Arabia. Alasan Uni Emirat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel adalah untuk mempertahankan West Bank. Melalui kerja sama ini, Uni Emirat Arab dapat berkomunikasi dan bernegosiasi dengan Israel untuk mencapai Free-Palestine begitupun dengan Bahrain. Masyarakat Indonesia melihat Saudi Arabia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Kuwait adalah negara Islam. Padahal jika ditilik lebih lanjut negara-negara ini menganut sistem kerajaan dan tidak sangkut paut dengan dengan hal tersebut. Masyarakat Indonesia merasa memiliki ikatan dengan negara-negara Arab karena frame “muslim”. Saudi di bawah pemerintahan Muhammad Bin Salman mengalami pergeseran baik di lingkup domestik maupun dalam kebijakan luar negeri. Tentu ini menjadi hal baru karena selama ini Saudi Arabia menolak Israel. Dalam beberapa kesempatan, Raja Salman mengikuti pertemuan AIPAC. Tingkat ekonomi yang menurun dan kesadaran tidak dapat terus bergantung dengan minyak menjadi alasan untuk Saudi terlibat dengan AIPAC, yang di dalamnya terdapat pengusaha-pengusaha Yahudi yang berhasil dan punya pengaruh besar.
Keterlibatan dan Keputusan Indonesia
Indonesia sampai sekarang terus menolak hubungan diplomatik dengan Israel, hal ini nyata dalam fokus pertama Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada tahun 2019 dan 2020, yakni Free Palestine. Walaupun tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, data menunjukkan bahwa angka trade sector dan tourism sector antara Indonesia dan Israel dari tahun 2015-2020 terus meningkat. Ini menggambarkan bahwa meskipun tidak ada hubungan diplomatik, kerja sama antara Indonesia dan Israel terus berjalan. Hubungan antara AS dan Israel tidak dapat dipisahkan, banyak pemilik perusahaan besar di AS dikuasai oleh orang Yahudi. Hal ini membuat AS terus mendukung Israel. Hubungan antara Indonesia dengan AS sendiri telah berlangsung lama dan tidak dapat dipungkiri bahwa AS telah berkontribusi dalam kemajuan Indonesia, misalnya Freeport dan perusahaan-perusahaan lainnya, yang kemungkinan salah satu pemimpinnya adalah orang Yahudi. Indonesia pada masa kepemimpinan Gus Dur mencoba untuk melakukan pendekatan dengan Israel dalam Shimon Peres Foundation, namun hal ini menjadi nilai buruk bagi karir politik Gus Dur. Poin yang menjadi desakan Indonesia adalah Palestina harus merdeka sebagai suatu negara atau kedua negara, Israel dan Palestina berdamai melalui sistem two state solution. Sebagai kesimpulan, Mba Tia menegaskan bahwa teori yang lebih cocok untuk melihat masalah ini dari sudut pandang Indonesia adalah Liberalisme. Baginya, Realisme tidak punya kaitan di sini, karena Indonesia tidak memiliki problem history dengan Israel ataupun Palestina. Masalah ini juga tidak akan selesai jika memakai perspektif agama, namun masalah ini akan lebih baik diselesaikan jika dilihat melalui perspektif Hubungan Internasional.
Pembicara 3: Bapak Bintang Hidayanto, S.H
Berdasarkan materi yang diberikan Bapak Bintang, isu antara Israel dan Palestina sangatlah kompleks, dan memiliki berbagai isu-isu lain di dalamnya. Isu-isu ini mengikat bahkan negara-negara di luar Gulf States, dan isu tersebut bahkan tidak memiliki masalah yang langsung berkaitan dengan negara-negara di Gulf States. Isu yang terjadi dalam regional, yang relevan dengan Israel dan Palestina, menimbulkan beberapa perspektif. Contohnya seperti isu Hamas yang sedang berlawanan dengan Fatah, yang menyebabkan isu atas politik dari Israel dan juga Palestina semakin memanjang dan memanas. Hal ini jelas terlihat dari perlawanan Hamas dengan Fatah yang seiring berjalannya waktu semakin tegang, mengingat mereka sendiri merupakan pimpinan Palestina pada masanya masing – masing kubu. Hamas sendiri merupakan sebuah partai politik yang berideologi Islam, dengan donor terbesar dari Qatar dan Fatah yang memiliki donor terbesar dari Israel, yang mana mereka sendiri juga didukung dan dibelakangi. Menurut pendapat beberapa wilayah Asia, Hamas dianggap sebagai organisasi teroris, padahal faktanya ke-dua kubu bisa dikatakan melakukan terorisme. Karena afiliasi, persepsi berubah. Dari sisi Palestina, ada juga faktor perebutan kekuasaan dan dalam rangka menghadapi Israel, ada rencana untuk Hamas dan Fatah bersatu, tetapi gagal dan menimbulkan isu reinforce, bahwa Fatah itu corrupt dan complicit atau terlibat membantu Israel. Tetapi Hamas juga corrupt dan militeristik. Selain itu, mereka juga memiliki karakteristik sendiri. Fatah sudah kehilangan kekuatan atau dukungan internal karena tidak melakukan kontribusi sedangkan Hamas mendapat banyak dukungan. Selain itu, Hamas juga berlawanan dengan Israel, dan dukungan dari Iran dari teknologinya (bombardment). Filosofi atas penyerangan Hamas bertujuan untuk memancing reaksi dari lawannya dan membuat siapa pun menebak ke mana rudal roket itu, dengan dinamika geopolitik yang berbeda. Jelas juga terlihat dalam perlawanan atas Saudi dengan Iran dan Yaman, begitu juga perlawanan Iran yang terlibat dengan Hamas dengan Israel yang disokong ke Fatah. Terkadang Israel juga memiliki perdebatan dengan Fatah sendiri, begitu pula dengan Qatar dan Saudi. Dalam beberapa hal, faktor agama berperan sangat besar. Walaupun banyak juga tujuan politik yang membentuk isu ini, bentuk ‘framing’ dari permasalahannya didasarkan pada konsep agama.
Selama konflik internal bisa terselesaikan dengan rekonsiliasi, semuanya bisa mereda. Solusi atau permanent deterrence perlu ditemukan dalam menghadapi aneksasi Israel. Tetapi, Karena kompleksitas dan besarnya isu antara Israel dan Palestina, ini diperkirakan tidak akan bisa selesai dalam waktu yang cepat, dan akan menimbulkan ketegangan yang lebih tinggi bahkan untuk negara lain. Sampai saat ini, Indonesia sendiri bersifat netral. Menurut isi dari konstitusi, Indonesia menganut prinsip di mana Indonesia melawan segala bentuk penjajahan. Berdasarkan itu, Indonesia bersikap tidak setuju dengan isu Israel-Palestina. Salah satu bentuk dukungan yang Indonesia tunjukkan adalah berbagai fasilitas yang diberikan kepada Palestina misalnya tanggungan biaya dari Kedubes Palestina, dan pemberian bantuan dana sebesar 2,3 juta dollar Amerika. Sikap Indonesia terhadap isu ini bisa terus dipertahankan berdasarkan pertimbangan praktis dan menimbang kekuatan politik Indonesia.