Politik Pencitraan dan Ekonomi Hijau

Politik Luar Negeri Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono banyak ditandai dengan berbagai kebijakan luar negeri yang high profile. Tak terkecuali juga di dalam pembahasan rezim lingkungan internasional. Pada pertemuan G20 di Pittsburgh Amerika Serikat 2009, Presiden SBY menyatakan Indonesia berkomitmen dalam mengurangi emisi gas karbon hingga 26% di tahun 2020. Di KTT Rio+20 yang dihadiri kurang lebih 130 pemimpin dunia, Indonesia tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menambah deretan citra high profile Indonesia di mata dunia.

Agenda utama yang menjadi pembahasan dalam KTT ini adalah konsep Ekonomi Hijau yang dipercaya mampu menjadi landasan bagi model pembangunan ekonomi di masa depan. Indonesia berharap KTT ini menjadikan Ekonomi Hijau sebagai peta jalan pembangunan ekonomi dunia di masa depan. Tak heran jauh hari sebelum KTT ini dilaksanakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan statemen yang memanggil seluruh negara-negara dunia untuk menjadikan Ekonomi Hijau sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan yang harus diadopsi.

Ekonomi Hijau merupakan konsep komprehensif yang ditelurkan oleh PBB sebagai salah satu inisiatif dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global. Secara umum, Ekonomi Hijau merupakan sebuah model ekonomi yang menitikberatkan kepada upaya memperbaiki tingkat hidup manusia dan secara bersamaan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Tak ada yang salah dengan konsep Ekonomi Hijau sebagaimana anggapan kalangan organisasi-organsiasi penyelamat lingkungan yang melihat konsep ini akan menjadi upaya komodofikasi, privatisasi, dan finansialisasi alam (Kompas 21 Juni 2012). Di tataran kebijakan, Ekonomi Hijau adalah sebuah model pembangunan ekonomi yang bertumpu kepada tiga pilar kebijakan yakni kebijakan ekonomi yang rendah karbon, hemat energi, dan melibatkan banyak orang. Permasalahan utama terletak pada sejauh mana implementasi dari konsep Ekonomi Hijau itu sendiri oleh Indonesia.

 

 Salah Kaprah Ekonomi Hijau

Dalam kondisi dimana pertumbuhan ekonomi membutuhkan begitu banyak konsumsi energi dan pada saat yang bersamaan cadangan energi tidak terbarukan semakin menipis, ekonomi hijau merupakan sebuah jawaban bagi perekonomian dunia bahkan sebuah keniscayaan bagi terciptanya sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Negara-negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyadari akan pentingnya peran ekonomi hijau dalam perekonomian mereka.

Namun berbeda dengan negara-negara berkembang yang sedang tumbuh lainnya, alih-alih fokus kepada upaya menciptakan model perekonomian yang benar-benar hijau, kontekstualisasi pelaksanaan ekonomi hijau di Indonesia menjadi salah kaprah tatkala ekonomi hijau hanya ditafsirkan sebagai pengurangan gas karbon tanpa benar-benar menciptakan sebuah model perekonomian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan yang berbasis kepada efisiensi energi, karbon yang rendah, dan melibatkan banyak orang.

Hal ini dapat dilihat dari prioritas pemerintah di KTT Rio+20 yang meminta komitmen negara-negara maju dalam mendukung program Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD+) di Indonesia. REDD+ yang selalu didengungkan sebagai program Ekonomi Hijau pemerintah lebih merupakan sebuah mekanisme pembiayaan dimana negara maju yang memiliki kelebihan karbon dapat membeli kredit karbon dengan membayar Indonesia untuk merawat hutan yang ada di Indonesia tanpa memberikan pengurangan emisi berarti di negara mereka. REDD+ hanya merupakan skema kompensasi bagi Indonesia dan bukan sebuah model penerapan Ekonomi Hijau. Implementasi seperti inilah yang ditakutkan oleh berbagai pihak perihal munculnya komodifikasi dan penguasaan sumber daya alam seperti hutan oleh segelintir pemiliki konsesi hutan di Indonesia.

 

 Implementasi Ekonomi Hijau

Esensi Ekonomi Hijau bukanlah sekedar menurunkan emisi gas rumah kaca melalui mekanisme semu seperti REDD+ melainkan upaya menciptakan model ekonomi yang berlandaskan kepada efisiensi energi. Cina telah mempersiapkan upaya untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang rendah karbon dan hemat energi dengan berinvestasi secara masif ke sektor meningkatkan energi terbarukan. Di tahun 2011, Cina telah berhasil melampaui Amerika Serikat dalam hal investasi di sektor energi terbarukan yang mencapai 257 Milyar Dollar AS. Sekarang Cina menjadi negara pionir dalam pemanfaatan energi terbarukan.

Tidak hanya Cina, Brazil juga mampu mengejawantahkan konsep ekonomi hijau dalam konteks perencanaan perkotaan. Sebagai negara keempat yang memiliki jumlah populasi tinggal di perkotaan terbanyak, Brazil menaruh perhatian penting menciptakan kota yang efisien dalam penggunaan energi dan ramah lingkungan. Dengan pendekatan inovatif dalam penanganan tata kota dan transportasi, Curitiba, salah satu kota di Brazil mampu tumbuh pesat tanpa mengalami kemacetan, polusi, dan berkurangnya ruang publik.

 

Daripada fokus kepada program REDD+, Indonesia seyogyanya fokus dalam menciptakan model ekonomi yang bertumpu pada ketiga pilar Ekonomi Hijau. Namun fakta domestik tidak seindah apa yang dilantangkan Indonesia di fora internasional. Dari segi efisiensi energi hingga sekarang, penggunaan energi Indonesia masih belum efisien. intensitas energi primer Indonesia masih tinggi dengan nilai 565 Ton Oil Equivalent (TOE) /juta US$. Dengan kata lain, untuk meningkatkan PDB sebesar USD 1 juta dibutuhkan penggunaan energi sebesar 565 TOE. Kondisi ini jauh di atas intensitas energi Malaysia yang berkisar 493 TOE/juta US$. Belum lagi Konsumsi minyak Indonesia hingga saat ini masih sangat mendominasi, yaitu sebesar 42,99% dari konsumsi energi total, diikuti oleh gas dan batu bara masing-masing 18,48% dan 34,47%. Terlebih kebijakan pemerintah yang lamban dalam merespon kenaikan minyak dunia beberapa bulan yang lalu dan tingginya angka subsidi energi yang mencapai Rp300 Triliun di RAPBN 2013.

Panggilan Presiden SBY pun menjadi terasa hambar mengingat fakta bahwa hingga kini Indonesia belum menerapkan PDB Hijau sebagai metode penghitungan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Padahal segala upaya implementasi Ekonomi Hijau harus diawali dengan penghitungan yang tepat akan pertumbuhan ekonomi yang memasukkan unsur lingkungan di dalamnya. Dalam konteks ini, Indonesia tertinggal jauh dari Cina dan India yang telah memulai penghitungan PDB Hijau.

 

Penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia juga belum melibatkan banyak pihak. Dari Sembilan sektor yang menjadi prioritas Ekonomi Hijau, sektor pertanian belum menjadi sektor prioritas bagi Indonesia padahal lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia disumbangkan sektor ini. Tidak seperti India yang telah menginvestasikan begitu besar modal di sektor pertanian untuk merealisasikan Ekonomi Hijau, sektor pertanian di Indonesia masih dianggap sebelah mata oleh pemerintah. Sebagai contoh belanja untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur irigasi pertanian, dimana pemerintah hanya mengalokasikan sekitar Rp3 triliun untuk tahun 2011 sementara lahan sawah yang teririgasi hanya 36% dari total lahan pertanian yang ada. Tidak adanya sistem irigasi yang baik akan menghasilkan probabilitas kelangkaan air yang akan membatasi produktivitas pertanian.

Di KTT Rio+20, tujuan diplomasi Presiden SBY tak lebih sekedar menjadikan Indonesia ‘dipersepsikan’ terdepan dalam upaya menciptakan dunia yang lebih hijau. Namun sebagaimana kebijakan politik luar negeri Indonesia pada umumnya, pencitraan yang ingin dibangun Indonesia masih belum didasarkan oleh aksi nyata yang telah jelas. Pemerintah harus ingat Foreign policy begins at home. Panggilan Presiden kepada pemimpin-pemimpin dunia lainnya tidak akan banyak memiliki dampak signifikan selama secara domestik kebijakan ekonomi Indonesia masih bertumpu kepada model ekonomi yang boros energi dan tidak ramah lingkungan. Dalam isu lingkungan, aksi nyata lebih berharga daripada komitmen semu. Jangan sampai isu lingkungan hanya menjadi satu dari sekian banyak usaha pemerintah mencari pencitraan positif tanpa benar-benar menyelesaikan pangkal permasalahan. Tentu kita tidak menginginkan konsep Ekonomi Hijau yang ditelurkan PBB ini hanya menjadi konsep yang menguntungkan bagi segelintir masyarakat saja.

 

Mochammad Faisal Karim

Researcher di Center for Business and Diplomatic Studies, Binus University