Dosen HI Binus: Pemutusan Hubungan Saudi-Qatar Sangat Berbahaya

Ilustrasi Arab Saudi vs Iran (Foto: Muhammad F. Nu’man/kumparan). Sumber: kumparan

 

Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi telah secara resmi memutuskan hubungan dengan Qatar. Saudi mengatakan bahwa pihaknya memutuskan hubungan diplomatik ini karena Qatar bekerja sama dengan berbagai kelompok teroris dan sektarian yang bertujuan untuk mendestabilisasi kawasan Timur Tengah, termasuk Ikhwanul Muslimin, Al-Qaeda, ISIS, dan kelompok-kelompok yang didukung oleh Iran di Provinsi Qatif di timur Saudi.

Dalam wawancara dengan Kumparan, dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, mengatakan bahwa pemutusan hubungan diplomatik ini sangat berbahaya. “Bisa mengubah peta geopolitik Timur Tengah. Kok berani sekali Saudi. Padahal Qatar selama ini sangat setia pada Saudi. Dan mereka secara geografis mereka dekat, menempel. Tapi kini artinya tak ada lagi perjalanan darat Saudi-Qatar, dan larangan terbang di udara diterapkan.”

Tia berpendapat, persoalan ini sama sekali tak cuma soal tudingan bahwa Qatar mendukung terorisme seperti yang dilemparkan Saudi. “Mesti dilihat, teroris dari perspektif mana? Bagi Barat, Al-Qaidah teroris. Tapi bagaimana dengan negara-negara lain yang merasa tak ada sangkut pautnya dengan Al-Qaidah? Kan belum tentu. Soal Ikhwanul Muslimin, itu Mesir yang berkepentingan,” ujar Tia.

Alih-alih soal terorisme, Tia yakin alasan sebenarnya adalah Iran. Bukan rahasia lagi, Saudi dan Iran bak musuh abadi sejak 1980-an. “Qatar kerja sama dengan Iran karena menguntungkan, tapi hubungan dengan Iran itu dianggap pengkhianatan, mata Qatar diputus hubungan diplomatik oleh Saudi. Padahal Qatar juga ikut Saudi menggempur militan Houthi di Yaman,” kata Tia.

Selain itu, Saudi diyakini Tia telah mendapat “restu” Amerika Serikat, sekutunya, sebelum memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. “Sejak kedatangan Donald Trump (ke Saudi pada Mei), Saudi semakin berani show off power. Kalau nggak di-acc AS, nggak mungkin seberani itu.”

Sementara AS, melalui menteri luar negerinya Rex Tillerson yang sedang berada di Sydney Australia seperti dilansir Reuters, meyakini pertikaian diplomatik Saudi-Qatar tak akan berpengaruh terhadap upaya bersama memberantas kelompok militan Islam. AS juga mendorong negara-negara Arab untuk menyelesaikan permasalahan mereka lewat jalur perundingan.

Posisi Saudi di jazirah Arab, ujar Tia, persis seperti Indonesia di Asia Tenggara: paling besar, vital, dominan, dan konsumtif. Itu sebabnya sikap politik Saudi diikuti oleh negara-negara lain di Timur Tengah. Perseteruan Iran dan Saudi, kata Tia, pun tak sebatas soal Suni-Syiah. Iran yang kerap dianggap sebagai musuh bersama negara-negara Arab, membawa sistem demokrasi yang tak disukai Kerajaan Saudi. “Saat ini ekonomi Saudi melemah, dan posisi Iran menguat. Dan Iran ialah salah satu negara dengan prinsip demokrasi. Kalau demokrasi menyebar di seluruh jazirah Arab, dinasti Saud terancam runtuh,” kata Tia.

Wawancara Tia oleh Kumparan dapat dilihat pada tautan berikut:

https://kumparan.com/anggi-kusumadewi/iran-biang-keladi-putusnya-hubungan-saudi-qatar