Permasalahan Lingkungan: Antara Hukum dan Politik
Pada tanggal 11 September 2015, Dosen Departemen HI, Paramitaningrum menghadiri kuliah tamu yang diadakan oleh Departemen Hukum Bisnis, Binus University dengan tema, “Seminar on Research of Environmental Law and Business Responsibility, kerjasama antara Departemen Hukum Bisnis, Binus University, Maastricht University, Himpunan Pembina Hukum Lingkungan, Institut of Global Justice dan Epistema Institute. Kuliah ini dilangsungkan di Kampus Binus Mall FX Sudirman, menghadirkan tiga pembicara, yakni: Professor Michael Faure dari Maastricht University, Prof Dr. Ida Nurlinda (Universitas Padjajaran) dan Mumu Muhadjir (Epistema Institutes).
Prof. Faure mengawali paparannya tentang kondisi Indonesia yang memiliki banyak masalah lingkungan hidup yang multi-dimensi, sebenarnya memberi peluang untuk bagi kolaborasi penelitian yang bersifat mutual. Indonesia sendiri masih giat melaksanakan pembangunan, namun langkah ini juga menimbulkan masalah lingkungan hidup. Selanjutnya, Faure menggaris bawahi empat poin penting untuk mengatasi masalah lingkungan hidup di negara yang sedang membangun, yakni: (1) Hukum Lingkungan Hidup yang berlaku harus sesuai kondisi alam dan social-masyarakat setempat; (2) Karena hukum itu penting untuk mengatur dan membuat kehidupan masyarakat yang lebih baik, maka Hukum Lingkungan Hidup yang dibuat harus berkualitas baik, dalam arti dibuat oleh para ahli dibidangnya; (3) untuk menciptakan Hukum Lingkungan Baik yang baik tidak menutup kemungkinan untuk membandingkan dengan peraturan hukum lain (Prinsip Comparative Law), seperti misalnya dengan hukum ekonomi. Sehingga tercipta mutual learning guna memperkaya hukum lingkungan tersebut. Karena warisan masa Colonial, hampir semua hukum di Indonesia berasal dari hukum Belanda dan diterapkan di Indonesia (Prinsip Legal Transplant). Walaupun tidak semua hukum tersebut sesuai dengan kondisi sekarang, namun prinsip Legal Transplant bisa diterapkan dengan mengacu pada kerjasama Selatan-Selatan, karena Indonesia dan negara-negara dikawasan Selatan memiliki kondisi yang relative sama; (4) Prinsip Sustainable Development juga bisa diterapkan, karena prinsip tersebut mengutamakan keseimbangan dan memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi negara setempat.
Diakhir penjelasannya, Prof. Faure menekankan pentingnya sebuah “institusi ” yang baik bagi kegiatan investasi asing. Istilah institusi yang mengacu pada keberadaan hukum yang baik adalah yang mengadopsi budaya dan kearifan local, memberlakukan transparansi dalam proses pembuatan keputusan, mengundang partisipasi Non-State Actor. Institusi ini juga harus mengacu pada kerangka kerjasama Selatan-Selatan.
Sementara Prof. Ida Nurlinda menjelaskan bahwa dalam penelitian dalam bidang hukum terbagi atas dua jenis: normative dan empiris. Penelitian empiris terkait dengan ilmu social. Hukum lingkungan bersifat multi-disiplin sehingga penelitian multi-disiplin penting untuk memperkaya hukum lingkungan. Prof Nurlinda juga mendukung penelitian dalam hukum yang terkait dengan penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam skala yang lebih luas, tidak hanya sekedar mengatur masalah “branding”.
Pembicara ketiga. Mumu Muhajir yang berasal dari Epistema Institute, mempresentasikan tentang Kerjasama Berbasis Bukti di Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Indonesia. Mumu memaparkan temuannya terkait dengan kasus kebakaran hutan di Kalimantan yang sedang terjadi, seperti penerapan langkah membuka hutan dengan membakar berdasarkan perintah (biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar), dan membakar atas kemauan sendiri (biasanya dilakukan oleh petani). Temuan tersebut diperkuat oleh keberadaan data hotspot dan peta konsesi lahan yang menggambarkan bahwa kebakaran lebih banyak terjadi di luar lahan konsesi, yang dimiliki perusahaan. Hal ini didukung juga oleh faktor rendahnya law enforcement. Di akhir presentasinya, Mumu menyatakan bahwa isu kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia memunculkan sejumlah masalah lain, seperti masalah hak ulayat serta kondisi geografis hutan tersebut yang mengalami perubahan sehingga perlu adanya penyesuaian peraturan yang berlaku. Oleh karena itu senada dengan Prof. Faure, Mumu juga mendukung penerapan kearifan local dan pemahaman terhadap kondisi daerah setempat dalam mengatasi isu kebakaran hutan dan isu lingkungan lainnya.