Latar Belakang Publikasi

Publikasi berjudul “Dunia Diplomasi Masih Berparas Lelaki, Begini Curhat Perempuan Diplomat” menghadirkan analisis kritis mengenai minimnya keterwakilan perempuan dalam diplomasi global. Selain Suci dan Fitri, publikasi ini juga disusun oleh Kanti Pertiwi dan Wendy Andhika Prajuli, dosen sekaligus peneliti dari berbagai universitas.

Dominasi Laki-Laki dalam Diplomasi

Dalam publikasi tersebut, Wendy Andhika Prajuli, S.IP., M.Si., M.S.S, dosen Hubungan Internasional BINUS University, menjelaskan bahwa diplomasi modern memiliki sejarah panjang yang didominasi oleh laki-laki. Ia menegaskan bahwa sebelum abad ke-19, perempuan sebenarnya memiliki peran yang cukup besar, khususnya di Eropa. Namun, setelah diplomasi menjadi semakin terinstitusionalisasi dan birokratis, ruang bagi perempuan semakin menyempit.

Menurut Wendy, munculnya stigma sosial membuat aktivitas perempuan dianggap hanya layak berada di ranah domestik. Akibatnya, diplomasi global berkembang dengan wajah yang sangat maskulin.

Gender dan Keadilan dalam Diplomasi

Wendy menekankan bahwa kesetaraan gender dalam diplomasi bukan berarti mengurangi peran laki-laki. Sebaliknya, kesetaraan gender diperlukan untuk menciptakan dinamika diplomasi yang lebih adil dan produktif.

“Banyak negara dapat mencapai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Dan hal itu tidak merugikan siapa pun,” jelas Wendy.

Upaya Internasional dan Nasional

Menurut Wendy, perubahan mulai terlihat ketika PBB meluncurkan resolusi Women, Peace, and Security (WPS) pada awal 2000-an. Indonesia kemudian mengadopsi resolusi tersebut melalui Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2014 tentang P3AKS. Meskipun demikian, kebijakan tersebut dinilai belum menghasilkan perubahan struktural yang signifikan.

Sebagai perbandingan, Wendy menyoroti pengalaman Swedia yang pada 2014 mengeluarkan feminist foreign policy. Kebijakan tersebut menegaskan bahwa perempuan memiliki hak, kapasitas, dan legitimasi penuh untuk berperan dalam diplomasi.

Rekomendasi Penguatan Diplomasi Berperspektif Gender

Melalui riset diplomasi yang dilakukan tim peneliti, Wendy mengajukan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat infrastruktur diplomasi berbasis gender di Indonesia. Rekomendasi tersebut meliputi:

  • integrasi pelatihan gender di seluruh jenjang diplomasi,

  • pembentukan unit gender permanen,

  • pelaksanaan Participatory Gender Audit, dan

  • penyusunan cetak biru kebijakan diplomasi lima tahun ke depan.

Rekomendasi ini diharapkan dapat mendukung kebijakan luar negeri Indonesia agar lebih inklusif, berbasis bukti, dan bebas dari ketidaksetaraan gender.

Harapan untuk Masa Depan Diplomasi Indonesia

Menurut Wendy, implementasi rekomendasi tersebut sangat penting. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membuka ruang yang lebih besar bagi diplomat perempuan untuk berperan secara strategis, sekaligus mencegah stereotip dan diskriminasi terus berlanjut.

Melalui publikasi ini, Wendy dan rekan peneliti mengajak pembuat kebijakan untuk melihat diplomasi dari perspektif yang lebih setara, berkeadilan, dan responsif terhadap kebutuhan semua gender.

Pandangan Dosen HI BINUS tentang penguatan perspektif gender untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di dunia diplomasi.