Thucydides dan Prinsip Realisme

Benar bahwa Hubungan Internasional sebagai sebuah kajian merupakan ilmu yang relatif baru. Namun pemikiran-pemikiran HI tentu sudah ada jauh sebelum ilmu HI menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Salah satu pemikir HI yang muncul jauh sebelum HI itu sendiri berdiri adalah Thucydides.

Thucydides  (lahir 460 SM –  wafat 395 SM) adalah seorang sejarawan Yunani dan penulis dari alimos sebuah daerah di wilayah Yunani. Bukunya yang berjudul Sejarah Perang Peloponnesia (The History of Peloponnesian War) menceritakan perang abad 5 sebelum masehi antara Sparta dan Athena. Melalui bukunya tersebut, Thucydides telah dijuluki bapak “sejarah ilmiah”, karena standar yang ketat tentang bukti pengumpulan dan analisis dalam hal sebab dan akibat tanpa mengacu pada intervensi oleh para dewa, seperti buku-buku sejarah lainnya dari era yang sama.

Ia juga disebut sebagai ayah dari sekolah realisme politik, yang memandang hubungan antara bangsa lebih berlandaskan kepada Kekuatan daripada kebenaran. Bukunya The History of Peloponnesian War hingga kini menjadi buku teks di perguruan tinggi militer. Bukunya yang lain berjudul the Melian Dialogue menjadi buku rujukan dalam teori hubungan internasional terutama realisme.

Sebagai seorang teoretikus realisme dalam HI, Thucydides memberikan empat kategori mengenai realisme.

(1)   Sifat manusia adalah titik awal untuk realisme dalam hubungan internasional. Realis melihat manusia sebagai dasarnya egois dan mementingkan diri sendiri sejauh kepentingan pribadi mengatasi prinsip-prinsip moral.

(2)   Kaum Realis secara umum percaya bahwa tidak ada pemerintah dan kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis,

(3)   Karena kondisi hubungan internasional selalu dalam kondisi anarkis, untuk mencapai keamanan, negara berusaha meningkatkan kekuasaan mereka dan terlibat dalam kekuasaan-balancing untuk tujuan menghalangi agresor potensial. Perang ini dilancarkan untuk mencegah negara peserta dari menjadi lebih kuat secara militer

(4)   Realis umumnya skeptis tentang relevansi moralitas dalam politik internasional. Hal ini menyebabkan mereka mengklaim bahwa tidak ada tempat bagi moralitas dalam hubungan internasional, atau bila ada ketegangan antara tuntutan moralitas dan tuntuan aksi politik yang amoral maka negara boleh bertindak sesuau dengan moralitas mereka sendiri yang berbeda dari moralitas yang secara umum dianut.

 

“It is the habit of mankind to entrust to careless hope what they long for, and to use sovereign reason to thrust aside what they do not desire”