Uni Eropa: Pelajaran bagi ASEAN

Ancaman berakhirnya zona euro nyaris di depan mata setelah koalisi ”Merkozy” terpecah pasca-terpilihnya Presiden Perancis yang baru, Francois Hollande.

Krisis utang yang dialami juga telah menanam bom waktu pada aspek politik. Krisis ini akan menjadi pelajaran menarik bagi ASEAN yang baru saja usai menyelenggarakan KTT ke-20 di Kamboja, April lalu.

Ini saat yang tepat untuk menilik kembali regionalisme. Dunia mengalami krisis tata kelola yang mengarah pada situasi anarkistis. Hilangnya kepercayaan publik (negara) terhadap lembaga internasional, seperti IMF, WTO, dan berbagai rezim internasional lain, menjadikan masyarakat dunia mencari medium yang lebih representatif.

Ancaman kebangkrutan negara anggota Uni Eropa (UE) telah merevisi persepsi atas kriteria regionalisme yang ideal yang melekat di UE. Integrasi UE yang dikenal paling signifikan ternyata belum sepenuh hati dilakukan.

Ada dua pelajaran yang patut dicatat dari kasus UE. Pertama, setiap negara punya sumber daya ekonomi dan pilihan kebijakan fiskal yang bervariasi. Integrasi moneter yang semula mampu mengangkat nilai perdagangan kawasan tidak lagi aman karena stabilitasnya akan bergantung pada kesehatan fiskal negara anggota lain. Kebijakan fiskal kolektif yang didengungkan juga tidak mudah diterapkan, mengingat otoritas nasional memiliki polarisasi berdasarkan keadaan ekonominya masing-masing.

Kedua, integrasi politik yang parsial akan jadi bom waktu bagi para pemimpin. Keputusan-keputusan yang disepakati para pemimpin UE tak dapat secara langsung dikoreksi oleh masyarakat meski Parlemen UE telah ada. Belakangan, pemilu di Perancis menjadi sangat berpengaruh bagi Yunani karena harapan perubahan dalam kebijakan regional bertumpu kepada Hollande.

Sebelumnya, perubahan pemimpin di satu negara tak berpengaruh ke negara lain karena tak ada gelombang krisis yang mengakibatkan perlunya perubahan kebijakan regional secara drastis. Kini, rakyat yang tercekik oleh pengetatan anggaran akan menaruh harapan besar pada pemilu di negara-negara penyumbang terbesar Eropa sebagai kiblat dari setiap keputusan penting UE. Di sisi lain, rakyat UE dibatasi yurisdiksi nasional sehingga tak punya hak politik untuk menentukan pemimpin di negara-negara kontributor utama itu.

Bangkitnya kesadaran politik publik UE inilah yang akan menjadi bom waktu bagi sistem politik UE yang saat ini belum representatif. Warga Yunani, contohnya, yang mau tidak mau harus menerima segala keputusan yang diambil UE, justru akan meningkatkan skeptisisme publik Yunani atas integrasi lebih jauh. Akibatnya, wajar jika mengemuka gagasan untuk mengembalikan mata uang nasional negara-negara di zona euro demi kesehatan ekonomi nasional.

Integrasi atau kooperasi?

Berbeda dengan UE yang jauh lebih siap dengan situasi psikologis region-sentrisme, negara-negara ASEAN justru sejak awal memiliki kesepahaman bahwa otoritas nasional masih menyandang kasta tertinggi dalam prinsip keanggotaan ASEAN. KTT Ke-20 ASEAN di Kamboja menunjukkan fenomena yang kuat atas keengganan negara anggota untuk mewujudkan integrasi.

Berbagai persoalan sensitif, seperti sengketa perbatasan dan Laut China Selatan, tidak dibahas secara konkret dalam KTT itu. Hal ini mengukuhkan ASEAN dengan tema dasar yang diangkatnya pada KTT itu, yakni ”kerja sama”, yang menjadi pilihan realistis dibandingkan ”integrasi”.

Sejauh ini fasilitas perdagangan dan keimigrasian yang dicapai tidak banyak mendorong keterkaitan intra-kawasan. Perdaganganbebas dengan China juga berkontribusi dalam melemahnya interaksi perdagangan di dalam kawasan.

Masyarakat di ASEAN belum punya rasa kesatuan dan kepemilikan kawasan. Bagaimanapun, ASEAN tetap jadi proyek elite bagi warga biasa. Berbeda dengan UE, ASEAN juga belum mampu mengakomodasi tiga kebutuhan pembentukan loyalitas publik, yakni politik, ekonomi, dan kepastian hukum. Di UE, dua aspek terakhir sudah dipenuhi melalui penyatuan mata uang dan keputusan regional yang diadopsi melalui ratifikasi nasional.

Tentunya sintesa dari pengalaman kedua regionalisme ini harus mampu mewujudkan format institusi regional yang lebih sempurna bagi ASEAN ke depan. Pelajaran dari krisis UE dapat diresapi agar ASEAN fokus jadi medium diplomasi yang lebih bermartabat bagi Asia Tenggara. Tak perlu terlalu jauh membentuk kosmopolitanisme parsial yang justru menanam bom waktu bagi keberlangsungan institusi regional layaknya UE.

Meski capaian ASEAN masih jauh dari UE, ada pelajaran berharga untuk meletakkan posisi ASEAN tepat menuju kerja sama paripurna. Negara-negara anggota harus segera menyadari bahwa pertumbuhan Asia diprediksi terus menguat dan terus mengambil porsi lebih besar dibandingkan dengan siapa pun di belahan bumi lainnya. ASEAN harus mampu menyeimbangkan diri dalam konstelasi ekonomi-politik dunia di era multipolar ini.