Discussion Series on “Roadmap towards Indonesian School of International Relations”
Perkembangan studi hubungan internasional (HI) tidak bisa dilepaskan dari perkembangan internasional. Berangkat dari Aberystwyth University di Wales, studi hubungan internasional berkembang di universitas-universitas di Eropa dan Amerika Utara. Program studi ilmu hubungan internasional di London School of Economics and Politics (LSE) melahirkan apa yang dikenal dengan English School of International Relations, yakni tradisi pemikiran khas Inggris tentang hubungan internasional yang dikembangkan oleh pemikir hubungan internasional seperti C. A. W. Manning, Martin Wight dan Hedley Bull. Ketika English school memandang hubungan internasional melalui lensa klasik, historis, dan filosofis, pemikir HI Amerika memandang HI dari kacamata ilmiah, sosiologis, dan behavioral. Sejak saat itu, diskursus intelektual studi hubungan internasional diwarnai pemikiran-pemikiran dari masing-masing kawasan dengan terbitan ilmiahnya. Di Inggris, terbit International Affairs sedangkan di Amerika terbit Foreign Affairs. Keduanya memiliki fokus pada kejadian-kejadian terkini dan membahasnya secara lebih spesifik permasalahan yang terjadi dari sisi sejarah dan terminologi hukum (Knutsen, 1992). Dominasi pemikiran Barat terhadap perkembangan ilmu hubungan internasional menjadi fokus utama Acharya dan Buzan (2010) yang mempertanyakan mengapa tidak ada teori internasional yang non-Barat.
Pemikiran hubungan internasional yang lahir di negara-negara non-Barat dapat dipandang sebagai suatu solusi alternatif dalam mengkaji fenomena hubungan internasional. Lebih jauh, seperti yang diyakini oleh Robert Cox (1986) bahwa ‘theory is always for someone and for some purpose’, dari perspektif ini, negara Asia memiliki kepentingan untuk menyusun teori atau pendekatan HI yang berbicara untuk mereka dan menyuarakan kepentingan mereka. Dengan posisi Indonesia yang semakin penting dalam pergaulan internasional, terutama di regional Asia Tenggara, hubungan internasional dengan pendekatan yang lebih ke-Indonesia-an atau Indonesian School of International Relations memiliki kesempatan untuk berkembang.
‘School’ diterjemahkan sebagai ‘a body of persons who are united by a general similarity of principles and methods’. Jadi, suatu ‘school’ diharapkan memiliki asumsi filosofis yang sama (common philosophical assumptions), dalam hal ini memiliki kesamaan filosfis dalam hubungan internasional. Sebastian dan Lanti dalam Perceiving Indonesian approaches to international relations theory (dalam Acharya dan Buzan, 2010) menawarkan suatu alternatif dalam upaya merintis pemikiran HI yang ke-Indonesia-an yang dapat diawali dari analisa tentang perilaku politik pemimpin negara serta pemikiran politik yang dipengaruhi oleh aspek politik dan budaya.
Berangkat dari ide untuk membentuk suatu Indonesian School of International Relations yang mewakili perspektif Indonesia dalam memandang hubungan internasional, Institute for Business and Diplomatic Studies Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan kegiatan diskusi bulanan (monthly discussion) untuk menyusun suatu peta jalan (roadmap) menuju Indonesian School of International Relations dengan berusaha menjawab beberapa pertanyaan, namun tidak terbatas pada:
Pertama, melakukan survei literatur hal-hal apa saja yang telah diketahui dalam perkembangan studi hubungan internasional di Indonesia. Hal yang dilakukan adalah menganalisa pemikiran hubungan internasional dari pemikir hubungan internasional Indonesia dengan mempertimbangkan alasan dan proses kemunculan serta perkembangannya, sejauh manakah pemikiran tersebut terorganisasi, bagaimana pemikiran tersebut mampu menjelaskan pola umum dalam ilmu sosial, dan apakah yang menjadi fokus perdebatannya.
Kedua, menganalisa aspek historis, politis, dan filosofis, diantaranya: pengalaman historis, pemimpin politik, tradisi ideologi, serta pemikir filosofis, dan pengaruhnya bagi perkembangan pemikiran hubungan internasional yang non-Barat, termasuk apakah terminologi kunci dalam hubungan internasional semisal negara (state), kedaulatan (sovereignty), nasionalisme, diplomasi sesuai dengan tradisi dan praktik yang berlaku di Indonesia?.
Ketiga, melakukan sistematisasi pemikiran yang telah ada dan melakukan prediksi atas kegunaan dari pemikiran-pemikiran tersebut bagi ilmu pengetahuan dan bagi bangsa Indonesia. Di bagian ini penting untuk mengidentifikasi batasan-batasan pemikiran hubungan internasional Indonesia dengan pemikiran hubungan internasional yang ada (baca: Barat). Dengan demikian, pemikiran hubungan internasional Indonesia tidak hanya sekedar unik, dan asal beda, tetapi memang secara filosofis memiliki perbedaan serta memiliki kegunaan yang jelas dibanding dengan pemikiran yang telah ada.
Dalam membahas pemikiran Indonesia Indonesia, dibagi kedalam tiga sub-bidang kajian hubungan internasional yang telah dikenal luas yaitu: (1) Pengkajian Strategis: (2) Ekonomi Politik Internasional; (3) Isu-isu non konvensional dalam hubungan internasional; dan (4) Diplomasi Indonesia. Walaupun, sub-bidang kajian lain yang dianggap penting dan mewarnai perkembangan hubungan internasional Indonesia sangat terbuka untuk dibahas pula.
Dengan demikian, output yang diharapkan adalah sebuah rancangan pemikiran hubungan internasional Indonesia yang komprehensif meliputi berbagai sub bidang kajian yang mencakup ketiga fokus diatas. Peta jalan ini dapat terus dikembangkan secara bersama-sama dan terus-menerus oleh komunitas epistemik Hubungan Internasional Indonesia dan dimanfaatkan dalam pendidikan Hubungan Internasional di Indonesia. Dengan harapan, dalam 15 – 20 tahun ke depan akan terbentuk pemikiran Hubungan Internasional Indonesia yang lebih jelas, tegas dan bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Hasil akhir dari peta jalan ini berupa buku yang akan diluncurkan dalam sebuah seminar internasional pada bulan November 2012 ini.
Informasi lebih lanjut bagi individu maupun institusi dan bagi yang tertarik mengikuti “Kijang Initiatives” ini silakan menghubungi Dini Adiba Septanti (email: dseptanti at binus dot ac dot id).