Mengapa ASEAN harus terlibat dalam Konflk di Laut Cina Selatan

Kegagalan ASEAN untuk pertama kalinya mengeluarkan keputusan bersama selama lebih dari 45 tahun telah membuat begitu banyak kalangan melihat adanya disunity antar negara-negara ASEAN dalam menghadapi Cina di dalam perselisihan yang terjadi di Laut Cina Selatan. Indonesia sebagai salah pendiri ASEAN mencoba menjadi penengah dan mengambil inisiatif untuk kembali mempersatukan negara-negara ASEAN dalam sebuah konsensus bersama untuk tercipta sebuah kesepatakan mengenai code of conduct di Laut Cina Selatan. Di minggu ini, Menteri Luar NEgeri Marty Natalegawa telah dan akan melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai negara untuk mengajak negara-negara ASEAN kembali menjadikan isu di Laut Cina Selatan sebagai agenda utama ASEAN. Langkah yang dilakuka oleh Indonesia ini dikenal dengan nama Shuttle Diplomacy.

Langkah yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Luar Negeri untuk mengunjungi negara-negara yang berkepentingan dalam perselisihan di Laut Cina Selatan adalah langkah yang tepat. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sendiri telah menyelesaikan pertemuan dengan Filipina dan Vietnam, dua negara yang paling bersikukuh dalam menentang Cina di Laut Cina Selatan. Namun sejauh mana Marty dapat membuat Kamboja, negara yang dituduh menjadi pion kepentingan Cina  di ASEAN, sepaham dengan negara-negara ASEAN lainnya.

 

Peran Indonesia dalam Laut Cina Selatan

Dalam pertemuan Phnom Penh, Kamboja 9 Juli 2012 yang lalu, Kamboja menolak adanya pembicaraan mengenai code of conduct di Laut Cina Selatan. Kamboja yang juga merupakan Ketua ASEAN untuk periode ini bersikeras bahwa sengketa perbatasan yang terjadi harus diselesaikan secara bilateral oleh negara-negara yang terlibat. Kamboja beralasan bahwa konflik bilateral antara beberapa negara ASEAN dengan Cina tidak dapat menjadi landasan bagi upaya membawa keseluruhan blok untuk ikut serta dalam perselisihan tersebut.

Untuk itu setidaknya terdapat tiga hal yang harus disampaikan Indonesia kepada Kamboja mengenai mengapa isu sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan tidak dapat diselesaikan secara bilateral antar negara yang bersengketa melainkan perlu adanya keterlibatan ASEAN sebagai satu blok kawasan.

Pertama, Indonesia harus mampu meyakinkan Kamboja bahwa permasalahan di Laut Cina Selatan tidak hanya merupakan permasalahan bilateral yang terjadi antara beberapa negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia) melainkan dapat berimplikasi terhadap stabilitas keamanan di Asia Tenggara.

Lebih dari separuh aktivitas perdagangan dunia menggunakan jalur Selat Malaka, Sunda, dan Lombok, dengan mayoritas melanjutkan ke Laut Cina Selatan. Dan pada kenyataannya, mayoritas kapal-kapal yang melewati Asia Tenggara harus melalui Laut Cina Selatan. Dengan kata lain, Laut Cina Selatan adalah jalur yang sangat penting bagi urat nadi perdagangan dunia. Bila terjadi permasalahan di Laut Cina Selatan, tentu akan menyebabkan permasalahan yang lebih besar bagi negara-negara ASEAN. Untuk itu penyelesaian bersama masalah ASEAN merupakan kepentingan bersama negara-negara ASEAN.

Kedua, Indonesia harus mampu meyakinkan Kamboja bahwa penyelesaian bilateral konflik di Laut Cina Selatan sebagaimana yang dinginkan oleh Kamboja tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan bahkan tanpa ada keterlibatan ASEAN, cepat atau lambat, eskalasi konflik bilateral antara Cina dan beberapa negara ASEAN akan mencapai titik kulminasi yang dapat membuat terjadinya instabilitas keamanan di ASEAN.

Tanpa adanya code of conduct yang jelas, insiden-insiden kecil dapat memprovokasi negara-negara yang berselisih untuk terlibat dalam aksi-aksi militer. Setidaknya terdapat sekitar 23 insiden yang terjadi di Laut Cina Selatan selama kurun waktu tiga tahun terakhir. Insiden terakhir terjadi di bulan april 2012, kapal angkatan laut Filipina dikunci oleh dua kapal pengintai maritim Cina setelah angkatan laut Filipina mendapatkan kapal nelayan Cina sedang beroperasi di laut yang diperebutkan.

Belum lagi permasalahan domestic audience yang juga menjadi faktor yang dapat mendorong negara-negara yang bersengketa untuk mengeskalasi konflik teritori menjadi konflik militer. Di Filipina, gerakan anti-Cina meluas di masyarakat luas. Beberapa politisi pun juga ikut menyuarakan kampanye patriotisme untuk menghadapi Cina.  Kondisi ini menjadi penting karena di negara-negara demokratis, domestic audience dapat mendorong sebuah negara untuk turut berperang. Untuk itu, intevensi ASEAN dalam membuat code of conduct dalam jangka pendek bertujuan untuk meminimalisir insiden-insiden yang dapat berujung kepada aksi-aksi militer yang membahayakan. Dalam jangka panjang, code of conduct ini dapat menjadi upaya awal bagi pembicaraan bilateral yang lebih serius antara negara-negara ASEAN yang bersengketa dan Cina.

Terakhir, Indonesia harus mampu meyakinkan Kamboja bahwa keterlibatan ASEAN dalam upaya penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan lebih baik daripada keterlibatan Amerika Serikat yang merupakan sekutu Vietnam dan Filipina dalam sengketa di Laut Cina Selatan. Kegagalan ASEAN  dalam memberikan solusi bagi upaya penyelesaian sengketa hanya akan membuat Vietnam dan Filipina beralih ke Amerika Serikat sebagai kekuatan penyeimbang Cina di kawasan. Hingga kini Amerika Serikat menegaskan bahwa mereka tetap netral dalam sengketa yang terjadi meskipun Filipina telah meminta bantuan secara tidak langsung kepada Amerika Serikat. Hillary Clinton sendiri masih berharap proses regional dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Laut Cina Selatan. Namun, bila proses regional yang ada tidak mampu memitigasi persoalan yang ada, intervensi Amerika Serikat di dalam sengketa ini dapat saja termanifestasi. Keterlibatan pihak eksternal dalam konflik regional ini tentu akan menciptakan eskalasi yang lebih besar yang pada akhirnya membuat kawasan Asia Tenggara menjadi lebih tidak stabil.

Tentu bukan hal yang mudah bagi Indonesia untuk meyakinkan Kamboja akan dampak yang terjadi bila ASEAN tak mampu ikut serta dalam menjaga stabilitas regional di Asia Tenggara. Sebagai kawasan yang menjunjung tinggi semangan konsesi (ASEAN Way), pada akhirnya permasalahan sengketan wilayah antar beberapa negara Asia Tenggara dengan Cina turut menjadi permasalahan ASEAN mengingat dampaknya yang tidak hanya mengganggu stabilitas kawasan namun juga global.