Apa Signifikansi COP26 di Glasgow Terhadap Komitmen Tindakan Iklim Global? Peneliti Indonesian Youth Diplomacy Berbagi Kepada Mahasiswa HI Binus
Pada Sabtu, 22 Januari 2022, Noto Suoneto, S.Hub.Int., M.A. mengisi kuliah tamu bertema “COP26 Summit in Glasgow: Key Highlights and Debates” di program studi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (HI Binus). Noto adalah anggota staf riset Indonesian Youth Diplomacy (IYD), sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mempromosikan eksposur internasional untuk pemuda Indonesia. Noto juga merupakan alumni HI Binus angkatan 2017 yang telah mendapatkan gelar magister bidang ekonomi politik internasional dari University of Birmingham.
COP26 adalah Conference of the Parties (COP) ke-26 untuk United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB, UNFCCC). Konferensi ini diadakan di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya, pada 31 Oktober–13 November 2021. COP26 menyatukan para pihak untuk mempercepat tindakan menuju tujuan Persetujuan Paris dan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB.
Noto memulai kuliah tamu dengan membahas bahwa COP26 di Glasgow penting untuk memperbarui atau menegaskan kembali komitmen Persetujuan Paris untuk membatasi pemanasan global di bawah 2 derajat dan menetapkan tindakan iklim yang lebih ambisius. Selain itu, pandemi COVID-19 telah mengganggu komitmen global terhadap perubahan iklim, sehingga pemerintah negara-negara perlu mengintegrasikan kembali pemulihan pascapandemi mereka dengan agenda iklim. Terdapat berbagai isu kunci dalam negosiasi COP26 di Glasgow, antara lain pembagian peran yang adil, ambisi iklim, pembiayaan iklim, kerugian dan kerusakan, pasar karbon, serta penggunaan dan produksi batu bara. Negosiasi COP26 diwarnai unsur ekonomi politik antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, yang memiliki emisi karbon dan tanggung jawab terkait iklim yang berbeda.
Noto kemudian membahas kontribusi penting Indonesia di COP26 Glasgow: Indonesia menyuarakan tuntutan untuk dukungan keuangan yang lebih tinggi terutama dari negara-negara maju; berkomitmen pada netralitas karbon dan tujuan deforestasi; berbagi praktik terbaik dalam kebijakan pengurangan deforestasi; mendorong reformasi keuangan yang lebih besar dalam mendukung agenda hijau; menyediakan target iklim yang “jelas” dan “tetap” dengan garis waktu yang terukur. Sektor bisnis Indonesia juga berkontribusi untuk mendukung tujuan iklim pemerintah, melalui inisiatif Indonesia Impact Fund (IIF) yang diluncurkan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan APEC Business Advisory Council (ABAC) Indonesia.
Terakhir, Noto kemudian membahas hasil negosiasi COP26, yaitu Pakta Iklim Glasgow. Pakta tersebut berisi kesepakatan untuk meninjau kembali rencana pengurangan emisi, komitmen untuk membatasi penggunaan batu bara, dan komitmen pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang. Namun, masih terdapat kritik terhadap COP26 yang menganggap konferensi ini adalah kegagalan dan komitmen yang dibuat di Glasgow tidak akan dapat secara efektif mengatasi perubahan iklim.