Is the EU – Indonesia Relations Going to be a Strategic Partnership?
Pada tanggal 28-29 Juni 2018 dosen Hubungan Internasional BINUS University, Paramitaningrum, berkesempatan mengikuti konferensi tahunan internasional European Union Studies in Asia Pacific (EUSAAP) yang bertema “The Future of the EU and European Integration in the Aftermath of Crises”, di National Taiwan University, Taipei City.
Acara ini merupakan acara rutin yang diadakan oleh EUSAAP. EUSAAP merupakan organisasi beranggotakan universitas-univesitas yang berada di Kawasan Asia Pasifik, yang memiliki program kajian wilayah Eropa, di tingkat pengajaran dan riset. EUSAAP berada di bawah ECSA Kawasan Asia Timur dan Tenggara sendiri diwakili oleh Jepang. Keanggotaan ECSA di Asia Timur diwakili oleh Jepang, Taiwan, South Korea, Hong Kong and Macao. Sedangkan untuk Kawasan Asia Tenggara diwakili oleh Singapura. Malaysia, Vietnam, Thailand, walaupun belum menjadi anggota, adalah negara-negara yang sudah membuka kajian Kawasan Eropa dalam bentuk pengajaran dan riset yang sudah mapan.
Konferensi ini diikuti oleh 100 orang peserta dari 10 negara di Eropa dan Asia. Mereka adalah akademisi dan mahasiswa lokal Taiwan dan asing yang mempelajari hubungan Uni Eropa – Asia dari disiplin ilmu Hubungan Internasional. Paramitaningrum menyampaikan gagasannya yang berjudul “Is the EU – Indonesia Relations Going to be a Strategic Partnership?”
Hubungan antara Indonesia – Uni Eropa (atau European Union – EU) yang semula berada di bawah kerangka hubungan Masyarakat Eropa – ASEAN (EC – ASEAN Cooperation Agreement 1980). Namun, hubungan antar-kawasan ini tidak selalu harmonis, karena perbedaan tingkat kemajuan pembangunan dan perbedaan prinsip dianta
ra kedua entitas tersebut. Meskipun demikian, perkembangan yang dialami oleh EU dan ASEAN membuat kedua pihak tetap mempererat interaksi antar kawasan, termasuk rencana untuk membentuk FTA (Free Trade Agreement). Mengingat perbedaan yang terlalu mendasar, maka rencana tersebut ditunda, sebagai gantinya, EU kemudian melakukan negosiasi secara bilateral dengan masing-masing 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN, sekaligus meningkatkan hubungan dengan mereka, yang dikuatkan dengan dua mekanisme: FTA dan PCA (Partnership Cooperation Agreement). PCA sendiri merupakan perjanjian payung, yang mengatur kerjasama untuk aspek non-ekonomi, seperti demokratisasi dan promosi nilai-nilai hak asasi manusia.
Indonesia sendiri telah menandatangani PCA pada tahun 2009 dan kini tengah menegosiasikan CEPA (Common Economic Partnership Agreement), yang fungsinya hampir sama dengan FTA, namun memasukkan komponen Capacity building, karena komponen ini juga bisa menyiapkan kapasitas Indonesia menghadapi era pasar bebas. Jika Indonesia atau negara-negara ASEAN lainnya telah memiliki PCA dan FTA dengan Uni Eropa, maka ada peluang untuk menjadi partner strategis (Strategic Partner) bagi EU. Namun mekanisme ini membutuhkan proses lanjutan dari pihak EU dan negara-negara yang bersangkutan, dan menyangkut beberapa preferensi khusus yang ditetapkan oleh EU. Sehingga, dalam hal ini, Indonesia juga belum sampai pada tahapan menuju partner strategis.