Pencitraan (Bagian 1)

Oleh: Aditya Permana
Dosen Filsafat Ilmu Sosial, Departemen Hubungan Internasional, Bina Nusantara University


Kuasa Citra

Salah satu “kesuksesan” masa pemerintahan SBY adalah populernya istilah “pencitraan” atau “politik pencitraan”. “Pencitraan” sendiri awalnya istilah yang jamak dipakai dalam bidang komunikasi dan kegiatan kehumasan (public relations) bidang ekonomi. Kemudian para selebrita melihat peluang untuk memanfaatkannya sebagai cara mengatrol popularitas diri hingga para politikus pun menjadikannya instrumen penting bagi diri, partai, atau golongan apapun yang diwakilinya.

Sebelum SBY apakah tidak ada pencitraan? Tentu saja ada. Mungkin sejak awal berkembang biak dan menjadi predator puncak dalam teori evolusi, manusia sudah mengenal dan memanfaatkan pencitraan. Salah satu artefak tertua yang pernah ditemukan, Venus of Wilendorf (ditemukan di Austria), sebuah ukiran era Paleolitikum (25.000 – 21.000 SM) berbentuk seperti wanita gemuk dengan beberapa bagian tubuh (kepala, dada, torso) yang diukir secara hiperbolis. Secara spekulatif hiperbola ini dikaitkan dengan fungsi menyusui dan reproduksi. Bagian-bagian tubuh lain tidak diukir dengan jelas, mungkin karena maknanya dianggap tidak signifikan. Bentuk semacam ini mencitrakan sesuatu yang dianggap penting pada masa itu. Mungkin kesuburan. Pertanyaannya, mengapa pada waktu itu tubuh gemuk dicitrakan sebagai pembawa kesuburan, sedangkan hal yang sama tidak kita dapati sekarang ini, ketika tubuh dalam bentuk yang sama justru dianggap memiliki citra tidak sehat, rentan penyakit, dan seterusnya? Contoh lain, mengapa Blok Barat pada era Perang Dingin berupaya keras membuat komunisme menjadi common enemy negara-negara demokratis sehingga harus dibasmi? Contoh lagi, mengapa Amerika berhasil meyakinkan dunia bahwa Taliban, serta seluruh operasi terorisme berbasis “Islam” sebagai akibat dari bangkitnya fundamentalisme “agama” dan bukan masalah ekonomi, geopolitik, dan geostrategi, misalnya. Mengapa SBY memilih untuk menerbitkan buku yang lebih tebal dari kitab suci di kala bencana banjir dan erupsi gunung menerpa rakyatnya, meskipun dianggap salah waktu? Dan seterusnya.

Inilah kekuatan pencitraan. Dalam suatu bentuk tubuh ternyata ada jejaring tanda-tanda (signs) dan makna yang bisa kita mainkan. Dan jejaring ini terhubung melalui mekanisme yang sangat rumit, yang melibatkan banyak bidang; mulai dari bahasa hingga ideologi, dari pidato presiden hingga cara PRT sebelah rumah membeli cabe, dari video games hingga revolusi di Timur Tengah, dari shalat tahajjud hingga ke perburuan berlian berdarah di Liberia dan Sierra Leone, dari teori Big Bang hingga ke Silver Queen, dari Eric Clapton hingga ke sushi bar di Pretoria, dari cyber crime hingga ke anak-anak telanjang yang sedang bermain air di banjir Jakarta, dari sepotong baju Zara hingga ke patung Buddha dari Muntilan yang dibuat berlumut agar laku dijual berkali lipat. Berlebihan? Mungkin. Tapi tidak ada ruang hidup dan ruang hajat manusia yang benar-benar steril dari pencitraan, apapun bentuknya, siapapun orangnya.

Bagi religi abrahamik (Yudaisme, Kristen, dan sebagian aliran Sufisme Islam), manusia merupakan imago dei, image of God, atau tzelem elohim bahasa Ibraninya. Arti harafiahnya “citraan Tuhan”. Manusia, konon, diciptakan dalam citraan Tuhan. Namun manusia mengalami keterlemparan ke bumi, terpisah (disconnected) dari sumber mengadanya (source of being), terserak (scattered), terpencar (disseminated), dan mengembara dalam absurditas. Akan tetapi jika memang manusia adalah citra Tuhan, maka manusia merupakan suatu mahluk (beings) yang tidak sembarangan, karena nama baik-Nya menjadi taruhan. Tuhan – mungkin – menciptakan manusia untuk suatu tujuan.

Citra (imago) sendiri berarti suatu penggambaran atau rekaman persepsi visual ataupun mental. Gambaran atau rekaman persepsi, tidak selalu persepsi itu sendiri. Jika persepsi saja dapat dimengerti dari beragam sudut pandang, bagaimana dengan gambaran atas persepsi itu sendiri? Baiklah, kita tidak akan pusingkan itu sekarang. Pengertian citra tersebut merupakan pengertian paling dasar namun bukan yang paling final. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, citra memiliki makna: (1) kata benda: gambar, rupa, gambaran; (2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk; (3) kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa atau puisi.

Apa yang dapat kita refleksikan dari ini? Yang pertama adalah adanya “keterpisahan”, sekularisasi, alienasi antara dua pihak yang tidak setara (asimetris). Asimetri ini mengindikasikan ciri berikutnya yakni “perbedaan” (difference) sebagai penyebut umumnya atau dapat dipakai pula dalam konteks “ketaksengajaan”, namun menjadi “pembedaan” (distinction atau differentiation) jika mendapat status aktif sebagai kata kerja, menjadi “pencitraan”. Ciri berikutnya adalah aspek “instrumental”, yaitu alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu.