Pencitraan dan Kapitalisme Awal (Old Capitalism)
Oleh: Aditya Permana (Dosen Filsafat HI Binus)
Istilah “Kapitalisme Awal” memang tidak menjadi terma generik. Namun istilah ini akan dipakai dalam tulisan ini untuk menegaskan pergeseran (transformation) yang terjadi dalam konteks logika kapitalisme dan pencitraan yang menjadi topik tulisan ini. Pergeseran yang dimaksud di sini adalah pergeseran dari logika produksi ke logika konsumsi. Pergeseran ke logika konsumsi inilah locus tulisan ini, di mana pembahasan tentang pencitraan diletakkan. Namun kita akan bahas itu di belakang. Pada bagian ini kita akan membahas pergeseran ini sekelumit saja.
Sekarang bayangkan suatu masyarakat sederhana yang memproduksi barang-barang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer mereka sendiri. Ini adalah masa ketika komoditi diproduksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat; yakni kebutuhan primer ditambah dengan kebutuhan alat-alat produksi untuk menjamin keberlangsungan ekonomi. Dalam kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif. Kapitalisme awal, dengan demikian, ditandai oleh mode produksi (mode of production) atau logika produksi (logic of production).
Namun ketika struktur masyarakat berevolusi menjadi lebih kompleks, pola masyarakat sederhana di atas tidak dapat dipertahankan lagi. Produksi barang-barang mulai melimpah ruah sehingga pada gilirannya, barang-barang diproduksi bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer, atau dengan kata lain diproduksi demi nilai-gunanya, melainkan diproduksi demi mengejar selisih keuntungan. Keuntungan ini kemudian menjadi “hak” pemilik alat-alat produksi.
Dalam perspektif Marxisme, nilai-guna memiliki dua makna yang berbeda: yang pertama, nilai-guna sebagai nilai yang secara alamiah terdapat dalam setiap objek. Berdasarkan manfaatnya, setiap objek dianggap memiliki manfaat atau kegunaan bagi kepentingan manusia. Sedangkan yang kedua merujuk saat ketika suatu produk diciptakan untuk konsumsi langsung baik oleh produsen itu sendiri atau oleh kelas berkuasa yang mengambil alihnya. Yang dimaksud nilai-tukar dalam pengertian pertama tersebut dapat dicontohkan seorang petani yang memproduksi komoditi pertanian untuk ia konsumsi sendiri, dikonsumsi secara langsung di lahan pertanian di mana produk tersebut dihasilkan. Sedangkan nilai-guna dalam pengertian kedua merupakan nilai baru yang dilekatkan pada sebuah komoditi ketika ia berstatus sebagai barang produksi massal yang dipertukarkan dalam sistem kapitalisme.
Dalam pandangan Marx, konsep nilai-guna dan nilai-tukar tidak dapat dilepaskan dari konsep fetisisme komoditi. Fetisisme komoditi merupakan suatu cara di mana suatu komoditi memperoleh nilainya sebagai benda pakai, dengan cara dipertukarkan dalam sistem kapitalisme, atau yang Marx sebut nilai-tukar, sehingga dengan itu suatu objek atau komoditi mendapat nilai yang berbeda dengan nilai aslinya sebagai benda pakai (nilai-guna).
Dalam sistem kapitalisme, suatu objek mengalami proses komodifikasi sehingga akan memiliki nilai-tukar. Komoditi adalah produk yang diciptakan untuk dipertukarkan di pasar, bertentangan dengan produk yang dibuat untuk konsumsi langsung. Setiap komoditi harus memiliki baik nilai-guna dan nilai- tukar. Sebuah produk massal yang telah diciptakan untuk tujuan dijual tidak dapat lagi dianggap sebagai produksi dari nilai-guna yang sederhana; hal tersebut telah menjadi sebuah produksi komoditi (Mandel 2009). Sebuah komoditi tanpa nilai-guna berarti tidak dapat dijual karena tidak memiliki nilai-tukar. Komoditi tersebut akan menjadi produksi tak berguna. Namun sebaliknya, tidak setiap produk yang memiliki nilai-guna akan secara otomatis memiliki nilai-tukar. Produk itu memiliki nilai-tukar hanya pada tingkatan bahwa masyarakat di mana pertukaran merupakan praktek yang umum. Dalam tipe masyarakat demikian, komoditi dihasilkan berdasarkan pada model pertukaran yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tidak ada gunanya menjual kendi kepada seorang pembuat gerabah.
Nilai fetish suatu komoditi akan muncul hanya ketika ia dipertukarkan dalam sistem kapitalisme. Karakter fetish tersebut didefinisikan Marx sebagai relasi sosial tertentu antara manusia yang tampak bagi mereka, merupakan bentuk fantasi, dari relasi antara benda (komoditi-komoditi) (Marx 1976: 166). Relasi tersebut bersifat metaforis karena terjadi substitusi sesuatu yang abstrak dengan yang konkret. Substitusi itu terjadi dalam dua hal, yaitu ketika komoditi diputuskan dari barisan pekerja yang memproduksinya, dan yang kedua komoditi diputus dari fungsi pakai dan digantikan oleh makna-makna lain yang lebih dari sekedar nilai-gunanya (Piliang 2003: 95-96).