Diplomacy Discourse: Magnifying Indonesia’s Public Diplomacy “Film Diplomacy: Indonesia’s Nation Branding through Film”
Pada hari Selasa, 9 November 2021 pukul 10.00 WIB, telah diselenggarakan sebuah acara webinar yang diadakan oleh FPCI Chapter BINUS University yang berkolaborasi dengan Jurusan Hubungan Internasional BINUS University bertajuk “Diplomacy Discourse: Magnifying Indonesia’s Public Diplomacy”. Webinar ini memiliki tujuan untuk menilik strategi-strategi diplomasi-diplomasi publik Indonesia yang berpeluang sebagai pemenuhan kepentingan nasional melalui topik yang akan dibahas. Di kesempatan hari itu mengangkat tema “Film Diplomacy: Indonesia’s Nation Branding through Film.” yang bisa diakses di YouTube lewat tautan: https://www.youtube.com/channel/UC7Y0bvnJd4thYZio6bq_0GA. Dengan ini, penyelenggara mengundang pembicara yang ahli di bidang Perfilman khususnya Perfilman Indonesia yaitu, Bapak Ekky Imanjaya, Ph.D. selaku Dosen Perfilman BINUS University, Ibu Venytha Yoshiantini selaku Sutradara, Aktris, dan Koreografer, dan terakhir Bapak Alexander Sihar Purnawan selaku Staf Khusus Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek. Acara webinar dimoderasi oleh salah satu Dosen Jurusan Hubungan Internasional BINUS University yaitu Aditya Permana S.Fil., M.Hum. atau akrab disapa Mas Aad dan juga dibawakan oleh dua mahasiswa Hubungan Internasional BINUS University, Juan Bezaliel dan Kayaka Davina.
Webinar ini memiliki agenda bagi pembicara untuk memaparkan presentasi dan tanggapan mereka mengenai tema yang diangkat. Kemudian nantinya akan dibuka sesi diskusi dan tanya-jawab. Kesempatan untuk menjadi pembicara pertama jatuh kepada Ekky Imanjaya. Selain menjadi Dosen Perfilman di BINUS University, Pak Ekky menjadi salah satu orang yang menyukseskan festival-festival film Indonesia antara lain, Madani Film Festival dan Jakarta Film Week. Sebagai informasi tambahan, Madani Film Festival merupakan festival film yang berisi nominasi-nominasi film yang mengandung keislaman. Sedangkan, Jakarta Film Week merupakan festival film yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Provinsi DKI Jakarta dengan tema Going the Distance dan akan dimulai pada tanggal 18-21 November 2021.
Pak Ekky selanjutnya memaparkan sejumlah film yang berhasil menembus nominasi ajang festival internasional. Salah satunya adalah film ‘Yuni’ yang disutradai oleh Kamila Andini yang berhasil memenangkan Platform Prize di ajang Toronto Internasional Film Festival 2021. Selain itu, film “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” memenangkan Locarno Festival dan juga film “Penyalin Cahaya” yang masuk nominasi ajang Busan Film Festival. Hal ini menarik sebab film-film Indonesia kini mulai dilirik oleh kancah perfilman internasional khususnya pada tahun 2021. Namun, Pak Ekky kemudian menyorot 3 artikel terkait soal apakah pencapaian film Indonesia ini lebih rendah dibandingkan Olimpiade 2021. Dapat kita cermati bahwa masyarakat awam tidak lebih memerhatikan pencapaian perfilman Indonesia dibandingkan ketika pencapaian Indonesia di Olimpiade 2021. Beliau juga menambahkan, pada tahun 2007 perfilman Indonesia tidak banyak dipromosikan di majalah Cahiers Cinema, sementara saat itu Indonesia sudah mulai menciptakan banyak film yang apik. Menanggapi hal tersebut, Pak Ekky memberikan pendapatnya, “Sebab kita (perfilman Indonesia pada saat itu) belum memiliki tulisan-tulisan berita mengenai film Indonesia dalam bahasa Inggris.” Di akhir sesi, beliau mempertanyakan apakah aktor Indonesia ataupun seni bela diri tradisional silat sudah mendunia? “Saya pikir (hal) ini hanya sekadar mimpi, selama belum ada sebuah strategi kebudayaan yang holistik dan (unsur yang) melibatkan semua orang.”
Sesi presentasi selanjutnya diisi oleh Venytha Yoshiantini. Venytha Yoshiantini merupakan salah satu founder dari Teater Musikal Nusantara (TEMAN) dan beliau berlaku sebagai Artistic Director. Sebagai awalan, Bu Venytha mengklaim bahwa film-film pendek garapannya merupakan film yang idealis dengan mengangkat budaya Indonesia. Lebih lanjut, Ia menjelaskan bahwa dalam menggarap tema kebudayaan Indonesia untuk dibuat menjadi sebuah film merupakan suatu langkah yang mudah untuk dilakukan, khususnya dalam mengeksplorasi ide bagi sutradara itu sendiri. Film, lazimnya memiliki dua unsur, antara lain; unsur naratif, yakni sebuah pesan yang digunakan untuk mempertajam cerita, dan unsur sinematik, yakni unsur pendukung di dalam film. Sehingga mudah untuk merepresentasikan budaya Indonesia lewat film dengan menggunakan kedua unsur ini.
Kebudayaan Indonesia memiliki keberagaman dalam berbagai aspek, seperti baju tradisional, musik, adat, dan sebagainya. Ibu Venytha telah menyutradarai sejumlah film bertemakan budaya Indonesia dengan terapan yang beragam. Film-film yang disutradarai Ibu Venytha masih berpacu kepada keaslian cerita dengan tetap menggunakan unsur keadatan seperti pakaian adat, kebiasaan, dan moral-moral yang masih bersifat legenda. Namun, terdapat salah satu film pendek yang mengangkat kisah legenda dengan unsur modern berjudul Rara J yang menjadi film pendek milik Bu Venytha yang sangat menarik untuk kita tonton. Di mana di dalam film, Bu Venytha merepresentasikan kehidupan legenda Roro Jonggrang dengan tren sosial media. Tokoh Rara J (Roro Jonggrang) memberikan syarat kepada Bandung (Bandung Bondowoso) untuk melakukan livestream di kanal YouTube yang harus ditonton oleh 1.000 penonton apabila Bandung ingin menjadi pacar Rara. Dari sini dapat kita lihat bahwa untuk menggabungkan sifat tradisional dengan terapan yang modern dapat dengan mudah disampaikan melalui film. Sebagai informasi lebih lanjut, film-film pendek garapan Bu Venytha bisa ditonton melalui tautan ini: https://www.youtube.com/user/IndonesiaKaya/featured.
Bagi Bu Venytha, untuk menciptakan suatu film yang berfokus kepada kisah tradisional, tentunya perlu dilakukan sebuah penelitian dan diskusi bersama budayawan agar mendapatkan suatu kesatuan unsur cerita adat yang bisa dieksplor. Karena pada dasarnya, cerita rakyat Indonesia memiliki banyak sudut di dalam dimensi yang perlu bagi kita untuk lihat, dieksplorasi, dan dipaparkan ke dalam suatu representasi film. Maka dari itu, penting bagi pelaku film untuk mengemas pesan-pesan moral dan nilai identitas bangsa yang terkandung di dalam cerita rakyat untuk bisa mudah dipahami oleh para audiensi. Dengan ini, diharapkan film-film yang disutradarai oleh Bu Venytha mampu tersampaikan kepada audiensi yang kurang memahami kebudayaan daerah lain, “(Sebab) penyatuan (budaya di Indonesia) awalnya datang dari knowledge dan respect.” ucap Bu Venytha sebagai sorotan di akhir sesi.
Pembicara terakhir adalah Alexander Sihar Purnawan. Sebagai perwakilan dari pemerintah, Pak Alex menyampaikan pengalamannya terlebih dahulu ketika beliau mulai berkecimpung di dunia perfilman. Di era tahun 1997-1998, hampir tidak ada festival film besar seperti sekarang. Namun terdapat dua festival film yang diselenggarakan bersamaan pada tahun itu yaitu, Jakarta International Film Festival dan Festival Film Video Independent Indonesia (FFVII). FFVII merupakan hasil inisiasi Pak Ekky dan tim dengan fokus kepada film-film pendek dari segala lapisan kalangan yang bahkan hampir tidak dikenal oleh masyarakat awam di era itu. Atas inisiasi rekan-rekan penyelenggara FFVII, film-film pendek independent kemudian berhasil terkumpul sekitar 68 film pendek dari seluruh masyarakat Indonesia. Peristiwa ini menjadi titik balik bagi pandangan masyarakat kepada film karya anak bangsa.
Dari sini, Pak Alex memaparkan bahwa film bisa menjadi alat diplomasi dan sebagai bahasa universal antar kelompok. Film ataupun festival film bisa menjadi sebuah jembatan agar bisa membangun hubungan dengan pihak lain yang sebelumnya belum pernah kita temui. Setelah itu, sekitar satu hingga dua tahun kemudian, ajang FFVII mampu terdengar oleh radar internasional di mana banyak kurator dan pihak dari berbagai belahan dunia yang tertarik untuk menjalin hubungan dan ingin mencari tahu bagaimanakah film pendek karya anak bangsa. Kejadian ini tentunya cukup mengejutkan, sebab di masa itu, perkembangan laju informasi belum selancar masa kini.
“Kemudian kita sadar bahwa ini (perfilman), (merupakan) teknologi yang bisa mendekatkan kita dengan ekosistem yang lebih besar. Dan ya, (karena ini) diplomasi berlangsung. Ketika perspektif anak-anak muda tentang Indonesia pasca reformasi kemudian bisa diekspos ke dunia, orang di dunia sana jadi tahu bagaimana perspektif anak muda Indonesia. Karena (pada saat itu) kita belum punya cukup kanal untuk bisa menyampaikan.”
Setelah itu, Pak Alex menceritakan pengalaman lainnya yakni pada saat Ia diundang untuk menjadi fellow researcher terkait film di Seoul, Korea Selatan selama satu tahun. Dari pengalamannya tersebut, Pak Alex berkesempatan untuk membahas dan mengembangkan bersama terkait pembentukan diplomasi melalui film di Asia. Ia lalu memberikan pernyataan bahwa Korea Selatan memang sangat beroptimisme dalam menciptakan sebuah pemikiran tentang film sebagai diplomasi.
“Mereka beruntung memiliki Lee Chang Dong sebagai Menteri Kebudayaan. Ia adalah ‘dewa’nya film Korea Selatan yang menurut saya sangat beruntung (bagi) Korea Selatan pernah punya seorang sutradara menjadi Menteri. Itu yang juga mengubah banyak perspektif.” Pak Alex pun menambahkan, “di Perancis juga memiliki logika diplomasi yang besar karena banyak sekali para birokrat di urusan perfilman Perancis yang punya pengetahuan yang cukup tentang ini (kemajuan perfilman). Hal inilah yang bisa mengubah banyak sekali pandangan mengenai birokrasi di dunia perfilman dan kesenian. Dan juga, perfilman bisa menjadi dasar diplomasi kebudayaan di Korea Selatan sampai sekarang hingga masih terus berkembang.”
Pak Alex lalu melanjutkan kisahnya pada saat beliau dan tim mengerjakan suatu proyek presentasi mengenai hasil restorasi lewat jam malam di Cannes tahun 2012. Secara proses, menurut Pak Alex, dapat dikatakan sebuah pengalaman yang mengharukan sebab ketika itu, Pak Alex dan rekan-rekannya sampai harus mengumpulkan biaya untuk bisa melakukan restorasi tersebut. Namun setelah itu, perwakilan dari pihak The Film Foundation menghubungi Pak Alex dan mengatakan bahwa beliau tertarik dengan proyek yang sedang dikerjakan sebab mereka tahu betul karya-karya dari Usman Ismail. Hal ini kemudian terbukti lewat banyaknya penikmat film di Cannes yang tertarik untuk menonton film-film karya Usman Ismail. Di saat presentasi film, salah satu kritikus film besar dari Perancis sampai memberikan pernyataannya kepada Pak Alex bahwa film-film itu bukan hanya sekadar milik Usman Ismail, tetapi sebuah karya yang ditulis oleh seniman besar Indonesia pada zamannya.
Masuk ke pandangan pemerintah mengenai film sebagai alat diplomasi budaya Indonesia, Pak Alex menjelaskan di tahun 2017, Indonesia memiliki undang-undang mengenai pemajuan kebudayaan. UU ini menjadi dasar yang signifikan dalam mengubah perspektif kebudayaan dan bagaimana pemerintah harus bekerja di bidang kebudayaan. Pasal ini telah dirancang selama 35 tahun sehingga dapat dikatakan bahwa tidak mudah untuk melahirkan UU mengenai pemajuan kebudayaan.
Pasal 1 Ayat (3) UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan: “Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.”
Mengapa untuk melahirkan pasal ini dapat menyita banyak waktu? Pak Alex menjelaskan sebab dalam membuat UU yang berkaitan dengan kebudayaan itu, secara filosofis, merupakan hal retorik yang seharusnya tidak diperlukan. Karena pada basisnya, kebudayaan merupakan unsur natural yang bersifat dinamik. Sehingga pada tahun 2015-2016, pemerintah mengubah pandangannya dengan tidak lagi merancang isi UU mengenai peraturan hukum kebudayaan Indonesia, tetapi berubah menjadi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendukung masyarakat untuk berkebudayaan. Pemerintah sebagai subjek tidak berhak mengklaim bahwa merekalah yang menguasai kebudayaan, tetapi seharusnya pemerintah memberikan kuasanya bagi masyarakat untuk memberikan fasilitas yang memadai dalam berbudaya.
Terdapat lima poin strategi diplomasi budaya Indonesia di luar negeri. Strategi-strategi tersebut adalah memperkuat citra Indonesia (Nation Branding), meletakkan Indonesia di Peta Dunia (Positioning), menjalankan kecerdasan kebudayaan untuk mendukung kepentingan Indonesia, menjalin jejaring budaya Indonesia (Networking), dan terakhir membangun kesinambungan budaya Indonesia (Sustainability).
Sejumlah peraturan dibuat terkait dengan kebudayaan dan perfilman, antara lain:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2019 tentang Perfilman;
- Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2019 Tentang Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan;
- Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 48 Tahun 2018 tentang Penggunaan Lokasi Pembuatan Film di Indonesia oleh pihak asing;
- Visi Misi atau Janji Presiden pada butir 5.4:
- Meneruskan pemajuan musik Indonesia melalui perlindungan hak cipta, sistem pendataan terpadu, peningkatan apresiasi dan literasi musik dalam pendidikan, meningkatkan kesejahteraan musisi, maupun penyiapan infrastruktur pendukung.
- Fasilitasi pemajuan film Indonesia dari sisi pembiayaan, infrastruktur pendukung, perlindungan hak-hak pekerja, maupun peningkatan apresiasi masyarakat pada film Indonesia.
- Berdasarkan Janji Presiden inilah dibentuk direktorat khusus perfilman, musik, dan media. Direktorat ini memiliki program kerja untuk memajukan Indonesia melalui bidang-bidang yang menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia.
Pak Alex setelah itu memaparkan keberhasilan perfilman Indonesia mengenai sejumlah aktor Indonesia dan lokasi di Indonesia yang menembus dunia perfilman Hollywood. Sebut saja seperti Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan yang bermain di film “Star Wars Episode VII: The Force Awakens” serta juga Joe Taslim yang bermain di film “Fast and Furious 7” dan “Star Trek Beyond”. Dan juga, lokasi-lokasi di Indonesia yang menjadi tempat syuting film produksi luar negeri seperti “Eat, Pray, Love” di Bali dan dibintangi oleh aktris kawakan, Julia Roberts, film “Savage” di Sumba Barat, dan “Dead Mine” di Batam.
Di akhir sesi Pak Alex menjelaskan adanya program sebagai upaya mendukung diplomasi perfilman Indonesia yang dinamakan “Indonesiana Film 2020”. Program yang diadakan selama satu tahun ini merupakan sebuah kolaborasi bersama antara Kemendikbud dengan UC Berkeley dalam menggerakkan proyek-proyek yang sangat selektif untuk bisa diproduksikan. Fokus program ini adalah menciptakan film berunsur lokal yang tidak hanya mengangkat cerita tradisional, tetapi juga berbasis kepada keadaan lokal Indonesia saat ini. Di tahun 2020, sudah ada 5 skenario yang dibuat, dan rencananya pada tahun 2021 diharapkan mampu mengejar 10 skenario yang akan bekerja sama dengan Pemda serta para investor. Lebih lanjut Indonesia juga mendukung perfilman Indonesia melalui KBRI lewat ajang-ajang internasional. Program kerja sama juga datang dari KBRI dengan memiliki ATDIKBUD (Atase Pendidikan Kebudayaan) yang bertugas untuk mengidentifikasi acara-acara penting di negaranya agar Indonesia bisa berkontribusi dalam acara tersebut. Dan yang terakhir, pemerintah memiliki program yang dinamakan “media baru” yang menjadi sarana mempromosikan distribusi kebudayaan dengan menggunakan teknologi sosial media saat ini seperti Spotify (distribusi musik), Netflix (distribusi film), dan Youtube (distribusi konten kreatif). Dengan ini presentasi oleh Pak Alex berakhir dan berlanjut ke sesi diskusi dan tanya-jawab.
Di sesi diskusi dan tanya-jawab, Mas Aad sebagai moderator menyatukan seluruh pemaparan dari para pembicara mengenai Nation Branding Indonesia lewat film ke dalam dua poin sebagai pemantik diskusi bersama, yakni:
- Bagaimana kita menggunakan film sebagai alat diplomasi dalam memenuhi kepentingan nasional kita dan sebagai jembatan hubungan dengan negara lain, dan;
- Bagaimana upaya mendiplomasikan film yang dimiliki oleh Indonesia itu sendiri.
Kemudian moderator mengantarkan pertanyaan-pertanyaan dari para audiensi menjadi satu pertanyaan terkait topik-topik film yang diangkat oleh para pelaku film yang biasanya dapat dikatakan unik dan berdasarkan ini, bagaimana pandangan masyarakat dunia luar mengenai topik-topik tersebut untuk bisa menjadi sebuah identitas dari Indonesia.
Pak Ekky memberikan opininya, “Kita hanya bisa merancang bagaimana cerita yang ingin kita salurkan ke dalam film, tetapi kita tidak bisa memprediksi apa sebenarnya yang menjadi minat masyarakat luas. Ada istilah yang dinamakan “Glokal” atau Global Lokal, yang diperlukan dalam mempromosikan kebudayaan Indonesia. Tetapi, kita juga perlu tahu bagaimana bahasa film secara umum untuk bisa mengasimilasikannya bersamaan dengan pengertian Glokal itu sendiri.” Pak Ekky kemudian memaparkan terdapat satu film yang Ia kritik sebab tidak merepresentasikan suatu budaya dengan baik dan malah menimbulkan spekulasi-spekulasi lain mengenai budaya tersebut. Sehingga penting untuk kita bisa menyatukan unsur lokal dengan pengertian umum agar bisa diterima dengan mudah bagi penikmat global.
Selanjutnya dari sisi pelaku film, Bu Venytha membagikan pendapatnya dari segi literal dan dari segi figuratif. Dalam segi literal, Bu Venytha membagikan pendapat dari pemangku film luar negeri bahwa mereka senang sekali melihat kebudayaan Indonesia dari perspektif yang lebih kritis dalam memandang film dibandingkan penikmat lokal. Seperti contohnya, mereka sangat detail dalam memberikan pendapat mengenai pilihan dan tatanan musik yang dipakai di film garapan Bu Venytha. Maka dari itu, acap kali mereka menganggap budaya Indonesia merupakan sesuatu yang eksotik. Namun dari segi sosial, dikarenakan adanya perbedaan antara budaya Indonesia dengan budaya luar negeri dalam menyelesaikan suatu persoalan lokal, sehingga menurut Bu Venytha hal ini merupakan sebuah kesempatan yang bagus untuk merepresentasikan kebudayaan lokal Indonesia lewat film. Selain itu, Bu Venytha juga berasumsi kalau alam juga berpengaruh dalam menarik perhatian penikmat karya Indonesia. Dapat kita lihat bahwa orang-orang lebih tertarik untuk menonton suatu pertunjukkan di Bali ataupun di Thailand. Hal ini disebabkan oleh kondisi alam serta kebudayaan yang kental yang bisa membawa para turis datang ke kota atau negara tersebut. Oleh karena itu, fakta ini merupakan sesuatu yang bagus dengan relevansi yang akurat dalam menarik minat masyarakat masa kini. Sebagai catatan, kita juga harus terus berinovasi dengan penuh tanggung jawab atas ketepatan budaya yang ingin kita sampaikan di kancah dunia. Sebab, menurut Bu Venytha, terkadang ketepatan hanya dinomorduakan demi sesuatu yang artistik atau ‘menjual’. Apabila unsur naratifnya tidak benar, apa gunanya film tersebut.
Selanjutnya, jawaban datang dari Pak Alex. Pak Alex memiliki pandangan mengenai kerangka single identity yang sudah waktunya untuk ditinggalkan. Perbedaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia-lah yang harus kita terima dan rayakan. Negara juga tidak boleh lagi melarang identitas lain untuk dimunculkan. Berdasarkan UU 5 no. 17, definisi tentang kebudayaan pun sudah berubah, di mana kebudayaan nasional merupakan keseluruhan proses dan hasil interaksi antara kebudayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia. Jadi, sebuah propaganda melalui film sudah harus dihapuskan apabila ingin melaksanakan diplomasi film. Pak Alex juga menceritakan pada zaman kemerdekaan Indonesia, terdapat film berjudul “Indonesia Calling” yang menjadi film pertama dalam mempromosikan Indonesia sebagai negara republik yang merdeka. Film tersebut dibuat dan diutus oleh pemerintah Belanda yang pada awalnya bertujuan untuk mendokumentasikan situasi Indonesia yang hancur ketika ditinggalkan Belanda. Namun, seorang yang diutus malah berpikir bahwa Ia seharusnya mendukung dan menyebarkan pesan kepada anak-anak muda di belahan bumi bagian barat pada zaman itu agar bisa mengetahui Indonesia. Dari sini, dapat kita pahami bahwa diplomasi Indonesia dimulai dari perfilman. Selain itu, Pak Ekky menekankan bahwa jika Indonesia ingin membuat film berdasarkan kebudayaan, maka kita harus dengan cerdas menggubah sesuatu yang sudah lazim atau mungkin tabu dalam masyarakat menjadi sesuatu yang menarik untuk ditampilkan. Pak Ekky mengambil contoh seri Squid Game asal Korea Selatan yang pada dasarnya seri tersebut hanya menggunakan unsur permainan anak-anak sebagai inti dari cerita. Lebih lanjut, contoh lainnya adalah film seri Pokemon asal Jepang yang sebenarnya karakter di dalamnya adalah makhluk-makhluk mitologi lokal. Sehingga bagi para pelaku film di Indonesia, logika dan penerapan dari inti yang ingin disampaikan harus diubah agar bisa dikonsumsi oleh banyak kalangan.
Kemudian untuk pertanyaan terakhir, moderator lalu mempersilahkan salah satu mahasiswa BINUS University, Reymond Sunarlie, untuk menyampaikan pertanyaannya. Reymond menujukan pertanyaannya kepada Bu Venytha berkaitan dengan maraknya film Eternal garapan Marvel Universe yang menggunakan aktor berasal dari ragam etnis dan budaya. Indonesia juga memiliki film yang menampilkan budaya wayang Indonesia seperti Gatot Kaca dan Satria. Maka dari itu, Reymond bertanya terkait bagaimana pendapat Bu Venytha tentang kemampuan Indonesia dari segi sinematografi jika dibandingkan dengan film-film jebolan Marvel Universe tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini, Bu Venytha dengan tegas berkata bahwa beliau sangat senang dengan hasil teman-teman sutradara yang memproduksi film-film yang mengangkat cerita legenda pahlawan atau cerita lama. Beliau melihat bahwa film-film universe asal Indonesia tersebut tepat dalam mengikuti tren yang sedang tenar saat ini untuk diterapkan di dalam film meskipun memiliki cerita yang sudah “ketinggalan zaman”. Bu Venytha dengan bangga memberikan “empat jempolnya” untuk film-film universe Indonesia. Pak Ekky kemudian menambahkan bahwa beliau setuju dengan pernyataan Bu Venytha dan menyebut sejumlah film-film universe Indonesia dengan tokoh legenda pahlawan yang sedang naik daun saat ini seperti Gundala, Sri Asih, Virgo and the Sparkling Girls, Wiro Sableng, dan lainnya.
Sampai di penghujung acara, Mas Aad merangkum semua hasil webinar hari ini ke dalam kesimpulan. Dalam konteks diplomasi budaya, branding nasional Indonesia melalui film merupakan strategi yang luas untuk menjadi penyambung di antara masyarakat melalui banyak sekali topik yang bisa diangkat. Sebuah identitas bisa dilihat sebagai persoalan yang sangat luas apabila identitas Indonesia hanya dipandang sebagai satu budaya. Apabila Indonesia ingin melakukan promosi branding nasional dalam konteks pergaulan internasional, maka hal-hal seperti identitas perlu menjadi perhatian. Sebagai tambahan, diperlukannya kontribusi dari banyak pihak baik dari pemerintah, akademisi, para pelaku film, maupun masyarakat untuk bisa menyukseskan diplomasi budaya melalui film.