Bedah Buku “Resonance”: Kunci Diplomasi Publik di Era Soft Power

Pada hari Jumat, 21 November 2025, Program Studi Hubungan Internasional (HI) BINUS University menyelenggarakan bedah buku yang inspiratif. Acara ini dipandu oleh Mas Wendy Andhika Prajuli dan Mas Rhevy Adriade Putra. Mereka membuka tirai praktik diplomasi kontemporer. Narasumber utamanya adalah Ibu Ani Nigeriawati, Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI. Diskusi ini membahas bukunya, “Resonance”, dengan tema “Diplomasi Now: Menguasai Komunikasi yang Beresonansi dengan Kekuatan Soft Power. Jelasnya, acara ini menawarkan panduan praktis yang sangat esensial bagi calon diplomat dan pemerhati isu global.

 

 

Menghubungkan Teori dengan Pengalaman Lapangan

Ibu Ani Nigeriawati membawa kekayaan pengalaman lebih dari 25 tahun sebagai diplomat karir di Kemlu. Beliau pernah menjabat di posisi penting seperti Kepala Divisi Urusan Rusia dan Direktur Diplomasi Publik. Latar belakang akademisnya kuat, termasuk S2 HI dari Oxford University. Dalam bukunya, ia secara tegas membahas practical diplomacy, yaitu diplomasi yang fokus pada aplikasi lapangan. Beliau menyandingkan teori-teori HI dengan ilmu Komunikasi, didukung oleh anekdot dan pengalaman nyata. Oleh karena itu, teori-teori yang sulit menjadi mudah dicerna, seperti yang diakui oleh Mas Rhevy Adriade. Rhevy menambahkan bahwa seorang diplomat yang sukses adalah story teller yang dibentuk”. Kemampuan meyakinkan orang lain (retorika) menjadi modal utama dalam negosiasi dan diplomasi.

 

Komunikasi: Jantung Diplomasi yang Beresonansi

Esensi paling penting dari diplomasi, menurut Ibu Ani, adalah komunikasi. Dengan demikian, Beliau mendefinisikannya sebagai seni membangun hubungan. Tujuannya tentu untuk mewujudkan kepentingan nasional. Agar komunikasi diplomatik berhasil, ia harus mencapai resonansi. Pesan tersebut harus mampu memenuhi tiga syarat krusial: di dengarkan, di pahami, dan di terima.

Resonansi ini tidak dapat terwujud tanpa fondasi yang kuat. Fondasi itu adalah Kepercayaan (Trust) dan Autentisitas (Authenticity). Autentisitas dianggap sebagai kunci utama diplomat, terutama saat public speaking. Selain itu, prinsip ini erat kaitannya dengan tiga pilar retorika Aristoteles: Ethos (kredibilitas), Logos (logika), dan Pathos (emosi). Namun, teknik yang paling mendasar adalah mendengar yang baik (“You have to be a good listener”). Ini adalah prasyarat dasar sebelum menggunakan teknik persuasi lain seperti Framing dan Storytelling.

Soft Power Indonesia di Panggung Dunia

Dalam konteks diplomasi Indonesia, Soft Power menjadi alat persuasi utama. Fungsinya untuk membangun dan mempromosikan keunggulan bangsa. Indonesia saat ini menduduki peringkat 45 dari 100 negara. Ada tiga unggulan yang diakui secara global: budaya, keramahan, dan ekonomi 

Diplomasi Soft Power Indonesia diimplementasikan melalui empat pilar strategis:

  1. Politik & Nilai Kebangsaan.
  2. Ekonomi & Pariwisata.
  3. Sosial & Budaya.
  4. Pendidikan, Riset, & Inovasi.

Implementasi ini mencakup berbagai bidang. Misalnya, promosi lima makanan khas (Rendang, Sate, Nasi Goreng, Gado-gado, dan Mie) melalui kerja sama lintas kementerian. Selain itu, ada upaya internasionalisasi Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia kini telah menjadi salah satu bahasa yang digunakan di UNESCO. Ibu Ani juga memberikan contoh keberhasilan di Korea. Di sana, isu rasisme telah berkurang drastis. Bahkan, Bahasa Indonesia diajarkan di dua universitas besar dan wajib dikuasai oleh karyawan di beberapa swalayan dan restoran.

Adaptasi di Era Digital

Terakhir, Ibu Ani menanggapi pertanyaan tentang pengaruh bahasa Gen Z/Alfa terhadap komunikasi diplomatik. Beliau menegaskan bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah. Seorang diplomat harus memilih untuk terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, termasuk mengaplikasikan prinsip komunikasi diplomatik melalui media sosial. Terkait peningkatan kinerja atlet melalui diplomasi diaspora, beliau mengakui bahwa diperlukan strategi integrasi yang seragam yang belum sepenuhnya terlaksana. Meskipun demikian, Kemlu terus berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk belajar dari pendekatan Thailand yang lebih “fun” dalam mempromosikan cabang olahraga.

Secara keseluruhan, bedah buku Resonance menegaskan bahwa diplomasi modern adalah tentang membangun koneksi yang otentik dan pesan yang terencana.