Hadiah sebagai Kuda Troya
Eko Wijayanto, Dosen filsafat, Departemen Hubungan Internasional Bina Nusantara University
Keberadaan uang 100 dollar AS dalam buku pleidoi Djoko Susilo tempo hari bukan suatu masalah sederhana. Penemuan uang dalam pleidoi saat persidangan tersebut adalah kasus pertama dalam sejarah peradilan Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, uang 100 dollar AS dalam lampiran naskah pleidoi yang diberikan kepada jaksa KPK telah mencemarkan wibawa pengadilan serta melecehkan jaksa KPK, para pencari keadilan, dan upaya pemberantasan korupsi (Kompas, 29 Agustus 2013).
Pada dasarnya jika bukan perkara sederhana, uang 100 dollar AS adalah sebuah tanda simbolik untuk tindakan selanjutnya. Dengan kata lain, uang tersebut adalah sebuah kuda troya (hadiah yang mahabesar) dalam suatu tatanan simbolik.
Pada dasarnya, tatanan simbolik adalah sebuah persetujuan: signifier (petanda) yang disetujui untuk signified (penanda) tertentu. Obyek yang disimbolkan pada dasarnya tidak terlalu berguna karena yang berarti hanyalah pemaknaan dari simbol yang tampak sebagai hasil persetujuan. Simbol itu hadiah gratis, tetapi sekali diterima, ia akan menjajah kita sama seperti kuda troya pada perang Troy.
Ketika kita memberikan suatu hadiah kepada orang lain, kita tidak hanya berinteraksi dengan orang lain. Interaksi ini mengandalkan jaringan kompleks. Jaringan yang kompleks tersebut harus memiliki aturan simbolik karena jika hanya diingat sepanjang waktu, interaksi pun akan terhenti. Alasannya sederhana: ada latar belakang dalam kehidupan bersama di dunia yang memungkinkan kita dan lawan bicara dalam percakapan untuk saling memahami.
Ekspresi gerak tubuh
Tingkat paling dasar dari pertukaran simbol adalah ekspresi gerak tubuh. Contohnya, jika kita pura-pura tak tahu-menahu tentang uang 100 dollar AS yang diberikan ke kita, secara simbolik, bisa jadi di kemudian hari akan mengalir ribuan, bahkan jutaan, dollar kepada kita.
Ini memperlihatkan sebenarnya komunikasi antarmanusia adalah suatu bentuk performatif, di mana setiap pilihan adalah meta-choice, dari pilihan-pilihan yang sudah ada, yang tertentu yang harus dipilih.
Hal yang menarik perhatian Lacan untuk meneliti bahasa simbolik sebagai simbolisasi sikap kolektif. Menurut Lacan, tindakan ini disebabkan twofold moment, yaitu manusia awalnya bertindak sendiri, tetapi hanya untuk kembali ke fondasi yang telah ditentukan tradisi ataupun kebiasaan yang ada di masyarakat.
Lacan terinspirasi dari pandangan George Lukacs mengenai ideologi. Menurut Lukacs, ideologi adalah kesadaran parsial. Menyadari sesuatu secara utuh berarti mengubah sesuatu. Dari ideologi Lukacs tersebut, Lacan menangkap adanya dua tahapan.
Tahapan pertama, seorang pekerja yang bekerja di level produksi menyadari dirinya termasuk ke dalam kelas buruh atau proletar. Tahapan pertama ini menunjukkan bahwa kesadaran buruh masih merupakan kesadaran parsial.
Tahapan kedua adalah ketika menyadari, ia diperlakukan secara tidak adil oleh kaum kapitalis karena menerima upah tidak sesuai dengan pekerjaannya serta kemudian para buruh melakukan protes dan mengajak buruh lain untuk melawan dengan cara mogok kerja. Tahapan kedua memperlihatkan subyek bertransformasi ketika melakukan tindakan deklarasi, bukan saat melakukan sekadar tindakan.
Tindakan deklaratif memengaruhi makna suatu hal secara signifikan, begitu pula dengan tindakan penyangkalan yang adalah negasi dari deklarasi. Bahkan penyangkalan justru merupakan tindakan deklarasi yang berlebihan. Contohnya, saat Collin Powell hendak mengajukan pidato mengenai ide menyerang Irak pada Februari 2003, delegasi Amerika meminta replika lukisan Guernica yang menggambarkan pengeboman oleh Jerman di Spanyol pada perang sipil diganti dengan hiasan lain. Delegasi AS takut gambar tersebut akan menyadarkan delegasi lain akan ide penyerangan yang mereka bawa.
Tindakan mengganti lukisan ini justru membuat orang mencari asosiasi antara pidato dan lukisan yang sengaja ditutupi, yaitu Guernica. Padahal, jika tak berusaha diganti, mungkin orang juga tidak akan sadar akan adanya asosiasi antara lukisan dan pidato tersebut. Justru tindakan ini makin menekankan akan adanya penyerangan ke Irak.
Tatanan simbolik bekerja dalam ketaksadaran kita, termasuk dalam proses komunikasi. Cara bekerjanya seperti kisah pekerja pabrik yang diduga mencuri. Tiap pulang, para petugas keamanan memeriksa gerobak yang dibawanya, tetapi tidak ditemukan apa-apa. Ternyata yang dicuri pekerja tersebut adalah gerobak.
Contoh ini mengingatkan kita untuk tidak memisahkan isi dari tindakan komunikasi simbolik (seperti tanda terima kasih tak sengaja 100 dollar AS) karena makna setiap tindakan komunikasi direfleksikan dari motif-motif besar di balik tindakan itu sendiri.
dimuat di Harian Kompas